Wednesday, July 26, 2023

Lombok: Dari Museum Hingga "Ndek Wah"

Hari kedua di Gumi Sasak. Kegiatan masih berlangsung dalam ruangan utama. Beberapa peserta lain berada di ruangan pameran, dan beberapa lagi tidak tau entah kemana alias tidak berada di ruang utama, maupun ruang pameran. Dan saya, akan termasuk dalam kategori ketiga, karena berencana keluar hotel setelah kemarin malam googling mengenai tempat-tempat menarik.

Berbekal google map dan aplikasi ojek online, saya mengitari kota Mataram yang masih terasa sejuk meski matahari sudah mulai meninggi. Lokasi pertama adalah pasar mutiara Lombok, ini request dari orang rumah yang sedari pagi sudah wanti-wanti bahkan langsung mengirimkan lokasinya. Tapi jadi tujuan yang perlu dicatat untuk dikunjungi. Kemudian berlanjut ke Museum Daerah NTB yang terletak di jalan Panji Tilar Negara. Museum selalu menjadi top list tempat yang harus saya kunjungi ketika mengunjungi tempat baru. 

GIC Rinjani Lombok
Masih dalam komplek Museum, saya juga mengunjungi Geopark Information Center (GIC), GIC merupakan tempat yang -sepertinya- harus ada ketika suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan Geopark. GIC berisi informasi seputar kebumian wilayah yang ditetapkan sebagai Geopark dan apa yang ada di dalamnya. Dalam hal ini yakni unsur geologi, biologi dan budaya, dari hulu hingga hilirnya, juga termasuk produk-produk unggulannya. 

Dari GIC saya bertolak ke Mataram Islamic Center, yang lokasinya sangat dekat dengan hotel tempat kami menginap, sekaligus tempat acara dihelat. Masjid Hubbul Wathan namanya, terletak di pusat kota menjadikan Islamic Center ini mudah dijangkau. Berdiri di atas lahan seluas kurang lebih 7 hektar, Mataram Islamic Center ini terdiri dari 4 lantai dan 5 menara. Salah satu menara memiliki tinggi 99 meter yang mewakili nama-nama Allah, asma'ul husna

Mataram Islamic Center
Tak hanya sebagai sarana ibadah, Islamic Center ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjang, dan menjalankan sebenar-sebenar fungsinya sebagai pusat peradaban islam. Melengkapi julukan pulau Lombok sebagai Pulau 1000 Masjid.

Setelah perjalanan singkat tadi, saya kembali ke hotel untuk beristirahat. Sembari menunggu kegiatan ini yang mengirim saya ke tempat ini: Kongres 1 Indonesian Geopark Youth Forum (IGYF). Kegiatan perdana dalam menentukan pimpinan eksekutif dari organisasi yang telah kugeluti selama kurang lebih setahunan ini.

Hari ketiga, rangkaian kegiatan di Lombok masih berlanjut, dengan agenda terakhir yaitu site visit. Kali ini penyelenggara mengajak kami menuju ke beberapa gili yang ada di sebelah timur pulau ini. Gili berarti pulau. Lombok sudah terkenal sekali dengan Gili Trawangan nya. Namun kali ini penyelenggara akan mengajak ke gili-gili yang lain. Antimainstream memang, namun saya pikir ini merupakan sebuah trik untuk mengenalkan Lombok agar tak hanya Gili Trawangan saja yang dikenal.

Gili Petagan dan Gili Bidara
Dengan perahu wisata, kami mengunjungi Gili Bidara dengan melewati Gili Petagan terlebih dahulu, sebuah hutan mangrove yang indah dengan biota-biotanya. Di Gili Bidara kami menyempatkan diri untuk snorkling, melihat terumbu karang yang luar biasa indahnya dengan jarak yang sangat dekat dari bibir pantai. Kemudian beristirahat makan siang di Gili Kondo. Saya berkumpul bersama rekan-rekan pemuda yang laiin, juga bersama dengan panitia lokal. 

Sambil-sambil bercerita dan berbagi banyak hal, telinga saya ter-autofokus mendengar salah seorang berbicara dengan bahasa sasak kepada temannya. "Ndekwah", begitu lafaznya, seketika saya memberhentikan percakapan mereka dan bertanya.

Gili Kondo dan Gili Pasir

"tadi barusan bilang "ndekwah", apakah artinya itu tidak pernah?"

"iya, kok tau bang", jawab mereka dan kembali bertanya.

Ndekwah juga memiliki arti yang sama dengan bahasa Melayu Natuna, yaitu tidak pernah. Sebuah percakapan singkat dengan awalan kata "ndekwah" menjadi cerita panjang setelahnya. Perbincangan tentang pertukaran budaya antara Melayu Natuna dan Sasak di Lombok. Kata "ndek" sebelumnya sudah pernah saya dengar saat diajak oleh senior kampus saya yang juga berdomisili di sini ketika kami makan ayam taliwang, masakan khas Lombok. Namun "ndekwah" ini memiliki makna tersendiri bagi saya, dua pulau yang berjarak ratusan kilometer memiliki kesamaan kata dan makna. Barangkali ada kesamaan dalam hal tertentu yang terjadipada masa lampau.

Bukan lebay, namun ini tentang rasa saja. Dan saya yang sepertinya harus kembali mempelajari sejarah mengenai bahasa-bahasa di Nusantara. Barangkali "ndekwah" adalah salah satu dari sekian banyak kesamaan bahasa antara Melayu Natuna dan Sasak di pulau Lombok ini.

Geopark Rinjani Lombok memberikan pengalaman baru. Kesan pertama yang begitu "menggoda", semoga bisa kembali ke Gumi Sasak ini, kelak. Sampai jumpa lagi.



Tuesday, July 25, 2023

Perjalanan Ke Lombok, Kota Seribu Masjid dan Kejutan-Kejutan

Nusa Tenggara Barat, sebuah provinsi yang masuk dalam WITA (Waktu Indonesia Tengah) ini berada dalam list untuk ku "tinggalkan jejaknya". Dan alhamdulillah, akhir pekan lalu berkesempatan menginjakkan kaki di Gumi Sasak -Pulau Lombok- ini dalam rangka menghadiri beberapa agenda kegiatan di sini.

Nusa Tenggara menjadi nama gugusan kepulauan yang membentang di sebelah selatan pulau Sulawesi hingga selatan Laut Banda. Dahulu gugusan kepulauan ini bernama Sunda Kecil, nama Nusa Tenggara mulai resmi digunakan sejak UU 8 1958 diresmikan. Barangkali, Nusa Tenggara berarti pulau-pulau (nusa) yang terletak di sebelah tenggara NKRI. Secara administrasi, Nusa Tenggara ini dibedakan menjadi dua, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dua-duanya adalah nama provinsi. 

Nusa Tenggara Barat
Peta Nusa Tenggara Barat

NTB terdiri dari banyak pulau, dan didominasi oleh dua pulau besar, yakni Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Pulau Sumbawa merupakan pulau terbesar di NTB. Pulau Lombok, meski bukan merupakan pulau terbesar di NTB (luasnya sekitar 1/4 dari pulau Sumbawa), ia merupakan tempat dimana pusat pemerintahan Provinsi NTB berada. Kota Mataram, yang merupakan ibukota provinsi NTB berada di pulau ini. Pusat pemerintahan dan ekonomi juga berputar cepat di pulau ini. Selain banyak pulau kecil nan menawan di sekelilingnya, Rinjani yang berdiri megah di tengah-tengah pulau menjadi pelengkap keindahan Sang Gumi Sasak.

Landing, the first time....
Pesawat yang kami tumpangi mendarat di Lombok Internasional Airport (LIA) pada malam hari, sebuah perjalanan panjang dengan rute Natuna - Batam (bermalam) - Cengkareng - Yogyakarta - Lombok. Lampu-lampu kota Mataram sudah seakan menyambut kami dari atas sang burung besi. Di tempat tunggu pengambilan barang, kami berjumpa dengan delegasi peserta kegiatan dari daerah-daerah lain. Setelah chit-chat ringan dan berfoto tentunya, kami menuju hotel tempat acara dengan singgah ke sebuah rumah makan untuk menikmati ayam taliwang khas Lombok. Menikmati makanan khas dari tanahnya langsung.

Touchdown Lombok

Di tempat acara, saya menyempatkan diri bertemu dengan rekan-rekan yang sudah dahulu tiba, melepas rindu dengan berfoto bersama. Lalu kembali ke kamar untuk beristirahat. Perjalanan panjang dan duduk lama di dua moda transportasi (darat dan udara) akhirnya membuat badan ini meminta haknya. Tidur.

Perbedaan zona waktu membuat ku agak sedikit bingung dalam menentukan waktu subuh dan matahari terbit yang sudah saya rencanakan untuk hunting sejak tadi malam. Sembari mengeksplor hotel tempat menginap saya menemukan beberapa titik untuk mengambil foto sang surya yang sedang terbit. Sinar fajar berwarna jingga yang perlahan terbit dari timur masih tertutup dengan bayang-bayang raksasa yang baru ku ketahui adalah sebuah gunung. Gunung Argapura, tetangga gunung Rinjani ini berdiri kokoh di sebelah timur sehingga membuat cahaya arunika menyelip-nyelip manja dalam menampakkan indahnya. Pemandangan lain dari atas hotel juga tak kalah indah, kubah-kubah masjid terlihat sejauh mata memandang. Di segala penjuru arah. Tak salah memang jika pulau ini dijuluki kota seribu masjid dengan tujuan wisata halal terbaik di dunia versi Global Muslim Travel Indeks (GMTI).

Arunika dan Kubah-kubah Masjid

Dua kejutan tadi membuatku tak henti-hentinya mengucap rasa syukur. Sambil menerka-nerka, kejutan apa lagi yang diberikan Allah padaku melalui perantara Gumi Sasak ini.

Setelah terang, aku memutuskan untuk keluar hotel, berjalan-jalan sebentar sembari menunggu sarapan disiapkan. Berada di dekat gunung membuat udara pagi terasa dingin, jadi keluar sebentar sambil menghangatkan badan akan jadi kegiatan yang tepat. Tempat kami menginap berada di pusat kota Mataram. Benar-benar pusat kota. Sepertinya panitia sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk kegiatan multinasional ini. Berada di pusat kota membuat hotel ini dikelilingi oleh berbagai instansi pemerintah, mulai dari DPRD, kantor-kantor pemerintahan, Bank Daerah, Islamic Center hingga bandara Selaparang (bandara TNI AU). Dahulu bandara Selaparang merupakan pintu masuk udara bagi para wisatawan yang akan mengunjungi Lombok pada tahun 2011an ke bawah, sampai "gerbang udara" ini dialihkan ke Lombok Internation Airport pada oktober 2011 hingga saat ini.

Perbandingan motif

Saat berjalan di trotoar, mataku autofocus pada ukiran penghias di lantai trotoar ini. Ukirannya mirip seperti ukiran melayu kaluk pakis yang digabungkan. Sebagai pengagum budaya, fenomena ini aku abadikan, sebagai bahan kajian ala-ala ku ke depan, barangkali ada benang merah antara suku Sasak dan Melayu. Dan ini juga kusebut sebagai kejutan.

Bersambung.......







Monday, July 24, 2023

Museum Daerah NTB: Wisata Sejarah Budaya di Gumi Sasak

Seperti sudah menjadi sebuah tradisi dalam diri, yaitu menyempatkan mengunjungi tempat-tempat bersejarah ketika berada di suatu tempat yang baru dikunjungi. Kali ini, mumpung sedang berada di "Gumi Sasak" Pulau Lombok, saya mengunjungi Museum NTB yang kalau dilihat dari peta, letaknya tak begitu jauh dari tempat acara yang saya hadiri.

Museum Negeri NTB

Museum Negeri Nusa Tenggara Barat, atau bisa juga disebut dengan Museum NTB ini terletak di pusat kota Mataram, tepatnya di jalan Panji Tilar Negara No 6 (map). Jarak yang masih terjangkau tempat saya menghadiri acara dengan menggunakan transportasi online. Terletak di kawasan tengah kota, Museum NTB sangat mudah dikunjungi. Berdiri di atas lahan seluas hampir satu hektar, museum ini memiliki lebih dari 7.000 koleksi, mulai dari sejarah, budaya, arkeologi, seni dan lain-lain.

Museum NTB terdiri dari beberapa bangunan, bangunan pertama yakni resepsionis, di sini tempat kita membeli tiket masuk museum. Antara bangunan depan dengan bangunan utama terdapat taman yang dihubungkan dengan koridor kecil. Beberapa barang bersejarah juga disusun rapi di dekat taman antara dua bangunan ini. Di sebelah kiri taman, di belakang loket tiket terdapat saung dan rumah adat di NTB. Sementara di sebelah kanan terdapat Geopark Information Center (GIC). Yap, Pulau Lombok sudah ditetapkan sebagai kawasan Geopark, bahkan saat ini menyandang status UNESCO Global Geopark (UGGP) yang sudah diakui dunia dengan nama resmi Rinjani Lombok UGGp.

Area sekitar taman museum

Saya memasuki bangunan utama melewati koridor kecil, dan disambut dengan Jaran Kamput. Jaran Kamput terlihat seperti mainan kuda-kudaan yang dihias sedemikian rupa, biasanya digunakan saat proses khitan anak laki-laki, dimana sang "pengantin" (anak yang dikhitan) akan naik di atas Jaran Kamput lalu diarak berkeliling kampung. Hal ini masih dilakukan oleh masyarakat suku Sasak di Lombok. Memasuki ruang utama adalah peta pulau Lombok dan pulau Sumbawa, dua pulau besar milik NTB ini dengan detail ditampilkan, sehingga kita bisa melihat keadaan geografi dua pulau ini, seperti dataran rendah, lembah, danau, hingga gunung Rinjani dan gunung Tambora, dua "atap langit" yang melegenda. Tulang belulang binatang purba yang ditemui di NTB, hingga proses kejadian serta produk kebumian juga bisa kita lihat di sini.

Ruangan berikutnya berkisah tentang peninggalan kesultanan dan kerajaan yang ada di NTB. Beberapa koleksi yang terlihat adalah foto Sultan/Raja, bekas pakaian yang digunakan dan lain-lain. Peta perjuangan masyarakat NTB melawan kekuasaan Hindia Belanda dengan jelas ditampilkan, sebagai pengingat, bahwa perjuangan pejuang-pejuang terdahulu dalam meraih hak-hak atas tanah air yang dijajah. Maulana Syaikh Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, seorang tokoh, ulama, dan juga pahlawan Nasional yang mendirikan organisasi islam Nahdatul Wathan, profil singkat beliau rahimahullah bisa kit lihat di museum ini. Beliau yang bergelar Tuan Guru Kiyai Haji (TGKH) serta rekan-rekannya memiliki andil besar dalam penyebaran islam dan perjuangan pejuang di NTB.

Koleksi sejarah dan kebudayaan

Ruangan berikutnya menampilkan ragam kebudayaan dan beberapa peninggalan arkeologi seperti alat bertani dan berkebun, peninggalan keramik-keramik, alat memasak, hingga peralatan berkuda, serta alat-alat rumah tangga. Koleksi keris, permainan-permainan tradisional, alat musik, hingga motif tenun lombok -yang saya nilai paling estetik- juga dipamerkan di sini.

Perjalanan memutar museum membawa kita kembali ke pintu masuk. Sebelah kanan dari pintu masuk ini, terdapat koleksi flora dan fauna di NTB, mulai dari hasil produksi hutan, ragam reptil dan mamalia yang diawetkan, binatang-binatang laut, hingga buaya muara utuh yang diawetkan. Konon, buaya muara dengan panjang 4,1 meter ini pernah menggegerkan warga dan memangsa warga setempat. Setelah ditangkap dan diawetkan, buaya muara ini diserahkan ke museum pada tahun 2010 lalu.

Koleksi kebudayaan dan flora fauna

Sebagai informasi, Museum Daerah NTB ini diresmikan pada tahun 1982 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Museum buka setiap hari mulai dari jam 8 pagi, kecuali senin dan hari-hari libur nasional. Tak perlu merogoh saku yang terlalu dalam untuk masuk ke museum ini, dengan harga yang terjangkau, kita sudah bisa menikmati Nusa Tenggara Barat dengan cara yang berbeda.

Museum saya pilih, sebab menjadi representasi tempat-tempat sejarah dan budaya di provinsi NTB. Sebab waktu yang saya miliki tak banyak untuk mengeksplor Gumi Sasak dan Tana Intan Bulaeng. Meski hanya informasi singkat, namun museum sudah bisa mewakili untuk saya melihat Lombok, dan NTB dalam dimensi yang berbeda.




Sumber:
https://id.lombokindonesia.org/museum-ntb-lombok/
https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/menambah-wawasan-di-museum-negeri-nusa-tenggara-barat-lombok/
https://museumntb.ntbprov.go.id/node/page/detail/40

Tuesday, July 11, 2023

Museum Maritim Belitung, Tentang Belitung Dari Sisi Kelautan

Masih dalam rangkaian kegiatan UNESCO Global Geopark Youth Marine Camp di Belitong UGGp, agenda kami berikutnya adalah ke Museum Maritim Belitung. Museum ini terletak di Desa Tanjung Tinggi, Kecamatan Sijuk. Sebuah bangunan besar berdiri megah sekitar 100 meter dari jalan raya, dan berada di dekat pantai. Tak jauh dari bangunan utama, ada pendopo kecil yang barangkali digunakan untuk beristirahat.

Museum Maritim

Sejatinya bangunan ini sudah saya lihat sejak perjalanan pada hari pertama. Namun tidak menyadari sedikitpun bahwa itu adalah sebuah museum, sebab tidak ada plang nama atau sebagainya yang menunjukkan bahwa itu sebuah museum.

Bis yang kami tumpangi perlahan menepi, keluar dari jalan utama dan masuk ke jalan yang ditumbuhi rerumputan berlapis kerikil. Setelah berhenti dengan sempurna, para peserta turun secara perlahan, bergantian. 

Foto dulu gaessss

Setelah menerima arahan dari panitia dan berfoto bersama, kami memasuki sebuah gedung besar yang setelah dilihat dari dekat, seperti baru selesai dalam pengerjaannya. Ada dua petugas keamanan yang berjaga di depan museum, menyambut kedatangan kami, dan mempersilakan kami untuk masuk.

Bangunan museum ini begitu luas, ruangan pertama yang kami masuki yakni bagian depan museum yang memuat informasi singkat, seperti front officenya barangkali. Lalu memasuki ruangan utama, sebuah ruangan besar dan luas di tengah-tengah gedung, terdapat replika kapal pinisi di sini. Replika kapal dengan ukuran panjang 22 meter, dan tinggi 18 meter yang terlihat sangat detail ini berdiri megah di tengah-tengah ruangan gedung. Kita yang melihat seakan berada di tepi dermaga yang menyaksikan kapal pinisi ini sedang akan bersandar dengan gagahnya. Dan mengutip beberapa sumber, kapal buatan khas Suku Bugis ini, pertama kali tercatat berlabih di Belitung pada tahun 1865.

Replika Kapal Pinisi

Dari ruangan utama, kami beralih ke ruangan sebelah, sebut saja ruang pendukung. Di ruangan ini ditampilkan sejarah singkat maritim Kepulauan Bangka Belitung, mulai dari kapal hingga tinggalan barang-barang antiknya yang khas. Tercatat, ada beberapa BMKT (Barang Muatan Kapal Tenggelam) di Belitung. BMKT merupakan sesuatu yang juga bisa saya temukan di Natuna, dan tak kalah banyak juga jumlahnya. Sekali lagi saya berucap di dalam hati, ini menambah daftar kesamaan antara Natuna dan Belitong yang saya dapati di sini.

Perkembangan singkat maritim Nusantara juga dijelaskan di museum ini. Dalam diorama-diorama yang ada menjelaskan transportasi laut yang digunakan saat perkembangan islam dan juga peran transportasi laut pada masa-masa kerajaan lalu. Perpaduan antara poster, diorama dan replika (atau mungkin asli) dari barang-barang maritim hasil temuan yang dipamerkan menambah lengkap isi pengetahuan tentang perkembangan maritim nusantara, khususnya wilayah Bangka Belitung. Tambahan teknologi digital juga menjadi pelengkap museum yang berarti menyesuaikan dengan perkembangan zaman. 


Ruangan pendukung ini berbentuk seperti huruf U yang setengah mengelilingi ruangan utama tempat replika kapal pinisi tadi berada. Sehingga setelah berkeliling akan kembali ke ruangan utama yang besar itu kembali. Museum ini memiliki dua lantai, namun karena masih tergolong baru, jadi lantai dua belum dibuka untuk umum.

Museum yang baru ini didesain sedemikian rupa, sehingga selain sangat cocok untuk menambah ilmu dan wawasan kemaritiman, juga cocok dijadikan tempat berswafoto ria. Terlihat dari beberapa peserta yang juga terlihat sibuk mengambil gambar epik nan estetik di beberapa pojok museum.


Dari museum ini saya dapat ambil kesimpulan bahwa kejayaan maritim nusantara juga terkenal sejak lama. Dari barang-barang temuan BMKT yang dipamerkan, semakin menambahkan keyakikan saya akan ke-saudarakembar-an antara Belitung dan Natuna. Dua tempat yang terpisah  sekian ratus kilometer, namun memiliki banyak kesamaan, baik dari segi kebumian, sejarah, hingga budayanya.






Monday, July 10, 2023

GIC dan Batu Bedil - Cerite di Belitong

Hari kedua di negeri Laskar Pelangi.

Pagi-pagi sekali kami sudah bangun, mempersiapkan diri untuk kegiatan-kegiatan yang akan dilalui hari ini. Namun sebelum peserta lain bersiap-siap, aku dan beberapa teman mengambil kesempatan untuk berjalan melihat-lihat sekitar hotel. Sebenarnya beberapa rekan sudah mengajak nongkrong tadi malam, namun karena badanku sangat letih, jadi ku memilih untuk beristirahat saja di kamar.

Hotel yang kami tempati ternyata berada di pinggiran pantai. Di pusat kota Tanjung Pandan, sebuah kota tua di Belitung, hal ini terlihat dari beberapa bangunan yang ada di sekitaran hotel yang memiliki ciri arsitektur khas Belanda. Berjalan kaki merupakan salah satu aktivitas favoritku ketika berada di tempat baru, sebab aku dengan leluasa bisa mengamati sekitar. Tak jauh dari hotel, kami singgah di warung kopi legendaris, Kong Djie namanya. Dari branding yang terpampang di logonya, warkop ini soedah ada sedjak 1943, sudah 8 dekade ia menemani ahli sruput di pulau Belitung. Dan masih terus berkembang dan memiliki banyak cabang di beberapa tempat. Sambil menikmati suasana tempo doeloe di warkop ini, tak lupa ku membeli beberapa produknya, sambil merasakan produk khas dari Belitung, lalu kembali ke hotel.

Kong Djie Coffee, 1943

Tujuan pertama pada hari kedua ini adalah Geopark Information Center (GIC), letaknya tak begitu jauh dari hotel tempat kami menginap. Bangunan satu lantai yang sepertinya peninggalan Belanda ini, oleh pemerintah setempat "disulap" menjadi pusat informasi geopark. Oleh panitia, kami diarahkan menuju aula di belakang gedung, di sana sudah menunggu seorang bule Prancis. Setelah perkenalan singkat, ia langsung melakukan atraksi. Ruangan tadi merupakan studio wayang yang menampilkan pewayangan yang digerakkan dengan tali. Cerita yang diceritakan adalah beragam cerita lokal dari Belitong. Dalam geopark, hal ini masuk dalam cultural diversity, keragaman budaya yang menghiasi pulau Belitong.

Setelah dari ruangan, aku menyusuri ruang utama GIC. Di sini banyak terdapat informasi mengenai Geopark Belitong, mulai dari infromasi Geologi, Biologi hingga Budaya. Beragam fasilitas pendukung juga tersedia di GIC ini, seperti mesin informasi, perpustakaan dan beragam koleksi-koleksi lainnya.

Lalu ada juga ruangan semacam perpustakaan dengan interior yang bagus, layaknya sebuah kantor, ruangan ini digunakan oleh Belitong Geopark Youth Community (BGYC) sebagai sekretariat mereka. BGYC merupakan organisasi yang berisikan pemuda-pemudi Belitong dalam menggerakkan geopark di Belitong, ia merupakan komunitas pemuda Geopark pertama di Indonesia.

Belitong Geopark Information Center

Selesai di GIC, perjalanan kami berlanjut ke Geosite Batu Bedil, melewati tengah kota di Kabupaten Belitung, bus terus melaju melewati beberapa desa yang vibenya seperti di Desa Cemaga Selatan, di tempatku. Jalan melewati pesisir pantai dengan pemandangan laut dan bebatuan membuatku merasakan sedang berada "di rumah" saja. Selang beberapa waktu, kami tiba di Geosite Batu Bedil. Perjalanan tidak terasa jauh sebab di dalam bus kami saling bertukar cerita dan diskusi.

Geosite Batu Bedil sendiri mirip dengan Geosite Batu Kasah di Geopark Natuna. Ia terletak di Desa Sungai Padang, Kecamatan Sijuk, Belitung, kurang lebih 45 km dari hotel tempat kami menginap tadi malam. Nama Batu Bedil diberikan karena salah satu batuan granit di lokasi ini berbunyi seperti bedil (meriam) ketika dipukul dengan benda keras. Bunyi seperti bedil ditembakkan juga terdengar ketika ombak menghantam rongga-rongga batu. 

Cerita lain di Geosite Batu Bedil adalah dahulu di lokasi ini merupakan perkampungan tua. Dimana ketika para bajak laut datang, Batu Bedil dijadikan pertanda sehingga masyarakat bisa menyelamatkan diri. Konon bunyi bedil yang dihasilkan bisa terdengar mencapai radius berpuluh-puluh kilometer. Bunyinya bedil ini merupakan sebuah pertanda bahwa lanun akan datang, sehingga masyarakat bisa mengungsikan diri ke tempat yang saat ini disebut dengan Padang Pelarian.

Masih di Geosite Batu Bedil. Di dekat pantai terdapat sumur kecil yang dipercayai mengandung air yang beracun. Konon cerita air tersebut digunakan oleh tetua di kampung untuk mengelabuhi lanun yang datang. Ketika lanun meminum air dari sumur tersebut maka mereka akan mati. Sampai saat ini tiada yang berani meminum air dari sumur tersebut.

Geosite Batu Bedil dan Parut Mengale

Geosite Batu Bedil selain menawarkan panorama alam yang indah, juga didukung dengan fasilitas penunjang seperti beberapa tempat untuk bersantai, kantin, hingga mushala. Saat beristirahat, kami diberi makanan ringan khas Belitong. Namanya parut mengale, sajiannya berupa ubi rebus dengan parutan kelapa dan dibungkus dengan daun simpor. Gurih dan nikmat untuk mengisi perut sebelum makan siang. Di Natuna, kami mengenal dengan sebutan ubi ghebus, juga disajikan dengan nyok paghot (parutan kelapa) dan gule mighah (gula kelapa), namun tidak dibungkus dengan deun simpo (daun simpor), rasanya sama-sama gurih dan nikmat.

Dari Geosite Batu Bedil kami meneruskan perjalanan untuk melanjutkan agenda kegiatan berikutnya.




Sunday, July 9, 2023

Belitong: Sejarah dan Budaya

Keindahan alam yang ada di Geopark Belitong selalu memantik rasa penasaranku. Setelah tadi pagi landing di bandara H.A.S. Hananjoeddin, aku dan peserta lain langsung menuju ke beberapa lokasi dalam rangkaian kegiatan UGG Youth Marine Camp. Sepanjang perjalanan aku kerap memperhatikan sekitar. Belitong, memang tak jauh beda dengan Natuna. Bentang alam, daerah pesisir, pulau-pulau dan granit, budaya, dan tempatnya hampir sama dengan Natuna. Hanya dalam segi infrastruktur, Belitung sudah jauh di depan. 
Perjalanan sebelum ini
Rumah Limas, Tanjung Kelayang hingga Pusat Informasi Geologi (PIG) adalah beberapa tempat yang kami kunjungi dari pagi hingga sore ini. Sebenarnya menurut rundown yang dibagi panitia, ada beberapa tempat yang seharusnya dikunjungi sebelum ke PIG, namun berubah karena sesuatu dan lain hal, hal yang sangat biasa terjadi dalam sebuah acara besar.

Setelah dari PIG, perjalanan kami berlanjut ke geosite Open Pit Nam Salu, sebuah lokasi bekas tambang timah yang sudah ditinggal lama. Bekas galian tambang ini membuat lapisan bebatuan jelas terlihat. Sehingga menjadikan geosite Open Pit Nam Salu sebagai objek penelitian geologi dan situs Geopark Belitong.
Open Pit Nam Salu dengan pemandangan Bukit Mulong
Nam Salu berasal dari bahasa Cina Haka (kalangan Cina pekerja). Nam berarti selatan, sedangkan salu berarti jalur. Situs tambang Nam Salu pada masa jayanya merupakan situs tambang timah besar. Sudah beroperasi selama 150 tahun hingga berhenti pada tahun 1928.

Dari Open Pit Nam Salu, kita bisa melihat alam pulau Belitung, perbukitan dan hutan. Bukit Mulong tampak indah di kejauhan, yang sering disebut dengan "jalur tengah", sebab Bukit Mulong terletak di perbatasan antara Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur. Uniknya tour guide pada kunjungan kali ini adalah warga lokal yang dibantu oleh pelajar tingkat SMP dan SMA. Ternyata hal ini masuk dalam kurikulum pembelajaran di sekolah-sekolah mereka. Betapa besar dukungan pemerintah dalam pengembangan Geopark, hampir segala sektor digerakkan dalam mendukung upaya menjaga kelestarian bumi, baik untuk pendidikan, penelitian, hingga peningkatan ekonomi lokal. Sejatinya, inilah yang menjadi tujuan suatu kawasan ditetapkan sebagai tamanbumi atau geopark.

Setelah dari Geosite Open Pit Nam Salu, kami kembali ke meeting point, di sana dibagikan minuman khas lokal, saya lupa namanya, namun rasanya yang asam-asam manis dan segar itu cocok sebagai pengganti letihnya medan menanjak dan menurun dari dan ke geosite tadi, lalu para peserta juga diberikan souvenir oleh panitia.

Matahari perlahan mulai masuk dalam peraduannya, ketika bus yang kami tumpangi melaju ke tujuan berikutnya. Sebuah komplek rumah dinas tua, kemungkinan bekas dari PN. Timah yang dulu pernah berjaya. Rumah dinas yang barangkali sudah berumur puluhan tahun ini tak begitu besar, arsitekturnya khas Belanda. Di sini aku kembali bertemu dengan beberapa kawan yang baru datang menyusul, beberapa teman yang dulu bersama-sama dalam kegiatan UGG Youth Seminar and Camp di Batur UGGp. Agenda malam ini adalah makan malam, namun bukan makan sembarang makan. Panitia mengkonsep kegiatan ini dengan "memaksa" peserta untuk menjadi melayu Belitong: makan bedulang.

Makan bedulang merupakan salah satu tradisi melayu Belitong, dimana hal ini sering disajikan dalam acara-acara besar seperti kenduri, do'a selamat hingga pernikahan. Dulang merupakan wadah besar, seperti talam. Lauk pauk diletakkan di dalam dulang untuk disajikan kepada tamu, biasanya satu dulang untuk empat porsi atau empat orang. Sudah lengkap dengan nasi, air, hingga makanan ringan penutup. Makan bedulang sama dengan yang ada di Natuna, konsepnya juga sama, hanya pengucapannya saja yang sedikit berbeda, tergantung pada daerahnya. Masyarakat Bunguran Timur lama menyebutnya makan beduluong, sementara masyarakat pulau Sedanau dan gugusan Pulau Tiga menyebut makan bedulong. Sedangkan di Midai disebut makan bedulang, dan masyarakat Kelarik disebut makan bedulueng.
menu makan bedulang
Kesamaan ini semakin menambah "daftar kembar" antara Natuna dan Belitong. Baik secara alam dan budaya, yang ku yakin akan bertambah seiring perjalananku pada hari-hari berikutnya di bumi laskar pelangi ini.

Setelah makan bedulang, peserta menuju ke hotel untuk menginap dan persiapan menuju agenda esok hari.

Saturday, July 8, 2023

Belitong: Kali Pertama dan Tentang Kesamaan

Belitong, pulau ini terletak di selat Karimata, sebuah selat yang menghubungkan antara Sumutera dan Kalimantan. "Perkenalanku" dengan Belitong ini sudah lama. Sering melihat atlas, dan peta dunia, termasuk Indonesia pada waktu kecil membuatku tahu sedikit tentang Belitung yang kala itu merupakan bagian dari Sumatera Selatan. Perkenalan selanjutnya dengan pulau ini lewat sebuah film fenomenal, hasil adaptasi dari best seller novel karya Andrea Hirata dengan judul yang sama: Laskar Pelangi.

Film yang menceritakan tentang kegigihan dan kecerdasan guru-guru dan siswa-siswi lokal di SD Muhammadiyah itu, juga menampilkan keindahan alam pulau yang kaya dengan hasil bumi ini. Pasir putih dan granit besar yang menjadi ciri khas alam Belitung. 

Pantai dan batuannya sama dengan tempatku, Natuna.

Hal tersebut tentu saja menambah rasa penasaranku tentang pulau yang indah ini. Sehingga pulau Belitong yang saat ini sudah memisahkan diri dari Provinsi Sumatera Selatan dan membentuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini menjadi target untuk ku datangi.

Terlebih Pulau Belitong ditetapkan menjadi kawasan Geopark Nasional dan 2020 resmi menyandang status global dari UNESCO. Geopark, sesuatu yang kelak membawaku sampai ke pulau ini. Geopark Belitong terletak di Pulau Belitung Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kawasannya berada di dua kabupaten yakni Belitung dan Belitung Timur. 

Yap saya tidak salah tulis antara O dan U dalam penyebutan Belitung/Belitong. Secara administrasi, nama dua kabupaten memang menggunakan U, yakni Belitung dan Belitung Timur. Namun dalam ejaan bahasa melayu tempatan, Belitung disebut dengan Belitong, sesuai dengan tujuan Geopark yang memasukkan unsur budaya di dalamnya, sehingga penamaan resmi geopark pada kawasan ini mengambil dialek lokal: Belitong.

Gayung bersambut, kegiatan Pemuda Geopark di Geopark Belitong yang mulai digaungkan pada mei lalu seakan menjadi "batu pijakan". Setelah semua perkara selesai (baca: administrasi, ikut seleksi dari panitia dan ketersediaan dana dari sponsor dan pemerintah), aku bersama seorang teman dari Natuna berangkat menuju Pulau Laskar Pelangi ini. 

Burung besi membawa kami dari Natuna menuju Jakarta via Batam, dan Soekarno Hatta menjadi titik kumpul para peserta yang datang dari berbagai wilayah di Jawa untuk sama-sama berangkat ke Belitong esok paginya. Punya waktu sekian jam di bandara membuat ku memilih untuk ngemper di bandara sambil menunggu kedatangan rekan-rekan yang lain dengan bermodalkan chat di WA group yang sudah dibuat beberapa hari lalu.

bersama rekan dari (calon geopark di) Bali

Bali, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Selatan dan Jogja merupakan asal dari peserta-peserta yang membuat janji untuk bertemu dan kebetulan berada pada satu penerbangan yang sama rute Jakarta - Belitong. Tidur di kursi-kursi ruang tunggu bandara adalah hal yang kami lakukan sembari menunggu lengkapnya teman-teman lain yang datang. 

Dini hari, rekan-rekan sudah berkumpul di gate keberangkatan sambil menunggu jadwal penerbangan. Jakarta - Belitong hanya memerlukan satu jam penerbangan karena jarak yang memang tak begitu jauh. Cuaca cerah dari Jakarta, namun tidak ketika tiba di H.A.S. Hanandjoeddin International Airport Belitung, hujan mengguyur bumi Laskar Pelangi tersebut.

Sembari menunggu kedatangan peserta yang lain dengan penerbangan berbeda, kami sejenak istirahat, mengisi perut yang memang belum diisi pagi ini. Silih berganti pesawat landing di bandara, membawa beberapa peserta yang ku kenal wajahnya, tak asing, sebab sudah bertemu pada kegiatan Pemuda Geopark di Batur UGGp tahun lalu. Reuni kecil-kecilan ceritanya.

Touchdown Belitong!

Setelah semua peserta lengkap, bis penjemput yang sedari tadi sudah standby di parkiran bandara mulai berjalan, mengantarkan kami ke banyak tujuan. Acara sudah di mulai per hari ini.

Tujuan pertama adalah rumah adat melayu Belitong. Rumah adat ini sama seperti rumah-rumah adat melayu pada umumnya: rumah panggung. Rumah yang disebut dengan Rumah Limas ini terdiri dari beberapa bagian, bagian pertama yaitu bagian teras rumah, tempat tamu pertama kali masuk. Lalu yang kedua adalah ruang utama atau ruang tamu, tersedia dua kamar tidur di sini. Di ruang ini juga ditampilkan beberapa pernak pernik hantaran pernikahan adat melayu Belitong, dan di dinding-dindingnya terdapat foto Belitong tempo dulu.

Bagian berikutnya adalah dapur atau bagian belakang, antara bagian utama dan bagian belakang dihubungkan dengan penghubung seperti jembatan yang disebut dengan los. Di ruang belakang ini terdapat alat-alat dapur tradisional, juga terdapat alat-alat bertani dan melaut. Terpisah dari rumah induk, ada bangunan kecil di belakang yang disebut dengan pondok. Kata pemandu, itu semacam gudang untuk menyimpan kayu bakar, toilet berada di belakang pondok tersebut.

Rumah Limas, Belitong

Saya tertarik dengan dokumentasi foto-foto lama di dinding ruang tamu. Gaya melayu tempo dulu dan stempelnya mirip juga dengan stempel tempo dulu yang ada pada koleksi foto-foto lama yang ada di Natuna. Pernak-pernik pernikahan juga hampir sama dengan yang ada pada melayu Natuna. Bagian dapur terdapat beberapa alat tradisional yang ada kaitannya dengan bertani, ada lesung seperti seni tradisi di Natuna: lesung alu. Dan mereka menyebutnya Lesung dan Lumpang. Ada juga gerobak tradisional yang mereka sebut dengan liu-liu. Pada perayaan hasil tani, masyarakat Belitong mengenal istilah marastaun, yakni sebuah perayaan panen padi yang dahulu dirayakan di tiap-tiap desa.

Setelah dari rumah limas, perjalanan kami berikutnya menuju ke Pantaii Tanjung Kelayang untuk beristirahat dan makan siang. Di Tanjung Kelayang, semua peserta kegiatan berkumpul. Peserta dari UNESCO Global Geopark Youth Marine Camp, dan peserta The 11th ASEAN Summit 2023 berkumpul di sini. Sebagai informasi, The 11th ASEAN Summit merupakan event bertemunya negara-negara ASEAN, dan Geopark Belitong menjadi salah satu tempat diselenggarakannya kegiatan tersebut, pemerintah memilih Belitong UGGp untuk menjadi host dalam kegiatan Running Into The Blue: Oceanic Adventure sebagai bagian dari rangkaian kegiatan ASEAN Blue Economy Forum yang berlangsung di Belitung, 2-4 Juli 2023.

Peserta UGG Marine Youth Camp

Ini yang menjadi catatan saya: kegiatan kolaborasi. Semacam "aji mumpung" dalam melaksanakan kegiatan, dalam hal positif tentunya. Pemerintah menunjuk Belitong untuk menjadi tuan rumah kegiatan, dan Belitong UGGp mengambil kesempatan dengan berkolaborasi mengadakan kegiatan UGG Youth Marine Camp dengan skala internasional. Hal kolaborasi seperti ini yang mesti diterapkan, rangkaian kegiatan pada waktu yang sama. Kerja sama dalam event yang sekaligus besar. Hingga segalanya bisa dikerjakan bersama-sama. 

Di Pantai Tanjung Kelayang, kami istirahat untuk makan siang dan belanja pada stand-stand pameran yang sudah tersedia. Transaksi yang dilakukan dengan membeli kupon yang nanti akan di tukar dengan produk yang akan dibeli.

Trip masih berlanjut, kali ini tujuannya adalah Pusat Informasi Geologi (PIG) Belitung. Tarian selamat datang yang dibawakan oleh penari cilik menyambut kami dalam kunjungan ke PIG ini.

Seorang pemandu dengan ramah menjelaskan hal-hl yang ada dalam PIG, termasuk timah, sumber daya alam bumi Belitiung yang sudah diexploitasi selama kurang lebih 100 tahun. Sejak zaman kependudukan Belanda, timah Belitung dieksploitasi untuk kebutuhan persenjataan terutama pembuatan peluru. Proses pengambilannya mulai dari cara tradisional yang dikenal dengan ngelimbang, hingga cara yang modern kala itu.

Pusat Informasi Geologi Pulau Belitung

Selain timah, Belitung juga memiliki batu satam atau yang juga dikenal dengan batu meteorit. Ia tersebar di beberapa tempat di pulau ini. Nama satam diberi oleh penambang dari Cina, sa berarti batu, tam berarti empedu, batu satam memang memiliki ukuran yang cenderung kecil dan berwarna hitam, seperti empedu.

Selain unsur-unsur geologi, PIG juga menampilkan ragam potensi yang lain dari bumi Belitung, termasuk flora dan fauna dan lokasi-lokasi situs geopark Belitong. Yang saya notice adalah tarsius Belitong, masyarakat Belitung menyebutnya dengan pelile'an. Primata kecil yang jadi ikon dari Belitung ini, ternyata juga ada di Natuna. Yap, tarsius di Natuna baru ku dengar ceritanya dari seorang teman penggiat primata di Natuna, ditemukan di Pulau Subi dengan nama ilmiah Tarsius bancanus natunensis. Sebab nama ilmiahnya terdapat unsur Natuna, kemungkinan besar ia merupakan binatang endemik, seperti Kekah Natuna (Presbytis natunae).

Pelile'an atau Tarsius Belitung yang memiliki nama ilmiah Tarisus bancanus saltator ini adalah salah satu dari keragaman hayati di Belitong UGGp. Primata nokturnal ini bahkan ada dalam beberapa logo dan branding Belitong. Kesamaan yang kesekian kalinya antara Natuna dan Belitong ku dapati.


---bersambung---

Monday, April 10, 2023

Pertama ke Subi: Tur Singkat, Pra Ekspedisi

Subi, satu dari banyaknya kecamatan di kabupaten Natuna ini yang menjadi target untuk saya datangi. Letaknya berada di sebelah tenggara pulau Bunguran, pulau dimana aku berada. Jika melihat peta, Subi merupakan pulau kedua terbesar di wilayah Natuna setelah pulau Pulau Bunguran. Dan menurut jadwal kapal yang aku tumpangi, perjalanan dari pulau Bunguran ke Subi kurang lebih memakan waktu 5 jam. Waktu tempuh ini bisa berubah-ubah tergantung pada pelabuhan tempat berangkat, cuaca, dan jenis kapal yang digunakan. 

Perjalanan perdanaku ke pulau Subi ini dengan menaiki Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Bahtera Nusantara 01. Kapal roro milik PT. ASDP yang baru sekitar 2 tahun beroperasi menyambung pulau-pulau di Natuna ini berangkat dari Pelabuhan Tanjung Payung di Penagi pukul 7.30. Melewati laut di sisi Bunguran Selatan hingga gugusan pulau Tiga, kapal roro ini melaju membelah lautan hingga sampai di pelabuhan Subi pada pukul 12.30.

Roro "ngetem" di Penagi

Dermaga Subi memanjang sekitar 2 km dari bibir pantai, ini disebabkan pulau Subi dikelilingi karang dan laut dangkal sehingga tidak memungkinkan kapal-kapal besar untuk mendekat. Setelah turun dari kapal, saya langsung menuju penginapan, diantar oleh Memet, adik teman sekolahku yang kebetulan bertugas di pulau ini.

Kecamatan Subi terdiri dari banyak pulau, khas daerah kepulauan. Pulau-pulau besar di Kecamatan Subi adalah Pulau Subi Besar dan Pulau Subi Kecil yang dipisahkan oleh Selat Nasi. Kecamatan Subi memiliki 6 Desa, 2 Desa di Pulau Subi Besar, dan 4 Desa di Pulau Subi Kecil. Pusat pemerintahan dan keramaian berada di Pulau Subi Kecil, sebuah pulau yang merupakan satu dari tujuh pulau terluar NKRI yang dimiliki Natuna.

Pulau Subi

Pulau Subi ini tidak memiliki gunung, kontur buminya cenderung datar. Itu sebabnya selama perjalanan di kapal tadi agak sulit untuk menemukan pulau ini dari kejauhan karena tidak ada daratan yang "menonjol" di tengah laut yang bisa dilihat. Titik tertinggi Kecamatan Subi ini kemungkinan setinggi sekitar 10 mdpl dan berada di sebelah utara pulau Subi Kecil. Di tempat tersebut berdiri kokoh mercu suar, yang oleh warga sekitar disebut dengan gunung lampu.

Meski baru pertama menginjakkan kaki di pulau ini, namun pencarian informasi tentang Subi sudah lama ku lakukan, baik itu lewat buku, cerita-cerita teman sampai dari internet. Jadi kedatangan ke sini (selain melaksanakan dinas kantor), adalah langsung menuju ke lokasi-lokasi hasil "riset" singkatku dulu, ditambah informasi on the spot yang ku dapatkan.

Setelah menyelesaikan tugas wajib pekerjaan, aku mulai mengeksplorasi Subi. Fokusnya adalah seputar kebudayaan dan sejarah, sesuai dengan kompasbenua, komunitas yang kami dirikan dulu. Aku ditemani Dirga, pemuda Subi teman diskusi malam sebelumnya, dan juga Memet.

Tujuan pertama kami adalah Keramat Siti Balkis. Keramat Siti Balkis terletak di Pulau Subi Besar, sebelum Pos AL. Komplek keramat Siti Balkis terdiri dari beberapa kuburan dengan nisan besar dan kuburan-kuburan tua lainnya dengan nisan kecil. Nisan-nisan besar ini terbuat dari bebatuan karang, antaranya terdapat tulisan di nisan dengan tulisan arab. Namun sudah sulit untuk membacanya, hanya beberapa saja yang masih terlihat dan bisa dibaca. Nisan-nisan kecil pada kuburan yang lain terbuat dari batu granit, berbagai ukuran. Nisan batu granit serupa banyak ditemukan di wilayah Natuna yang lain, seperti di Bunguran Besar dan pulau Midai. Beberapa sumber mengatakan bahwa nisan granit ini dibuat di Temasik (Singapura saat ini), namun perlu data akurat yang lebih untuk kebenaran hal ini, sebab belum saya temukan batuan granit di Pulau Subi ini. Kalaupun ada, tidak pula ditemukan lokasi percetakan batu nisan tersebut di pulau ini.

Situs Keramat Siti Balkis

Selanjutnya kami menuju situs kuburan tua yang lain, masih di Pulau Subi Besar, tak jauh dari pelabuhan. Nisan granit ini yang mencuri pandanganku ketika tiba di Subi kemarin siang. Ada beberapa nisan granit di kuburan ini, di dekatnya ada semacam pondasi bangunan yang sudah roboh. Hal serupa juga pernah kami temukan di Sekalong, Kecamatan Bunguran Timur Laut tahun lalu. Tak jauh dari kuburan tua tersebut, juga terdapat komplek pemakaman yang lain. Hanya saja, banyak nisan yang hancur, disebabkan makam-makam ini berada di bawah pohon kelapa, sehingga buah dan lighang (daun kelapa) yang jatuh mengenai makam dan merusaknya.

Situs Makam di Dekat Pelabuhan

Perjalanan kami berlanjut ke Pulau Subi Kecil, menuju ke lokasi perigi butul, sebuah mata air di daerah Aek Genak, Pulau Subi Kecil. Mata air ini digunakan oleh masyarakat sekitar untuk berbagai kebutuhan sehari-sehari, mulai dari mencuci, mandi, dan air minum. Tak jauh dari perigi butol, di daerah Asek Singkap juga terdapat pemakaman tua, terlihat dari nisannya yang juga terdiri dari batuan karang dan batuan granit.

Selanjutnya kami menuju pemakaman tua yang lain, yang oleh orang sekitar disebut dengan kuburan Tok Kunde. Pemakaman ini sama seperti keramat Siti Balkis di Pulau Subi Besar, yakni terdiri dari beberapa kuburan besar dengan nisan batuan karang, dan kuburan lainnya dengan nisan yang lebih kecil dari batuan granit. Tak jauh dari kuburan tua ini, berjarak sekitar 100 meter, juga terdapat "komplek" pemakaman yang lain dengan model yang sama, masyarakat setempat menyebutnya kuburan Tok Uso. Di sini terdapat makam dengan nisan yang besar dan dikelilingi oleh makam-makam dengan nisan kecil di sekitarnya. Pada beberapa nisan besar masih terdapat tulisan yang lagi-lagi sudah agak susah dibaca.

Situs Tok Kunde dan Tok Uso

Perjalanan kami berlanjut, kali ini mengarah ke utara, menuju Keramat Darah Putih. Sebuah kuburan tua yang dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai kuburan seorang syaikh penyebar agama Islam di Pulau Subi. Keramat Darah Putih dijadikan lokasi wisata religi yang kerap didatangi baik oleh masyarakat Subi maupun yang datang dari luar. Di samping Keramat Darah Merah terdapat beberapa makam tua bernisan besar seperti pada tempat yang lainnya, makam ini sudah tertutup semak belukar. Tak jauh dari Keramat Darah Putih juga terdapat kuburan-kuburan tua lain bernisankan batuan karang dan batuan granit, lagi-lagi tulisan arab pada beberapa nisan ini tak dapat saya baca.

Keramat Darah Putih dan makam2 tua di sekitarnya

Di Subi juga masih banyak terdapat rumah-rumah dengan arsitektur tua. Sebagian besar ada yang sudah roboh sebagian, dan yang lain masih ditempati oleh si pemilik rumah. Rumah arsitektur melayu ini banyak ditemukan di Pulau Subi Kecil. Selain itu kami juga menyempatkan diri untuk bertanya ke beberapa narasumber terkait sejarah dan budaya Pulau Subi, beberapa sudah terekam, sisanya seperti mengisayaratkan seperti "au mang pelu gi Subi agik".

Bersama guide (bawah), dan narasumber (atas)

Selain "kaya" akan makam-makam tua, Subi juga memiliki peninggalan sejarah. Peninggalan sejarah tersebut beruba lapangan terbang yang hampir dioperasikan pada masa penjajahan Jepang tahun 1942-1945 lalu. Kini di area tersebut sudah tertutup tumbuh-tumbuhan dan dipasang plang milik TNI AU yang juga sudah roboh.

Tur setengah hari di Subi kali ini begitu mengesankan, Subi luar bisa. Hal ini menyisakan beberapa pertanyaan, seperti bagaimana Subi pada masa lampau, siapa "penghuni" makam-makam tua di Subi, siapa Keramat Darah Putih, siapa Siti Balkis, apa lagi peninggalan Jepang selain bandara yang ditinggalkan, dan masih banyak lagi. Untuk itu, kiranya memang perlu diadakan ekspedisi budaya dan sejarah dan penelitian lebih lanjut untuk menjawab ini semua: Ekspedisi Budaya Subi.




Thursday, March 2, 2023

Mengunjungi Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, Dari Sejarah Hingga Karya Fenomenal

Menjadi kebiasaan yang kubuat sendiri, bilamana ke suatu tempat minimal harus mengunjungi tempat bersejarahnya. Baik itu situs, ataupun museum. Nah kali ini, "targetnya" adalah museum di Kota Tanjungpinang: Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah.

Ruang Depan Museum

Meski sering wara-wiri di Tanjungpinang, museum ini sering kali terlewatkan, ada saja kendalanya. Padahal letaknya yang berada di pusat kota seharusnya tiada alasan untuk tidak ke sini. Dulu pernah sudah sampai masuk gerbang, tapi museumnya tutup, lalu ketika museumnya buka, kitanya yang gak mood. Ya gitu deh ya.

Kemarin, dengan tekad kuat yang sudah terkumpul, akhirnya sampai juga ke museum kebanggan kota ini. Kali ini diriku tak sendiri, ada junior dan mamake yang nemenin. So, song ite explore!

Museum ini terletak di jalan Ketapang no 2 Kemboja, di dekat area pasar lama, pusat keramaian di Tanjungpinang. Lokasinya juga berdekatan dengan GOR Kaca Puri, Masjid Agung Al-Hikmah, pelabuhan penyeberangan dan kawasan wisata kota taman tepi laut.

Nama museum ini diambil dari nama Sultan yang pernah memerintah Kerajaan Riau Johor Pahang Lingga yakni Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Ia memerintah pada tahun 1722 - 1760 yang pusat kerajaannya terletak di Sungai Carang (wilayah Kota Tanjungpinang saat ini). 

Gedung dari museum ini merupakan bekas sekolah dasar masa penjajahan yang bernama Hollan Indische School (HIS) pada tahun 1918. Ia berganti nama menjadi Futsuko Gakko kala Jepang menginvasi Nusantara pada 1942-1945, lalu berganti menjadi sekolah rakjat dan menjadi SD 01 hingga tahun 2004. Atas dasar nilai sejarah yang dimilikinya, gedung ini direkomendasikan menjadi museum oleh pemerintah kala itu.

Museum ini diresmikan pada tahun 2009 oleh walikota Tanjungpinang saat itu. Dalam perjalanannya, museum ini mengalami berbagai perubahan untuk mengikuti perkembangan zaman, namun tidak menghilang nilai aslinya.

Pada bagian luar museum terdapat meriam dan miniatur gedung. Kami berfoto sejenak di liuar, sebab di ruang depan sedang ada kunjungan dari siswa-siswi sekolah. Setelah mengisi buku tamu, kami masuk ke ruangan museum. 

Ruang utama berisi beragam peninggalan sejarah, mulai dari uang logam hingga perkakas kerajaan. Pada dinding-dinding museum tersaji informasi mengenai sejarah masuknya islam di Riau juga peninggalan zaman kolonial seperti senjata dan helm perang. Terus berjalan hingga ke belakang tersaji foto-foto sejarah masa lalu dimana kunjungan kepala negara hingga foto pemimpin-pemimpin di Kota Tanjungpinang.

Koleksi teknologi tempo dulu juga menghiasi isi museum di gedung utama ini. Di bagian akhir, kita akan disusguhkan dengan manuskrip-manuskrip tua serta karya sastra fenomenal Gurindam 12 karya Raja Ali Haji yang sangat mendunia itu. 

Di sini langkahku terhenti, mencoba membaca dalam-dalam beberapa bait syair dari sang maestro ini. Decak kagum dan rasa bangga memenuhi dada, membaca syair yang sarat makna juga pesan moral yang begitu universal. Orang-orang zaman dahulu sudah sebegini luar biasanya dalam bersastra. Masya Allah. Semoga Allah merahmati Raja Ali Haji yang juga sudah dinobatkan sebagai pahlawan nasional di republik ini.

Dari gedung utama saya berjalan menuju gedung sebelah yang berisi studio. Pada saat itu saya memilih untuk tidak masuk, selain karena si junior yang sudah menunjukkan gelagat tidak betahnya, ada pengunjung lain dari sekolah yang sudah memenuhi ruangan. Asyik juga belajar dengan turun langsung ke lapangan seperti ini.

Saya bergegas menuju ruang terakhir, di ruang ini, informasi tentang kebudayaan dipamerkan. Mulai dari tenun, potret kehidupan maritim, perkakas kehidupan sehari-hari, seni tradisi, permainan tradisional, hingga gambaran pakaian dan gambaran majelis pernikahan adat melayu. Semuanya tersaji di museum kebanggaan Kota Tanjungpinang ini. Setelah kiranya sudah mengeksplor seluruh ruangan (kecuali studio), rasa penasaran saya terbayarkan, dan saya bisa kembali pulang ke Ranai dengan tenang.






Sumber :
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/jejak-sejarah-sultan-sulaiman-badrul-alamsyah-i-1722-1760/
https://gokepri.com/berwisata-sejarah-di-museum-sultan-sulaiman-badrul-alamsyah/