Hari kedua di negeri Laskar Pelangi.
Pagi-pagi sekali kami sudah bangun, mempersiapkan diri untuk kegiatan-kegiatan yang akan dilalui hari ini. Namun sebelum peserta lain bersiap-siap, aku dan beberapa teman mengambil kesempatan untuk berjalan melihat-lihat sekitar hotel. Sebenarnya beberapa rekan sudah mengajak nongkrong tadi malam, namun karena badanku sangat letih, jadi ku memilih untuk beristirahat saja di kamar.
Hotel yang kami tempati ternyata berada di pinggiran pantai. Di pusat kota Tanjung Pandan, sebuah kota tua di Belitung, hal ini terlihat dari beberapa bangunan yang ada di sekitaran hotel yang memiliki ciri arsitektur khas Belanda. Berjalan kaki merupakan salah satu aktivitas favoritku ketika berada di tempat baru, sebab aku dengan leluasa bisa mengamati sekitar. Tak jauh dari hotel, kami singgah di warung kopi legendaris, Kong Djie namanya. Dari branding yang terpampang di logonya, warkop ini soedah ada sedjak 1943, sudah 8 dekade ia menemani ahli sruput di pulau Belitung. Dan masih terus berkembang dan memiliki banyak cabang di beberapa tempat. Sambil menikmati suasana tempo doeloe di warkop ini, tak lupa ku membeli beberapa produknya, sambil merasakan produk khas dari Belitung, lalu kembali ke hotel.
Kong Djie Coffee, 1943 |
Setelah dari ruangan, aku menyusuri ruang utama GIC. Di sini banyak terdapat informasi mengenai Geopark Belitong, mulai dari infromasi Geologi, Biologi hingga Budaya. Beragam fasilitas pendukung juga tersedia di GIC ini, seperti mesin informasi, perpustakaan dan beragam koleksi-koleksi lainnya.
Lalu ada juga ruangan semacam perpustakaan dengan interior yang bagus, layaknya sebuah kantor, ruangan ini digunakan oleh Belitong Geopark Youth Community (BGYC) sebagai sekretariat mereka. BGYC merupakan organisasi yang berisikan pemuda-pemudi Belitong dalam menggerakkan geopark di Belitong, ia merupakan komunitas pemuda Geopark pertama di Indonesia.
Belitong Geopark Information Center |
Geosite Batu Bedil sendiri mirip dengan Geosite Batu Kasah di Geopark Natuna. Ia terletak di Desa Sungai Padang, Kecamatan Sijuk, Belitung, kurang lebih 45 km dari hotel tempat kami menginap tadi malam. Nama Batu Bedil diberikan karena salah satu batuan granit di lokasi ini berbunyi seperti bedil (meriam) ketika dipukul dengan benda keras. Bunyi seperti bedil ditembakkan juga terdengar ketika ombak menghantam rongga-rongga batu.
Cerita lain di Geosite Batu Bedil adalah dahulu di lokasi ini merupakan perkampungan tua. Dimana ketika para bajak laut datang, Batu Bedil dijadikan pertanda sehingga masyarakat bisa menyelamatkan diri. Konon bunyi bedil yang dihasilkan bisa terdengar mencapai radius berpuluh-puluh kilometer. Bunyinya bedil ini merupakan sebuah pertanda bahwa lanun akan datang, sehingga masyarakat bisa mengungsikan diri ke tempat yang saat ini disebut dengan Padang Pelarian.
Masih di Geosite Batu Bedil. Di dekat pantai terdapat sumur kecil yang dipercayai mengandung air yang beracun. Konon cerita air tersebut digunakan oleh tetua di kampung untuk mengelabuhi lanun yang datang. Ketika lanun meminum air dari sumur tersebut maka mereka akan mati. Sampai saat ini tiada yang berani meminum air dari sumur tersebut.
Geosite Batu Bedil dan Parut Mengale |
Dari Geosite Batu Bedil kami meneruskan perjalanan untuk melanjutkan agenda kegiatan berikutnya.
No comments:
Post a Comment