Monday, June 22, 2020

Cerita di Teluk Panglima, Camping Perdana di Indahnya Alam Bunguran Selatan

Cuaca yang tak menentu beberapa hari terakhir ini membuat sedikit mager untuk berkegiatan dan melakukan aktivitas di luar. Namun kemarin berbeda, mager harus dilawan karena ada sesuatu yang harus diselesaikan.

Berawal dari chat-an teman di grup WA GenPI Natuna tentang spot wisata yang baru-baru ini viral. Saya yang diamanahkan sebagai ketua Divisi Offline komunitas yang tersebar di semua provinsi tersebut langsung merespon cepat, "yuk kita kemah saja di sana, sambil mengundang komunitas lain". Begitu kataku yang langsung diamini member grup yang lain.
Poster Kegiatan
"Rapat Online" pun dilakukan. Dengan segala pertimbangannya, akhirnya acara disepakati diadakan pada tanggal 20 juni. Tajuk acaranya adalah ground camping, yang kebetulan juga sudah masuk dalam program kerja kepengurusan periode ini, hanya lokasi saja yang berbeda. Sebelumnya direncanakan di Pulau Senua bersempena dengan malam puncak Festival Pulau Senua, namun karena cobaan pandemi covid19 ini jangankan ground camping, festival pun urung dilaksanakan. Hikmahnya, kami tetap bisa melaksanakannya di lokasi wisata yang lain, sedang hits pula : Teluk Panglima

Persiapannya boleh dibilang cepat, karena hampir semua pengurus GenPI Natuna berpengalaman dalam kegiatan outdoor. Setelah pengurus oke, selanjutnya adalah mengundang komunitas-komunitas yang ada untuk berkoordinasi. Karena Teluk Panglima merupakan tempat baru, akan ada beragam agenda yang direncanakan. Mapala STAI Natuna, Kompasbenua, dan Lensa Natuna adalah beberapa komunitas yang confirm dan hadir dalam rapat koordinasi ini.

Mapala nanti akan bertugas untuk konservasi sumber daya alam disana. Kompasbenua, komunitas yang bergerak dalam penelusuran sejarah dan budaya melayu Natuna ini akan menelusuri sejarah dan cerita rakyat tentang Teluk Panglima. Dan Lensa Natuna, mereka bertugas mengambil sebagus-bagusnya gambar yang nanti akan kami up kan di media sosial.

Teluk Panglima terletak di Kampung Pian Padang, Desa Cemaga Selatan, Kecamatan Bunguran Selatan (peta lokasi). Sebelah tenggara dari Pulau Bunguran Besar. Menuju ke lokasi tersebut saat ini sangatlah mudah, berkendara dari pusat kota Ranai ke lokasi yang berjarak sekitar kurang lebih 40 km ini bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 1 jam saja.
Brifing dan do'a dulu coy, biar aman dan berkah
Titik kumpul peserta berada di TIC (Tourist Informastion Center). Setelah brifing dan berdoa untuk kelancaran kegiatan, kami bersama-sama menuju lokasi kegiatan. Pergi bersama-sama membuat perjalanan terasa berbeda dan singkat. Dan alhamdulillah, cuaca mendukung hari ini, tiada hujan, hanya sedikit mendung. Rute perjalanan melewati jalan poros Ranai - Selat Lampa, lalu berhenti di pertigaan Pian Padang. Simpang khas dengan gunung Kelantang di pinggir jalan yang begitu ikonik.

Masuk ke jalan tersebut akan membawa kita menuju Kampung Pian Padang. Jalan lurus nan mulus menuju pantai. Sebelum mencapai ujung jalan, terdapat gang kecil sebelah kanan dengan jalan berpasir. Itulah jalan menuju tempat hits yang beberapa hari ini gambarnya berseliweran di lini masa.

Sekitar 5 menit perjalanan melewati jalan berpasir tadi menuju ke Teluk Panglima, melewati jalan kecil, sungai kecil, dan pelabuhan serta pabrik es. Perjalanan kami ditemani oleh segerombolan sapi yang sengaja dilepas oleh pemiliknya agar leluasa mencari makan.  Rombongan sapi yang "kaget" karena mesin kendaraan kami langsung berlarian di hamparan padang nan luas ini. Seperti di taman safari Afrika yang biasa ku lihat di NatGeo Wild saja rasanya.
Lokasi Teluk Panglima
Mercu suar menjadi penanda bahwa kami sudah sampai. Menara yang menjulang setinggi 30 meter itu berfungsi sebagai penanda bagi kapal-kapal di lautan. Kami memarkirkan kendaraan lalu menurunkan peralatan dan berbagi tugas. Ada yang memasak, membersihkan lokasi, dan mendirikan tenda. Setelah makan malam, agenda selanjutnya adalah berkumpul di tenda induk untuk sharing sekaligus perkenalan komunitas yang ikut berpartisipasi dan juga bersilaturahmi dengan Karang Taruna dan pemuda setempat. Serta menentukan kegiatan esok hari.
Biar kayak orang-orang
Ada banyak hal yang didapat ketika berkumpul, saya menyebutnya nongkrong. Terlebih dengan banyak perkumpulan yang berbeda latar belakang. Akan banyak ide dan aksi yang bisa dilakukan bersama-sama. Maka dari itu pula, saya sangat menyukai berkolaborasi setiap akan membuat suatu event
Yang penting gaya
By the way, ini merupakan kemping pertama ku setelah bertahun-tahun lamanya. Terakhir kemping saat masih kuliah dulu di Jogja. Makanya aku sangat excited sekali dengan acara ini, tntu dengan misi tersendiri pula. Alhamdulillah ibu nya jagoan mengizinkan, jadi kemping kali ini akan jadi hal yang menyenangkan. 😀

Kemajuan dan pemanfaatan teknologi yang baik menjadikan Teluk Panglima yang dulu hanya lokasi peternak memindahkan sapinya untuk mencari makan, menjadi hits dan happening dalam beberapa waktu belakangan ini.
Gaya lagi
Teluk Panglima merupakan tempat wisata unik menurut saya. Bebatuan karang yang berserakan di pantai hingga laut dengan pemandangan lautan lepas Natuna nan biru, disertai hamparan savana yang luas serta gunung Kelantang yang menjulang ini akan bisa menjadi daya tarik bahkan primadona baru wisata di Natuna. Tinggal kita poles dan kelola sedemikian rupa saja. Berkemah disini merupakan surga bagi para pecinta fotografi, momen sunsetnya luar biasa. Saat malam, milkyway jadi target utama. Dan ketika pagi menjelang, sunrise pula yang jadi "korbannya". 
Milkyway hasil jepretan salah satu peserta
Belum lagi hamparan savana luas membentang. Dengan spot dan teknik-teknik pengambilan gambar tertentu, hasil gambar di sini tidak akan ada yang menyangka bahwa tempat ini berlokasi di Natuna saking indahnya, meski tak seindah savana Gunung Merbabu dan savana Baluran di luar sana. Ditambah lagi dengan cerita dan legenda dibalik namanya ini. Kata Panglima pada nama teluk membuat kami penasaran akan asal usul dan sejarah lokasi ini, belum ada cerita yang valid dari narasumber atau orang-orang tua yang kami dapatkan, insya Allah akan jadi agenda kedepannya kelak. Selain lokasi yang indah nan menawan, cerita rakyat dan legenda juga bisa jadi penunjang pariwisata, kan.
Savana Gunung Kelantang, Teluk Panglima
Oleh karena lokasi ini masih baru, jadi belum terdapat fasilitas-fasilitas yang memadai sebagai penunjang pariwisata. Baru ada dua sumur kecil tempat berbilas setelah berenang di laut. Sedang fasilitas MCK, kantin dan lain-lain masih belum tersedia. Semoga ada peningkatan kedepannya.

Jadi, jom lah ke Natuna!?!






Sunday, April 12, 2020

Berlayar (Kembali) Menuju Pulau Kecil di Tengah Laut Natuna

Deru ombak yang beradu dengan dinding kapal sudah menjadi alunan musik bagi ku, setidaknya selama 3 jam ini. Yap, aku berada diatas kapal kecil yang sudah lepas jangkar dari Pelabuhan Rakyat di Selat Lampa sejak tadi pagi, mengarah membelah Laut Natuna menuju arah selatan. Menuju ke pulau yang tiada pulau lain di dekatnya. Sendiri, kecil, mungil, namun indah dengan jutaan cerita dan kenangan yang tersimpan rapi. Pulau Midai.

Cuaca sangat bersahabat, cerah. Angin teduh, dan gelombang sedikit tenang. Meski begitu, aku masih merasakan sedikit pusing karena gelombang laut. Maklum, sudah lama tak berlayar sejauh ini. Kapal yang kami tumpangi tidak lah terlalu besar, panjang sekitar 20m, tinggi kapal kurang lebih 4 m, dan tinggi struktur 2 meter. Ia merupakan sumbangan dari salah satu kementrian di republik ini. 
Aktivitas masyarakat Pulau Tiga

Pulau-pulau di Pulau Tiga

Jarak dari Selat Lampa ke Midai kurang lebih 52 mil atau 83 km. Kapal ini biasa menempuhnya dengan waktu kurang lebih 5-7 jam tergantung pada cuaca. Kami mulai berlayar pukul 7 pagi dari Selat Lampa. Kapal berjalan pelan dan santuy melewati gugusan pulau-pulau di Pulau Tiga yang indah, melewati selat kecil diantara pulau Sabang Mawang dan pulau Tanjung Kumbik, kedua pulau ini berada di dua kecamatan yang berbeda, pulau Sabang Mawang berada di Kecamatan Pulau Tiga, dan pulau Tanjung Kumbik berada di kecamatan Pulau Tiga Barat. Air laut jernih serta aktifitas masyarakat di sekitar pulau yang sedang melaut menjadi pemandangan elok di pagi yang cerah itu.

Istirahat menunggu logistik dan perbekalan

Di perairan Tanjung Batang kapal melambat dan berhenti sejenak, menunggu kapal lain yang datang untuk mengisi perbekalan kapal. Setelah selesai, kapal kembali melanjutkan perjalanan, kembali dengan santuy, kapten kapal seakan mengerti betul kami tak ingin cepat-cepat melewati pemandangan indah ini, banyak pulau-pulau kecil nan indah yang kami lewati ketika melewati gugus pulau-pulau di Pulau Tiga. Ingin sekali rasa mengeksplor satu persatu pulau-pulau ini, menguak rahasia-rahasia keindahan yang terkandung di dalamnya yang tak bisa hanya dilihat dari kejauhan saja.

Saat ini kami sudah berada di pertengahan jalan. Karena cuaca sedang panas, aku lebih memilih duduk di luar, namun sesekali aku masuk ke ruang kapten, iseng saja sambil melihat GPS -meskipun aku tak mengerti- di dalam kapal yang menunjukkan arah yang lurus menuju ke tujuan. Kadang-kadang aku mengambil teropong milik kapten dan meneropong di sekitar. Hanya pemandangan laut lepas, dan beberapa kapal penangkap ikan saja yang terlihat. Kapal "cantrang" dari Jawa, begitu kata orang-orang di kapal yang aku tanyakan. Cantrang memang lagi jadi kata populer untuk masyarakat Natuna saat ini.
Cantrang

GPS dan teropong kapal

Aku masih melanjutkan meneropong sekeliling, kali ini mengarah ke sisi kanan kapal, tepatnya sebelah barat. Dari kejauhan terlihat titik-titik hitam di atas lautan, bak bebatuan yang mengapung diatas lautan. Batu-batu, itu jawaban yang kudapati ketika bertanya dengan paman. Seketika aku berfikir, tumpukan bebatuan yang menyembul di tengah-tengah laut, kemungkinan berjenis batuan granit yang memang banyak ditemukan di Natuna. Lalu berapa besar bebatuan yang "menyengul" di lautan lepas itu? Nanti aku googling saja ketika kembali ke Ranai, fikirku. Kapal masih terus berlayar, membelas laut Natuna menuju selatan.
Berlayar kita, nak

Akibat sedikit pusing tadi, selera makan pun menjadi ambyar, parahnya lagi sulit untuk memejamkan mata, ditambah lagi dengan pemandangan yang seluruhnya laut membuat rasa bosan memuncak, ingin cepat-cepat sampai dan berlabuh di dermaga. Aku tak hiraukan jika berangkat sendiri, rasa khawatir ini semakin bertambah dengan ikutnya istri dan jagoanku yang masih bayi. Ini pertama kalinya mereka berlayar jauh. Namun sejauh yang ku lihat, mamanya jagoan sehat-sehat saja, dan jagoanku masih "pengas" mengeksplor kapal, sesekali melihat laut dan mengoceh sendirian seakan meluapkan rasa penasaran. Tidak ada terlihat muka pucat dan mabuk laut di wajah mereka, alhamdulillah.

Perjalanan masih berlanjut, jam menunjukkan hampir pukul 11 siang. Ketika aku berdiri di haluan kapal dan melihat jauh ke depan. Sayup terlihat gundukan tanah memanjang di tengah lautan. Bentuknya sudah tak asing lagi, aku hafal betul dengan bentuk ini, dua gunung yang terlihat dari kejauhan membentuk huruf M, itu lah pulau Midai. Kecil, mungil, namun indah dan damai. Jika pulau Midai sudah terlihat, kurang lebih 2 jam lagi akan sampai, begitu kata pamanku.
Pulau Midai dari kejauhan

Selanjutnya yang ku lakukan adalah mondar mandir di kapal untuk menghilangkan rasa bosan, terkadang bergantian menjaga jagoanku yang masih saja aktif, hanya tidur sebentar saja tadi, itu juga di paksa mamanya. Dia senang sekali melihat laut. Kadang-kadang ikan terbang (Exocoetidae atau torani) menemani perjalanan kami, muncul dengan tiba-tiba dari dalam laut lalu terbang rendah di atas permukaan dan kembali lagi menyelam. Ikan terbang ini memang memiliki habitat di perairan pasifik dan hindia, jadi Lauta Natuna merupakan "rumah" yang pas untuk ikan yang mampu berenang dan terbang ini. Ia bisa terbang sejauh 40 - 500 meter jika dibantu dengan bantuan gelombang, dan juga bisa berenang dengan kecepatan 60 km/jam di air guna lari dari mangsa. Selian itu, potensi lain dari ikan ini adalah telurnya yang mahal, yang biasa ia tempelkan di tumbuhan-tumbuhan laut. Hmmm, mantap syekaleeh ya.
Midai

Jika beruntung, selama perjalanan baik menuju atau dari Midai terkadang juga ditemani oleh kumpulan lumba-lumba yang berenang di dekat kapal. Banyak video-video yang dibagikan oleh teman-teman di media sosial yang menunjukan mamalia laut ini mengiringi kapal yang sedang berlayar. Sayang, mereka enggan muncul dalam perjalanan kali ini. Hanya ikan "indosiar" lah yang jadi teman kami berlayar.

naldoleum
Masuk perairan Midai

Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang, kapal sudah memasuki perairan Pulau Midai. Pulau yang dari jauh berbentuk huruf M tadi perlahan "membesar", berwarna hijau pertanda masih rimbun dengan pepohonan. Cuaca yang cerah membuat birunya langit, hijaunya pulau dan birunya laut membentuk gradasi warna yang indah, perpaduan epik dari Sang Pencipta, Keagungan_Nya Yang Maha Sempurna. Rasa tak ingin cepat berlalu menikmati pemandangan yang luar biasa ini. Sebentar lagi kapal akan berlabuh di pelabuhan. Laju kapal perlahan melambat seketika telah masuk di perairan Midai. Laut biru yang jernih hingga terlihat dasar laut yang dipenuhi karang-karang. Terkadang ikan-ikan berenang keluar masuk terumbu karang yang tampak dari atas kapal. Semakin dekat menuju dermaga, laut semakin jernih, dasar laut semakin jelas terlihat. Memang indah alam Natuna ini, tugas kita untuk menjaga dan memeliharanya.
naldoleum
Bentar lagi sampaiii

Kapten semakin melambatkan laju kapal, sebentar lagi akan merapat di dermaga. Ada banyak pelabuhan di pulau Midai. Hampir setiap desa dan kelurahan di pulau ini memiliki dermaga untuk berlabuhnya kapal, baik kapal nelayan maupun kapal penumpang. Kali ini kami akan merapat di pelabuhan WK, di Kelurahan Sabang Barat. Pelabuhan ini juga biasa digunakan untuk berlabuhnya kapal-kapal besar, seperti KM Bukit Raya dan Kapal-kapal Logistik lainnya. Mesin kapal dimatikan, tali ditambatkan di pelabuhan, alhamdulillah kami sampai di Midai dengan selamat.
naldoleum
Sampai Midai dengan selamat


Monday, April 6, 2020

Midai, Setelah 6 Tahun

Mendengar ada info kapal yang akan ke Midai seketika memperbaiki mood yang beberapa waktu kemarin kurang nyaman. Jadi, aku langsung mengiyakan ajakan paman yang akan pulang ke Midai esok. Berhubung kerjaan sedang "stop" sementara. Memang dari dulu ingin balik ke Midai belum pernah kesampaian. Terkahir aku menginjakkan kaki disana saat libur kuliah pada ramadhan tahun 2014 lalu. Sudah 6 tahun tidak balik kampung, bagaimana dengan pulau itu sekarang? 

Misi pulang Midai kali ini juga ingin mengenalkan keluarga baruku dengan keluarga besar ku disana. Sejak menikah, mamanya jagoan belum pernah ke Midai dan si jagoan kecilku ini ingin sampai juga ke kampung nenek moyangnya di sana. Saya langsung packing barang, dan bersiap untuk berlayar besok, uhyey.
Packing

Perjalanan ke Midai kami mulai dari rumah menuju Pelabuhan Rakyat di Selat Lampa, lalu naik kapal menuju Midai. Ada banyak kapal menuju Midai, diantara yang biasa ditumpangi adalah KM Fisabilillah dari pemda, Kapal Nelayan "KKP" dari Kementrian Kelautan dan Perikanan RI, dan beberapa kapal milik juragan-juragan Midai. Perjalanan dari Selat Lampa menuju Midai biasa ditempuh dengan waktu tempuh kurang lebih 5-7 jam tergantung pada cuaca. 

Kapal yang kami tumpangi lepas jangkar pada pukul 7 pagi, lalu sampai di pelabuhan Midai pada pukul 1 siang. Alhamdulillah cuaca pagi ini cerah dan bersahabat, laut "bagai air dalam talam", begitu masyarakat Natuna mengistilahkan laut tenang tanpa gelombang. Kami sampai dengan selamat.
Suasana di pelabuhan WK, Midai

Midai, pulau kecil di selatan Pulau Bunguran ini berada tersendiri tanpa "teman". Pulau terdekat adalah pulau Timau, itupun tiga jam perjalanan dengan perahu mesin untuk mencapai kesana. Letak  pulau Midai ini juga strategis untuk wilayah Kabupaten Natuna, sehingga saya sendiri sedikit bingung untuk menyebut pulau Midai ini masuk dalam gugusan Pulau Bunguran (Natuna Besar) atau gugus Kepulauan Natuna Selatan.

Saat ini Midai terbagi menjadi dua kecamatan, Kecamatan Suak Midai yang merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Midai diresmikan pada april 2016 lalu. Sepertinya unik, satu pulau dengan luas kurang lebih 18 km persegi ini memiliki dua kecamatan, namun saya rasa bagus, untuk mempercepat pembangunan dan pemanfataan sumber daya manusia yang ada.

Tak banyak perubahan yang nampak menurut saya setelah 6 tahun Midai tak saya kunjungi. Midai dahulu dan sekarang masih sama, masih asri, masih alami. Sedikit hasil pembangunan nampak di pulau ini, seperti kantor-kantor pemerintahan yang terlihat lebih modern setelah renovasi, bangunan-bangunan hasil bantuan dari pemerintah pusat, semenisasi jalan, dan banyak lagi mulai terlihat, itu yang membedakannya. Namun bahkan, ada yang "mundur" ke belakang, seperti beberapa bangunan dan pelabuhan yang tak terurus dan terawat. Rumah-rumah yang rusak tak terawat karena ditinggal penghuninya. Sarana olahraga banyak dibangun untuk menyalurkan bakat-bakat para olahragawan Midai yang memang terkenal apik sejak dulu. 
Tugu Midai

Ohya, kafe-kafe kekinian serta kios-kios minuman hasil karya enterpreneur muda Midai mulai tampak, terutama di Kelurahan Sabang Barat, satu-satunya kelurahan di pulau ini dengan penduduk yang sangat banyak, hampir menyamai 5 desa yang ada di dua kecamatan di pulau ini. Bisa di bilang Sabang Barat merupakan "ibukota" pulau Midai, dimana perputaran ekonomi berpusat di sini.  

Orang-orang menyebutnya Kedai, salah satu daerah di Sabang Barat dimana pusat keramaian berada. Kantor Lurah, Pelabuhan Rakyat, Bank, Masjid, Kelenteng, hingga warung kopi berada di kawasan ini. Tugu Proklamasi masih berdiri tegak di depan kantor Lurah, tugu yang ikonik. Tugu yang menjadi penanda, pulau kecil ini berada di bawah NKRI.

Bangunan-bangunan di Kedai

Saya menyebut daerah Kedai ini sebagai "kote tue". Bangunan-bangunan kayu dua lantai berada di sisi kiri dan kanan jalan. Sebagian masih utuh dengan kayu asli dan ukiran khas zaman dulu, sebagian lagi hancur, bahkan hilang sama sekali diganti semen dan besi.

Dahulu, di Kedai ini pernah berdiri perusahaan multinasional dijamannya, Ahmadi & Co, namanya. Ia merupakan gabungan syirkah-syirkah di Pulau Midai yang bekerjasama mengelola hasil bumi pulau ini untuk diekspor hingga keluar negeri. Midai menjadi pulau yang maju saat itu. Dulu. Sekarang tinggal bekas bangunan kantornya saja di dekat tugu Pemuda yang digunakan sebagai gudang.
Bekas Kantor Ahmadi & Co.

Kala senggang, saya mengelilingi pulau Midai bersama keluarga ketika sore hari. Dengan kendaraan bermotor, cukup 45 menit saja mengitari pulau ini. Melewati jalan utama di pesisir, terkadang juga kami memotong jalan dengan melewati gunung Jambat. Sekali lagi, tak banyak perubahan yang tampak di Midai. Masih tetap alami, dan asri. Pepohonan kelapa mendominasi pulau ini hingga ia menjadi komoditas utama pada masa kejayaan Ahmadi & Co dahulu. Kebun cengkeh milik warga akan mudah kita temui jika kita berseliweran jalan di gunung-gunung. Selain gunung Jambat, ada gunung Air Putih, Gunung Sebelat, Gunung Lampu, dan lain-lain. 

Ohya, saya sedikit yang saya catat ketika berada di sini. Adalah ramainya warga, terutama anak-muda yang nongkrong di pelabuhan ketika pagi dan sore hari. Bukan tanoa sebab, mereka ternyata mencari akses internet untuk kebutuhan "premier" mereka. Dan pelabuhan merupakan tempat "merdeka sinyal" di Midai. Begitulah, sejak dahulu, Midai memang agak susah untuk bidang komunikasi. Saat akses internet belum ada saja, orang-orang Midai susah untuk  menghubungi dan dihubungi lewat telepon selular biasa. Dan dijaman yang serba menggunakan akses internet seperti sekarang inipun demikian adanya.

Hmmmm satu lagi, selama saya di sana, ada satu yang saya fikir benar-benar hilang. Atau paling tidak, tidak saya temui selama beberapa hari berada di sana, yaitu gerobak sapi. Yap, dahulu saat saya liburan di Midai, naik gerobak sapi adalah tujuan saya kedua, setelah berenang di laut. Entah mengapa, bahagia saja menumpang naik gerobak sapi ini. Memang, sesederhana itulah bahagia. Namun saat ini, gerobak sapi sudah tidak saya temui lagi di Midai. Tugasnya diganti oleh yang lebih kuat dan praktis, sepeda motor roda tiga, atau yang biasa disebut tosa. Disisi lain, hal ini bagus, mengurangi eksploitasi binatang. Namun kenangan akan hal ini sulit dilupakan.

Sekitar seminggu kami berada di Midai, ini sebagai pembuka perkenalan kepada keluarga baruku tentang pulau mungil yang menyimpan banyak cerita dan sejarah. Lain waktu insya Allah kami akan kembali datang, menulis cerita baru, atau mengingat cerita-cerita lama untuk kembali menyegarkan ingatan betapa bahagia dan indahnya pulau ini, Pulau Midai.







Friday, February 7, 2020

6 Fakta Mengenai Natuna, Pulau yang Dijadikan Lokasi Karantina WNI Dari Wuhan

Cerita bermula dari salah satu media online nasional yang memuat artikel tentang tempat-tempat potensial untuk karantina WNI yang akan dievakuasi dari Wuhan. Dalam artikelnya tertulis Kepulauan Natuna diopsi terkahir. Berbagai tangkapan layar (screenshot) dibagian Natuna nya mengisi laman berbagai media sosial rekan-rekan disini. 

Serasa tidak akan mungkin. Mengingat Natuna ini berada jauh dari pusat ibukota dan daerah terdepan sehingga kecil kemungkinan untuk "diperhatikan" pemerintah pusat. Namun ternyata itu salah, Natuna fix jadi tempat karantina.

Meski harus melalui proses yang panjang, mulai dari berbagai aksi, audiensi hingga mediasi pada akhir januari hingga awal februari lalu. Pemilihan pulau Natuna sebagai tempat karantina WNI yang dievakuasi dari Wuhan tetap tidak berubah. Warga Negara Indonesia di Wuhan tiba di bandara Raden Sadjad pada minggu, 02022020 untuk dikarantina selama kurang lebih 14 hari.

Seujujurnya tak sedikit warga yang masih was-was akan kejadian ini. Beragam pertanyaan juga masih terlontar yang berarti belum terjawab semua rasa penasaran warga di Natuna, khususnya di pulau Bunguran, tempat dimana WNI dikarantina.

Namun apapun itu, warga Natuna menerima keputusan pemerintah pusat mengenai karantina WNI selama 14 hari setelah meminta beberapa poin usulan yang diajukan saat aksi penolakan. 

Sebentar saya flashback sedikit, aksi penolakan yang kami lakukan dulu berada didua "dunia", dunia nyata dan dunia maya. Di dunia nyata kami letih tenaga, di dunia maya kami letih fikiran dan emosi meladeni para netijen +62 dengan berbagai cercaannya, kebanyakan dari mereka tidak pernah bahkan tidak tahu bagaimana kondisi Natuna sesungguhnya, yang mereka lakukan adalah "ikut" mencmooh bagaimanapun keadaannya. Agak lucu denk.

Tapi tidak mengapa, kami warga Natuna terkenal dengan kebaikannya sedjak doeloe kala. Untuk itu, melalui artikel singkat ini, saya ingin menjelaskan sedikit fakta-fakta tentang Natuna, Kepulauan yang menjadi penjaga gerbang kedaulatan NKRI bagian utara di wilayah barat Indonesia ini.

1. Beretangga Langsung Dengan 5 Negara
Letaknya yang jauh berada di utara Indonesia ini membuat Kepulauan Natuna "berinteraksi" langsung dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Filipina, hingga Tiongkok. Natuna juga kerap mendapat kunjungan dari para tetangganya ini, baik secara resmi, maupun secara ilegal, ada yang singgah menetap, atau hanya sekedar numpang lewat.
Natuna di tengah-tengah Asean
Hubungan Natuna dengan beberapa negara ini juga sudah "terjalin" sejak dulu, melalui sejarah, suku, dan budaya. Artefak-artefak masa lalu banyak ditemukan di Natuna rata-rata berasal dari Dinasti Kerajaan di China. Secara suku dan budaya, warga Natuna yang  mayoritas suku melayu ini memiliki hubungan historis yang kuat dengan kerajaan melayu di Malaysia.


2. "Masuk" Indonesia Pada Tanggal 18 Mei 1956
Natuna baru didaftarkan oleh pemerintah Indonesia ke PBB sebagai bagian dari wilayahnya pada tanggal 18 Mei 1956. Saya sendiri belum mendapat sumber valid mengenai lambatnya wilayah Natuna ke dalam NKRI. Natuna sejak masa sebelum kemerdekaan merupakan bagian dari wilayah kerajaan Riau Lingga yang berpusat di Pulau Penyengat, kota Tanjung Pinang saat ini. Bahkan pada beberapa keterangan foto perang dunia ke 2 tahun 1945 dari Australian War Memorial menyebutkan Natuna merupakan bagian dari wilayah Kuching Borneo (Malaysia Timur saat ini). 
Sumber foto : Australian War Memorial
Memang secara geografis, Natuna lebih dekat dengan Negara Bagian Serawak Malaysia, namun sisi historislah yang membuat Kepulauan Natuna menjadi bagian dari Indonesia. Ini ada kaitannya dengan perjanjian Anglo-Dutch antara Inggris dan Belanda pada tahuna 1800an dulu.


3. Mayoritas Suku Melayu
Berada dibawah naungan kerajaan Riau Lingga pada masa lampau serta diapit oleh dua negeri melayu sejak dulu menjadikan Kepulauan Natuna mayoritas dihuni oleh suku Melayu dan mengaplikasikan budaya melayu dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa yang digunakan juga bahasa Melayu, kami biasanya menyebutnya dengan Melayu Natuna, karena bahasanya agak berbeda dari kebanyakan bahasa Melayu yang familiar didengar orang-orang. Penasaran seperti apa? Makanya ke Natuna.
Kesenian melayu yang dibawakan mahasiswa dari Natuna
Namun, Natuna sangat terbuka untuk siapa saja. Selain suku Melayu yang mendominasi, kepulauan Natuna juga dihuni oleh beragam suku yang ada di Indonesia seperti Jawa, Bugis, Minang, Batak, hingga Tionghoa. Kami sudah hidupa berdampingan bin damai dan aman sejak sekian lama.


4. Kaya Akan Sumber Daya Alam
Di Ranai ada gunung,
Tempat mendaki para jawara,
Memang Natuna adanya di ujung,
Tapi jadi penyumbang devisa negara.

Itu sepenggal pantun yang saya ingat, dilantunkan oleh bupati kedua Natuna beberapa tahun lalu saat saya masih sekolah. Yap, kepulauan Natuna memiliki potensi sumber daya alam yang besar dan juga menjadi pemasok devisa negara. Potensi sumber daya alam yang dimiliki Natuna antara lain pariwisata, kelautan dan perikanan, serta minyak dan gas bumi. Natuna memiliki cadangan gas bumi yang disebut sebagai cadangan gas terbesar di Asia, nama lokasinya adalah Natuna Block D Alpha, familiar dengan kata-kata itu? 
Cadangan Gas Alam Indonesia (medium.com)
Epp epp satu lagi, for your information, cadangan gas tersebar ini masih perawan loh ya, belum diapapain. Masih menunggu tangan-tangan terampil anak negeri untuk mengelola dan memanfaatkannya sebaik-baik mungkin.

5. Memiliki Alam yang Indah
Tak hanya memiliki sumber daya alam yang besar. Kepulauan Natuna juga dianugerahi alam-alam indah. Ada banyak lokasi wisata yang bisa ditemui jika kalian berkunjung ke Natuna. Mulai dari wisata pantai, pulau, maritim, hingga gunung dan bebatuan-bebatuan indah. Semua bisa ditemui saat kalian memilih memutuskan untuk berkunjung ke Natuna. Semuanya ini merupakan potensi wisata alam yang sangat sayang untuk dilewatkan.
Pulau Senua, (@qqfirdaoes)
Contohnya saja Pulau Senua. Pulau yang mirip dengan ibu hamil ini merupakan ikon wisata di Natuna. Jaraknya tak terlalu jauh dari Pulau Bunguran, hanya memakan waktu 15 - 30 menit saja untuk menuju pulau tersebut dengan perahu mesin tradisional milik warga setempat. Laut yang jernih, pasir yang putih, alam yang asri membuat Pulau Senua menjadi destinasi favorit, bahkan masuk dalam nominasi Anugerah Pariwisata Indonesia tahun 2019 dengan kategori Surga Tersembunyi.

6. Salah Satu Geopark Nasional
Keindahan yang dimiliki oleh Natuna ternyata menjadi magnet yang menarik para peneliti untuk datang kesana. Setelah dengan berbagai kajian, akhirnya Natuna pada akhir 2018 lalu ditetap oleh KNGI (Komite Nasional Geopark Indonesia) sebagai situs Geopark Nasional yang jug akan diajukan untuk masuk kedalam Jaringan Geopark Global atau UNESCO Global Geopark.
Batu Sindu, salah satu Geosite di Natuna
Geopark merupakan sebuah kawasan yang memiliki unsur-unsur geologi dimana masyarakat diajak untuk ikut berperan serta melindungi dan meningkat fungsi dari warisan alam, termasuk nilai arkeologi, ekologi, hingga sejarah dan budayanya. Jadi kawasan yang ditetapkan sebagai situs geopark itu harus memiliki 3 unsur diantaranya keragam Geologi, keragam hayati (flora dan fauna) dan keragaman budaya. Tujuan geopark ini adalah, konservasi, edukasi dan peningkatan sektor wisata. Saat ini, Indonesia memiliki belasan geopark nasional dan lima diantaranya sudah diakui UNESCO dan masuk dalam Jaringan Geopark Global.


Nah, itu tadi 6 fakta mengenai Natuna, negeri elok di utara Indonesia yang saat ini sedang hot-hotnya jadi pembahasaan dan pemberitaan diberbagai media. 
Jadi #kapanmaukeNatuna? 

Friday, January 31, 2020

Melunasi Rasa Penasaran di Mekar Jaya Mangrove Park

Mobil yang dikendarai big boss terus melaju membelah jalan poros dari simpang PLN Pian Tengah Bunguran Selatan menuju masuk ke dalam, ke sisi barat dari pulau Bunguran Besar ini. Jalan yang belum separuhnya beraspal dan bertanah keras tersebut penuh dengan batu, kadang juga melewati sungai kecil dengan jembatan yang ngeri-ngeri sedap saat melewatinya. Sekitar 30an menit perjalanan dari simpang masuk tadi, baru kami menemukan kampung sederhana yang rata-rata rumahnya berada di atas sungai bermangrove, Desa Pian Tengah.
Jalan menuju Desa Pian Tengah
Dari Desa Pian Tengah, perjalanan masih terus berlanjut ke arah barat mencari kitab suci sekitar 3 km. Kebun kelapa dan cengkeh menemani perjalanan ini. Dengan medan jalan yang "lumayan-agak" berat, perlahan tapi pasti barulah kami sampai ke sebuah desa yang cukup hits dan naik daun pada sejak tahun 2019 lalu, Mekar Jaya.
Desa Pian Tengah
Desa Mekar Jaya terletak di sisi barat Pulau Bunguran dan termasuk dalam wilayah Kecamatan Bunguran Barat. Desa Mekar Jaya saat ini memiliki dua dusun, dusun Sebuton dan dusun Air Batang.

Dua tahun belakangan ini Desa Mekar Jaya sedang hot-hotnya jadi pembahasan. Bahkan program-program serta bantuan yang berasal dari provinsi maupun pusat kerap memilih Desa Mekar Jaya sebagai objeknya.
Jalan menuju Desa Mekar Jaya
Saya pribadi mengetahui daerah ini ketika dulu saat masih di perantauan. Seorang sahabat meminta bantuan untuk membuat logo kelompok sadar wisata (pokdarwis) yang ada disana, dengan wisata andalannya, mangrove. Setelah itu, saya hanya dikirim gambar-gambar kondisi saat ini beserta rencana pembangunan objek wisata mangrove ini. Seketika ingin cepat-cepat pulang dan menuju kesana kala itu, saking penasarannya.

Ide mengembangkan wisata mangrove di pulau dengan mayoritas memiliki pasir pantai putih serta pulau-pulau yang indah ini adalah ide yang sangat unik dan berani. Masyarakat Natuna nantinya akan disuguhkan dengan alternatif wisata lain jika kita "nyelek" (bosan) dengan wisata pantai, laut, pulau dan batu-batu granit besar. Mereka akan ke "hutan" bakau dan meninggalkan pemandangan indah pasir putih nan kemilau seperti yang sudah lama disajikan Natuna.
Pokdarwis Air Batang
Sejatinya, wisata mangrove di Mekar Jaya memang bukan yang pertama. Dulu, di tengah-tengah kota Ranai, tepatnya di jembatan Sasan di perkampungan Kampar, sudah pernah akan dibuat konsep wisata susur hutan bakau ini, namun entah mengapa menjadi terhenti tiba-tiba. Lalu muncul beberapa konsep pengembangan wisata mangrove di Pulau Bunguran, ada di Pengadah, Pering, Sebakung dan Mekar Jaya. Sempat lama menghilang, Mekar Jaya akhirnya membaca peluang, memilih start duluan dengan memanfaatkan fasilitas, promosi desa langsung digass.

Dan terbukti, setelah melalui masa perintisan sejak akhir 2018, dan dengan pemanfaatan teknologi yang ada, serta didukung oleh SDM yang kreatif serta inovatif. Wisata Mangrove dan Desa Mekar Jaya menjelma jadi primadona baru wisata "non-pantai" di Natuna.

Mekar Jaya Mangrove Park (MJMP), begitu branding dari tempat wisata yang berada di bawah asuhan Pokdarwis Air Batang ini. Letaknya tak jauh dari pusat desa Mekar Jaya. Jika kita telah memasuki desa ini maka kita akan dapati sebuah masjid, Masjid Al Ijtihad namanya. Tepat sebelum masjid ada gang kecil menuju MJMP, ada penunjuk arah yang dipasang disana sehingga memudahkan kita untuk menuju lokasi wisata tersebut (klik tautan ini).
Mekar Jaya Mangrove Park
Tak terlalu jauh, hanya berjarak sekitar 300 meter saja dari simpang masuk dari masjid Al-Ijtihad, kita sudah berada dalam "komplek" wisata MJMP. Bau khas bakau, serta kicauan hewan di sekitar akan menyambut kita saat kita masuk area mangrove menuju tempat parkir kendaraan.
Loket masuk MJMP
Loket sekaligus tempat parkir sepeda motor serta toilet adalah bangunan pertama dari tempat wisata ini. Biaya masuk dikenakan 10.000 per orang, dan gratis air mineral. Setelah mendapatkan tiket, baru kita menuju taman mangrive dengan melewti jembatan kecil nan tinggi. Sepertinya sengaja dibuat demikian, selain kesan estetika juga akan memudahkan mutur, perahu nelayan tradisional bermesin untuk lewat menuju tempat "docking"nya.

Fasilitas wisata MJMP saya beri nilai 85 dari 100. Ada kafe dan gazebo-gazebo yang kalau dilihat dari atas akan berbentuk kepiting, masyarakat Natuna menyebutnya ketam. Dan itu pula yang menjadi menu andalan jika kita kita berada disini. Sayang, kami tak bisa mencicipinya karena pada saat kami kesana, separuh dari pemuda-pemuda desa pergi ke pulau seberang untuk memanen cengkeh, petani cengkeh merupakan salah satu pekerjaan masyarakat Natuna selain nelayan.
Kafe Ketam MJMP
Ada juga mushala yang terletak tak jauh dari kafe Ketam tadi, namun pengerjaannya belum selesai sepenuhnya. Bahkan menjadi tempat istirahat pengunjung yang membuat kami urung untuk melihatnya lebih lama. Pun begitu pula dengan fasilitas-fasilitas lainnya, bertahap akan dilengkapi.

Saya mencoba menelusuri jembatan kayu yang dibuat pengelola untuk menelurusi hutan bakau nan hits ini. Pohon bakau yang rindang, dan terkadang dahan-dahan besarnya juga bebas melintas di tengah-tengah jalan pelabuhan, membuat kita harus berhati-hati dalam berjalan. Di beberapa titik disediakan spot-spot berfoto yang kekinian, dan tentunya instagramable benu. (Benu = Banget).

Spot-spot berfoto di MJMP

Rest Area dan toko souvenir
Jalan menelusuri hutan mangrove yang terletak di sisi sungai Aek Botang ini berujung di pelabuhan kecil yang akan diproyeksikan menjadi pelabuhan wisata untuk melanjutkan "paket wisata" kita ke Pulau Semarong. Pulau kecil dengan view yang indah, ia berada di antara Mekar Jaya dan Pulau Sedanau. Ada pohon Pelawan dan beragam biota laut yang ada di sekitar pulau akan jadi daya tarik ketika kita mengunjungi pulau Semarong. FYI, pohon Pelawan merupakan pohon yang menjadi bahan utama pembuatan gasing yang memiliki harga tinggi. Gasing merupakan permainan rakyat Melayu yang masih dimainkan hingga saat ini. Namun sayang, saat kami ke MJMP, air sedang surut, jadi belum berkesempatan menuju pulau kecil tersebut.
Muara sungai Aek Botang

Ujung jalan dan penampakan pulau Semarong
Perjalanan kami ditemani seorang sahabat yang juga menjadi pengurus pokdarwis Air Batang. Ia menyebutkan bahwa pembangunan objek wisata mangrove ini akan berlanjut lagi ke sisi sebelah dari sungai Aek Botang ini, maket serta gambar rencananya sudah ada, tinggal bertahap untuk direalisasikan. Dan jika terealisasikan sesuai rencana, ini akan menjadi objek wisata terlengkap yang ada di Natuna.

Salah seorang sahabat saya yang lain, seorang pemuda penggerak di Desa Mekar Jaya ini mengatakan, akan banyak program lain yang akan dilakukan di Desa ini. MJMP merupakan salah satunya, itu ia sebut sebagai ikon desa, dan pemancing untuk melengkapi fasilitas-fasilitas desa. Dia bilang jika suatu desa punya ikon, maka akan banyak fasilitas yang datang nantinya. Dan memang terbukti, sejak MJMP menjadi viral, beragam fasilitas Desa perlahan dilengkapi, mulai dari internet gratis di tempat-tempat strategis, jalan, akses internet dari operator telpon selular dan lain-lain. Bahkan tahun lalu Desa Mekar Jaya menjadi tuan rumah PORMATS (Pekan Olahraga MTs) se-Kabupaten Natuna.
Mekar Jaya Mangrove Park
Meski lokasinya kadang-kadang tak terbaca di gugel mep. Namun jangan khawatir akan sinyal. Salah satu operator telpon seluler disini sudah ada yang 4G! sudah bisa video call dengan warga di kota sana. Sah wate ye. Ohyap, menu andalan di kafe ketam ini adalah ketam bakau, kepiting mangrove yang dimasak dengan saos tiram yang kelihatannya maknyoss sekali. Menu lain yang tak kalah enaknyanya adalah aek nyok gule mighah besaguk, ini merupakan minuman khas, sensasi minum dan makan daging kelapa langsung dari buahnya ditambah gula aren dan sagu butir bercampur es. Segarnya sampai ke tulang tjoy!

Penasaran?

Jom kite datang ke Mekar Jaya Mangrove Park. 😀

Monday, January 6, 2020

Taman Pantai Piwang, Ikon Baru Wisata Kota Alternatif di Natuna

Tahun 2020 ini menjadi tahun yang menyenangkan bagi masyarakat Natuna, khususnya Ranai dan sekitarnya. Karena setelah sekian lama menunggu, akhirnya Natuna memiliki taman publik. Taman bermain, rekreasi dan sekaligus olahraga. Kayak di kota-kota besar itu loooh. Sejatinya taman kota ini dulu pernah ada, dengan fasilitas yang secara bertahap dilengkapi perlahan. Namun pada pertengahan tahun 2019 kembali "ditutup" untuk dilakukan renovasi total dan baru akan selesai menjelang tahun 2020.

Taman yang terletak di pusat kota ini berada di pantai Tanjung Sebong Ranai dan merupakan hasil timbunan atau reklamasi sejauh kurang lebih 50 meter dari bibir pantai. Secara administratif, taman ini berada di dua kelurahan, Kelurahan Ranai Kota dan sebagian lagi di Kelurahan Batu Hitam di wilayah Kecamatan Bunguran Timur.
Pantai Piwang
Namanya Taman Pantai Piwang. Sempat menghebohkan jagat maya warga Natuna lantaran penamaan nama pantai ini. Perlu diketahui, tak banyak orang yang tau nama asli pantai di daerah tersebut adalah pantai Tanjung Sebong. Bahkan di era 2000an, pantai ini diberi nama pantai stress oleh muda-mudi Ranai. Karena kesannya kurang elok, nama pantai lalu diubah oleh pemerintah menjadi pantai Kencana dan bertahan hingga ia diganti menjadi pantai Piwang akhir 2019 kemarin.

Pro dan kontra sempat mewarnai nama pantai ini sebelum ia dibuka untuk umum. Berbagai dialog dan debat mengisi laman facebook tentang nama "Piwang" yang memiliki arti Rindu ini. Dialog antara pemerintah, dan perwakilan tokoh adat dan tokoh masyarakatpun dilakukan untuk menangani "masalah sosial" ini. Hingga akhirnya diputuskan dan disepakati bersama, nama Pantai Piwang sebagai nama "baru" Pantai Tanjung Sebong ini. 

"Kalau saya pribadi lebih nyaman menyebutkan dengan nama taman, Taman Piwang pantai Tanjung Sebong."

Dah ah, jom balik lagi ke bahasan awal. Taman yang memiliki panjang kurang lebih 300 meter dan lebar sekitar 50 meter ini terletak di pusat kota nan strategis, dan menjadikan tempat ini ramai dikunjugi warga baik pagi untuk berolahraga, sore untuk jjs hingga malam hari. Fasilitasnya juga sudah sangat baik untuk kelas taman publik. Ada toilet yang berada di sisi taman yang juga dijadikan spot berfoto muda mudi milenial jika malam karena viewnya yang agak instagramable dengan tambahan sinar-sinar lampu.
Arena panjat tebing, dan bangunan "jembatan"

Ada juga joging track dan arena panjat tebing yang sudah diperbaiki dan dibikin cantik. Arena panjat tebing kerap digunakan oleh para pengurus FPTI (Federasi Panjat Tebing Indonesia) untuk latihan pada sore hari, dan pengunjung juga boleh mencoba wahana yang menantang adrenalin ini dengan pengawasan dari pengurus FPTI tentunya. Fasilitas lainnya adalah taman bermain bagi anak-anak dan sarana olahraga bagi orang dewasa.
Taman bermain anak

Untuk menambah estetika taman, dibangun bangunan atau jembatan, atau jembatan bangunan, yah begitulah pokoknya ya, yang terletak juga tak jauh dari arena panjat tebing tadi. Kita bisa melewati "jembatan bangunan" tersebut untuk melihat view taman dari tempat yang lebih tinggi. Sementara bangunan di bawahnya merupakan perpustakaan mini dan ruang bermain dan membaca kecil yang disediakan, juga tempat untuk duduk berteduh bagi warga yang berkunjung.
"Jembatan" di Pantai Piwang
Geser sedikit ke selatan, lapangan luas beserta tiang bendera yang saya prediksi disini akan digunakan untuk perhelatan acara-acara besar daerah termasuk upacara HUT RI setiap agustusnya. Tak jauh dari lapangan luas tersebut, di dekat pantai dibangun dermaga mini, namun "buntu" karena di ujung dermaga yang memiliki panjang sekitar 10 meter tersebut dipagari. Jelas-jelas ini adalah spot untuk berfoto ria karena memang lokasi dan viewnya yang uploadable untuk mengisi feed instagram atau menambah album foto di facebook.
Dermaga mini pantai Piwang

Lapangan upacara, view dari atas bangunan

Tak jauh dari dermaga mini tadi, terdapat tulisan PANTAI PIWANG yang kontroversial itu, tulisan berwarna putih setinggi kurang lebih satu meter ini akan terlihat indah di malam hari dengan bantuan lampu-lampu taman yang menyinari. Di depan tulisan pantai piwang, tepatnya di pertigaan jalan Soekarno Hatta dan jalan Hang Tuah berdiri sebuah monumen berbentuk bulat dengan tulisan branding Natuna yang menghiasi di tengah-tengah nya. Ini merupakan landmark taman pantai piwang sekaligus ikon bin identitas dari taman tersebut. Tulisan branding Natuna dengan khas warna birunya kerap menjadi objek foto warga yang berkunjung ke taman ini, terlebih jika malam sorotan lampu taman berwarna-warni akan menambah kesan indahnya spot foto di sini.
Ikon pantai Piwang
Fasilitas taman masih berlanjut, di belakang struktur bulat bertuliskan Natuna tadi terdapat "hutan mini". Area seluas 2 x 10 meter ini berisi kayu-kayu yang ditancapkan serta bebatuan granit khas Natuna. Kayu-kayu yang ditancapkan tersebut dililitkan dengan lampu seri yang sangat indah ketika malam tiba. Memasuki ujung taman terdapat satu lapangan voli dan lapangan takraw yang bebas digunakan oleh pengunjung. Di seberang lapangan voli dan takraw terdapat tulisan GEOPARK NATUNA yang terletak di dekat pantai menghadap ke jalan raya. Geopark Natuna merupakan ikon dan branding wisata baru bagi Natuna setelah ditetapkannya beberapa titik di Natuna sebagai situs warisan geologi pada akhir 2018 lalu. Di ujung taman ini berdiri panggung rakyat dan lapangan luas meski tak seluas lapangan yang pertama di dekat arena panjat tebing tadi.
"Hutan mini" Taman Piwang
Panggung ini saya lebih senang menyebutnya dengan panggung rakyat, karena akan berfungsi nantinya dengan kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh masyarakat Natuna itu sendiri. Panggung "rakyat" ini berada di ujung selatan taman. Di belakang panggung terdapat toilet dan gudang kecil. Taman pantai piwang ini selain diisi oleh fasilitas-fasilitas yang sudah dijelaskan di atas, taman ini ditanami dengan pohon-pohon pinus dan pinang serta berbagai tanaman lain sebagai penghias taman, fasilitas kebersihan juga tersedia ditempat ini yang ditandai dengan tempat-tempat sampah di beberapa tempat.
Panggung rakyat
Ada pasukan pertamanan yang bertugas menjaga dan membersihkan taman pantai piwang. Namun tidak ada salahnya kita ikut turut serta membantu menjaga kebersihan taman milik warga Natuna ini, paling tidak dengan tidak membuang sampah sembarangan tempat dan lebih bagus lagi mengambil sampah yang berserakan di taman lalu membuangnya di tempat sampah.

Penggunaan taman pantai piwang ini boleh digunakan oleh umum. Untuk acara-acara besar dan berpotensi mengundang keramaian, pengurusan perijinan sampai saat ini berada pada pemerintah daerah melalui dinas perkim kabupaten Natuna.
Panggung rakyat
Yuk, mari ramaikan taman pantai piwang dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat, dari kita untuk kita. 

Natuna, lawa kusemengat!