Pulau Senua terletak di Ujung Tanjung Senubing Bunguran Timur, Natuna, Provinsi Kepualaun Riau, Indonesia. Kata senua dalam bahasa setempat berarti satu tubuh berbadan dua. Menurut cerita, pulau yang terkenal sebagai sarang burung layang-layang putih ini merupakan penjelmaan dari seorang perempuan yang sedang berbadan dua (hamil) bernama Mai Lamah. Mengapa Mai Lamah menjelma menjadi pulau?
Baca : Senua, Pulau Eksotik di Natuna
Baca : Senua, Pulau Eksotik di Natuna
Alkisah,
di sebuah daerah di Pulau Bunguran, hiduplah sepasang
suami-istri miskin. Sang suami bernama Baitusen, sedangkan istrinya
bernama Mai Lamah. Suatu ketika, mereka memutuskan merantau ke Pulau
Bunguran untuk mengadu nasib. Mereka memilih Pulau Bunguran karena
daerah tersebut terkenal memiliki banyak kekayaan laut, terutama karang
dan siput.
Ketika
pertama kali tinggal di Pulau Bunguran, Baitusen bekerja sebagai
nelayan sebagaimana umumnya warga yang tinggal di pulau tersebut.
Setiap hari, ia pergi ke laut mencari siput-lolak (kerang-kerangan yang kulitnya dapat dibuat perhiasan), kelekuk-kulai (siput
mutiara), dan beragam jenis kerang-lokan. Sedangkan istrinya, Mai
Lamah, membantu suaminya membuka kulit kerang untuk dibuat perhiasan.
Baitusen
dan istrinya pun merasa senang dan betah tinggal di Pulau Bunguran,
karena warga pulau tersebut menunjukkan sikap yang ramah dan penuh
persaudaraan. Kebetulan rumah mereka bersebelahan dengan rumah Mak
Semah, seorang bidan kampung yang miskin, tapi baik hati.
“Jika suatu ketika kalian sakit-mentak (sakit-sakitan), panggil saja Emak! Emak pasti akan datang.” -Pesan Mak Semah kepada Mai Lamah, tetangga barunya itu.
“Terima kasih, Mak!” -ucap Mai Lamah dengan senang hati.
Begitu
pula warga Bunguran lainnya, mereka senantiasa bersikap baik terhadap
Baitusen dan istrinya, sehingga hanya dalam waktu beberapa bulan
tinggal di daerah itu, mereka sudah merasa menjadi penduduk setempat.
"Bang! Sejak berada di kampung ini, Adik tidak pernah merasa sebagai pendatang. Semua penduduk di sini menganggap kita sebagai saudara sendiri,“ -kata Mail Lamah kepada suaminya.
"Begitulah kalau kita pandai membawa diri di kampung halaman orang,“ -pungkas Baitusen.
Waktu
terus berjalan. Baitusen semakin rajin pergi ke laut mencari kerang
dan siput. Ia berangkat ke laut sebelum matahari terbit di ufuk timur
dan baru pulang saat matahari mulai terbenam. Daerah pencariannya pun semakin jauh hingga ke daerah pesisir Pulau Bunguran Timur.
Pada
suatu hari, Baitusen menemukan sebuah lubuk teripang, di mana terdapat
ribuan ekor teripang (sejenis binatang laut) di dalamnya. Sejak
menemukan lubuk teripang, ia tidak pernah lagi mencari kerang dan
siput. Ia berharap bahwa dengan mencari teripang hidupnya akan menjadi
lebih baik, karena harga teripang kering di Bandar Singapura dan di
Pasar Kwan Tong di Negeri Cina sangatlah mahal. Ia pun membawa pulang
teripang-teripang untuk dikeringkan lalu dijual ke Negeri Singapura dan
Cina.
Akhirnya,
hasil penjualan tersebut benar-benar mengubah nasib Baitusen dan
istrinya. Mereka telah menjadi nelayan kaya raya. Para tauke dari
negeri seberang lautan pun berdatangan ke Pulau Bunguran untuk membeli
teripang hasil tangkapan Baitusen dengan menggunakan tongkang-wangkang (kapal besar). Setiap enam bulan sekali segala jenis tongkang-wangkang milik para tauke tersebut berlabuh di pelabuhan Bunguran sebelah timur.
Sejak
saat itu, Baitusen terkenal sebagai saudagar teripang. Langganannya
pun datang dari berbagai negeri. Tak heran jika dalam kurun waktu dua
tahun saja, pesisir timur Pulau Bunguran menjadi Bandar yang sangat
ramai. Istri Baitusen pun terkenal dengan panggilan Nyonya May Lam oleh
para tauke langganan suaminya itu. Rupanya, gelar tersebut membuat Mai
Lamah lupa daratan dan lupa dengan asal usulnya. Ia lupa kalau dirinya
dulu hanyalah istri nelayan pencari siput yang miskin dan hidupnya
serba kekurangan.
Sejak
menjadi istri seorang saudagar kaya, penampilan sehari-hari Mai Lamah
berubah. Kini, ia selalu memakai gincu, bedak dan wangi-wangian. Bukan
hanya penampilannya saya yang berubah, tetapi sikap dan perilakunya pun
berubah. Ia berusaha menjauhkan diri dari pergaulan, karena jijik
bergaul dengan para tetangganya yang miskin, berbau anyir, pedak-bilis (sejenis pekasam atau ikan asin, makanan khas orang Natuna), dan berbau kelekuk (siput) busuk. Selain itu, ia pun menjadi pelokek (sangat kikir) dan kedekut (pelit).
Pada
suatu hari, Mak Semah datang ke rumahnya hendak meminjam beras
kepadanya. Namun malang bagi Mak Semah, bukannya beras yang ia peroleh
dari Mai Lamah, melainkan cibiran.
"Hai, perempuan miskin! Tak punya kebun sekangkang-kera (bidal untuk menentukan luas tanah/perkebunan), masih saja pinjam terus. Dengan apa kamu akan membayar hutangmu?“ Mai Lamah mencemooh Mak Semah.
Mendengar
cemoohan itu, Mak Semah hanya terdiam menunduk. Sementara suami Mak
Lamah yang juga hadir di tempat itu, berusaha untuk membujuk istrinya.
"Istriku, penuhilah permintaan Mak Semah! Bukankah dia tetangga kita yang baik hati. Dulu dia telah banyak membantu kita.”
“Ah, persetan dengan yang dulu-dulu itu! Dulu itu dulu, sekarang ya sekarang!“ -seru Mai Lamah dengan ketus.
Begitulah
sikap dan perlakuan Mai Lamah kepada setiap warga miskin yang datang
ke rumahnya untuk meminta bantuan. Dengan sikapnya itu, para warga pun
menjauhinya dan enggan untuk bergaul dengannya.
Suatu
ketika, tiba juga masanya Mai Lamah membutuhkan pertolongan
tetangganya. Ia hendak melahirkan, sedangkan Mak Bidan dari pulau
seberang belum juga datang. Baitusen telah berkali-kali meminta bantuan
Mak Semah dan warga lainnya, namun tak seorang pun yang bersedia
menolong. Mereka sakit hati karena sering dicemooh oleh istrinya, Mai
Lamah.
"Ah, buat apa menolong Mai Lamah yang kedekut itu! Biar dia tau rasa dan sadar bahwa budi baik dan hidup bertegur sapa itu jauh lebih berharga dari harta benda,” -cetus Mak Saiyah, seorang istri nelayan, tetangga Mai Lamah.
Baitusen yang tidak tega lagi melihat keadaan istrinya itu segera mengajaknya ke pulau seberang untuk mencari bidan.
"Ayo, kita ke pulau seberang saja, Istriku!“, ajak Baitusen sambil memapah istrinya naik ke perahu.
"Bang! Jangan lupa membawa serta peti emas dan perak kita! Bawa semua naik ke perahu!“ -seru Mai Lamah sambil menahan rasa sakit.
“Baiklah, Istriku!” -jawab Baitusen.
Setelah
mengantar istrinya naik ke atas perahu, Baitusen kembali ke rumahnya
untuk mengambil peti emas dan perak tersebut. Setelah itu, mereka pun
berangkat menuju ke pulau seberang. Dengan susah payah saudagar kaya
itu mengayuh perahunya melawan arus gelombang laut. Semakin ke tengah,
gelombang laut semakin besar. Percikan air laut pun semakin banyak yang
masuk ke dalam perahu mereka. Lama-kelamaan, perahu itu semakin berat
muatannya dan akhirnya tenggelam bersama seluruh peti emas dan perak ke
dasar laut.
Sementara
Baitusen dan istrinya berusaha menyelamatkan diri. Mereka berenang
menuju ke pantai Bunguran Timur mengikuti arus gelombang laut. Tubuh
Mai Lamah timbul tenggelam di permukaan air laut, karena keberatan oleh
kandungannya dan ditambah pula dengan gelang-cincin, kalung lokit (liontin
emas), dan subang emas yang melilit di tubuhnya. Untungnya, ia masih
bisa berpegang pada tali pinggang suaminya yang terbuat dari kulit kayu
terap yang cukup kuat, sehingga bisa selamat sampai di pantai Bunguran
Timur bersama suaminya. Namun, malang nasib istri saudagar kaya yang kedekut itu,
bumi Bunguran tidak mau lagi menerimanya. Saat itu, angin pun bertiup
kencang disertai hujan deras. Petir menyambar-nyambar disusul suara
guntur yang menggelegar. Tak berapa lama kemudian, tubuh Mai Lamah
menjelma menjadi batu besar dalam keadaan berbadan dua. Lama-kelamaan
batu besar itu berubah menjadi sebuah pulau. Oleh masyarakat setempat, pulau tersebut dinamakan “Sanua” yang berarti satu tubuh berbadan dua. Sementara
emas dan perak yang melilit tubuh Mai Lamah menjelma menjadi burung
layang-layang putih atau lebih dikenal dengan burung walet. Hingga kini,
Pulau Bunguran terkenal sebagai pulau sarang burung layang-layang
putih itu.
Demikian cerita Legenda Pulau Senua dari daerah Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan modal yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu akibat buruk dari sifat kedekut (pelit), dan tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan.
Pertama, akibat buruk dari sifat kedekut (pelit).
Sifat ini ditunjukkan oleh sikap Mai Lamah yang tidak mau membantu
para tetangganya yang membutuhkan pertolongan. Akibatnya, para warga
pun menjauhinya dan ketika ia membutuhkan pertolongan, para warga pun
enggan untuk menolongnya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu :
Kalau hidup dengan kedekut,
Bila mati bangkai bersemut
Kalau hidup terlalu pelit,
alamat hidup akan tersepit
orang kedekut, mati hanyut
orang kedekut, matinya sempot
orang kedekut, mati mengerekot
orang kedekut, mati takut,
Kedua, akibat
buruk dari sifat tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan. Sifat ini
ditunjukkan oleh sikap Mai Lamah yang senantiasa membangga-banggakan
harta kekayaannya. Akibatnya, ia pun tersisih dari pergaulan
sehari-hari. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
Siapa yang tak mau mensyukuri nikmat,
harga yang dapat takkan berkat
apa tanda batang kemiri
buahnya keras dibuat rempah
apa tanda orang yang tak tahu diri
beroleh karunia hatinya pongah
wahai ananda hendaklah ingat,
siapa tak mau mensyukuri nikmat
hidupnya hina mati pun sesat
sepanjang masa dalam melarat
Sumber : Melayu Online