Subi, satu dari banyaknya kecamatan di kabupaten Natuna ini yang menjadi target untuk saya datangi. Letaknya berada di sebelah tenggara pulau Bunguran, pulau dimana aku berada. Jika melihat peta, Subi merupakan pulau kedua terbesar di wilayah Natuna setelah pulau Pulau Bunguran. Dan menurut jadwal kapal yang aku tumpangi, perjalanan dari pulau Bunguran ke Subi kurang lebih memakan waktu 5 jam. Waktu tempuh ini bisa berubah-ubah tergantung pada pelabuhan tempat berangkat, cuaca, dan jenis kapal yang digunakan.
Perjalanan perdanaku ke pulau Subi ini dengan menaiki Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Bahtera Nusantara 01. Kapal roro milik PT. ASDP yang baru sekitar 2 tahun beroperasi menyambung pulau-pulau di Natuna ini berangkat dari Pelabuhan Tanjung Payung di Penagi pukul 7.30. Melewati laut di sisi Bunguran Selatan hingga gugusan pulau Tiga, kapal roro ini melaju membelah lautan hingga sampai di pelabuhan Subi pada pukul 12.30.
Roro "ngetem" di Penagi |
Dermaga Subi memanjang sekitar 2 km dari bibir pantai, ini disebabkan pulau Subi dikelilingi karang dan laut dangkal sehingga tidak memungkinkan kapal-kapal besar untuk mendekat. Setelah turun dari kapal, saya langsung menuju penginapan, diantar oleh Memet, adik teman sekolahku yang kebetulan bertugas di pulau ini.
Kecamatan Subi terdiri dari banyak pulau, khas daerah kepulauan. Pulau-pulau besar di Kecamatan Subi adalah Pulau Subi Besar dan Pulau Subi Kecil yang dipisahkan oleh Selat Nasi. Kecamatan Subi memiliki 6 Desa, 2 Desa di Pulau Subi Besar, dan 4 Desa di Pulau Subi Kecil. Pusat pemerintahan dan keramaian berada di Pulau Subi Kecil, sebuah pulau yang merupakan satu dari tujuh pulau terluar NKRI yang dimiliki Natuna.
Pulau Subi ini tidak memiliki gunung, kontur buminya cenderung datar. Itu sebabnya selama perjalanan di kapal tadi agak sulit untuk menemukan pulau ini dari kejauhan karena tidak ada daratan yang "menonjol" di tengah laut yang bisa dilihat. Titik tertinggi Kecamatan Subi ini kemungkinan setinggi sekitar 10 mdpl dan berada di sebelah utara pulau Subi Kecil. Di tempat tersebut berdiri kokoh mercu suar, yang oleh warga sekitar disebut dengan gunung lampu.
Meski baru pertama menginjakkan kaki di pulau ini, namun pencarian informasi tentang Subi sudah lama ku lakukan, baik itu lewat buku, cerita-cerita teman sampai dari internet. Jadi kedatangan ke sini (selain melaksanakan dinas kantor), adalah langsung menuju ke lokasi-lokasi hasil "riset" singkatku dulu, ditambah informasi on the spot yang ku dapatkan.
Setelah menyelesaikan tugas wajib pekerjaan, aku mulai mengeksplorasi Subi. Fokusnya adalah seputar kebudayaan dan sejarah, sesuai dengan kompasbenua, komunitas yang kami dirikan dulu. Aku ditemani Dirga, pemuda Subi teman diskusi malam sebelumnya, dan juga Memet.
Tujuan pertama kami adalah Keramat Siti Balkis. Keramat Siti Balkis terletak di Pulau Subi Besar, sebelum Pos AL. Komplek keramat Siti Balkis terdiri dari beberapa kuburan dengan nisan besar dan kuburan-kuburan tua lainnya dengan nisan kecil. Nisan-nisan besar ini terbuat dari bebatuan karang, antaranya terdapat tulisan di nisan dengan tulisan arab. Namun sudah sulit untuk membacanya, hanya beberapa saja yang masih terlihat dan bisa dibaca. Nisan-nisan kecil pada kuburan yang lain terbuat dari batu granit, berbagai ukuran. Nisan batu granit serupa banyak ditemukan di wilayah Natuna yang lain, seperti di Bunguran Besar dan pulau Midai. Beberapa sumber mengatakan bahwa nisan granit ini dibuat di Temasik (Singapura saat ini), namun perlu data akurat yang lebih untuk kebenaran hal ini, sebab belum saya temukan batuan granit di Pulau Subi ini. Kalaupun ada, tidak pula ditemukan lokasi percetakan batu nisan tersebut di pulau ini.
Situs Keramat Siti Balkis |
Selanjutnya kami menuju situs kuburan tua yang lain, masih di Pulau Subi Besar, tak jauh dari pelabuhan. Nisan granit ini yang mencuri pandanganku ketika tiba di Subi kemarin siang. Ada beberapa nisan granit di kuburan ini, di dekatnya ada semacam pondasi bangunan yang sudah roboh. Hal serupa juga pernah kami temukan di Sekalong, Kecamatan Bunguran Timur Laut tahun lalu. Tak jauh dari kuburan tua tersebut, juga terdapat komplek pemakaman yang lain. Hanya saja, banyak nisan yang hancur, disebabkan makam-makam ini berada di bawah pohon kelapa, sehingga buah dan lighang (daun kelapa) yang jatuh mengenai makam dan merusaknya.
Situs Makam di Dekat Pelabuhan |
Perjalanan kami berlanjut ke Pulau Subi Kecil, menuju ke lokasi perigi butul, sebuah mata air di daerah Aek Genak, Pulau Subi Kecil. Mata air ini digunakan oleh masyarakat sekitar untuk berbagai kebutuhan sehari-sehari, mulai dari mencuci, mandi, dan air minum. Tak jauh dari perigi butol, di daerah Asek Singkap juga terdapat pemakaman tua, terlihat dari nisannya yang juga terdiri dari batuan karang dan batuan granit.
Selanjutnya kami menuju pemakaman tua yang lain, yang oleh orang sekitar disebut dengan kuburan Tok Kunde. Pemakaman ini sama seperti keramat Siti Balkis di Pulau Subi Besar, yakni terdiri dari beberapa kuburan besar dengan nisan batuan karang, dan kuburan lainnya dengan nisan yang lebih kecil dari batuan granit. Tak jauh dari kuburan tua ini, berjarak sekitar 100 meter, juga terdapat "komplek" pemakaman yang lain dengan model yang sama, masyarakat setempat menyebutnya kuburan Tok Uso. Di sini terdapat makam dengan nisan yang besar dan dikelilingi oleh makam-makam dengan nisan kecil di sekitarnya. Pada beberapa nisan besar masih terdapat tulisan yang lagi-lagi sudah agak susah dibaca.
Situs Tok Kunde dan Tok Uso |
Perjalanan kami berlanjut, kali ini mengarah ke utara, menuju Keramat Darah Putih. Sebuah kuburan tua yang dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai kuburan seorang syaikh penyebar agama Islam di Pulau Subi. Keramat Darah Putih dijadikan lokasi wisata religi yang kerap didatangi baik oleh masyarakat Subi maupun yang datang dari luar. Di samping Keramat Darah Merah terdapat beberapa makam tua bernisan besar seperti pada tempat yang lainnya, makam ini sudah tertutup semak belukar. Tak jauh dari Keramat Darah Putih juga terdapat kuburan-kuburan tua lain bernisankan batuan karang dan batuan granit, lagi-lagi tulisan arab pada beberapa nisan ini tak dapat saya baca.
Keramat Darah Putih dan makam2 tua di sekitarnya |
Di Subi juga masih banyak terdapat rumah-rumah dengan arsitektur tua. Sebagian besar ada yang sudah roboh sebagian, dan yang lain masih ditempati oleh si pemilik rumah. Rumah arsitektur melayu ini banyak ditemukan di Pulau Subi Kecil. Selain itu kami juga menyempatkan diri untuk bertanya ke beberapa narasumber terkait sejarah dan budaya Pulau Subi, beberapa sudah terekam, sisanya seperti mengisayaratkan seperti "au mang pelu gi Subi agik".
Bersama guide (bawah), dan narasumber (atas) |
Selain "kaya" akan makam-makam tua, Subi juga memiliki peninggalan sejarah. Peninggalan sejarah tersebut beruba lapangan terbang yang hampir dioperasikan pada masa penjajahan Jepang tahun 1942-1945 lalu. Kini di area tersebut sudah tertutup tumbuh-tumbuhan dan dipasang plang milik TNI AU yang juga sudah roboh.
Tur setengah hari di Subi kali ini begitu mengesankan, Subi luar bisa. Hal ini menyisakan beberapa pertanyaan, seperti bagaimana Subi pada masa lampau, siapa "penghuni" makam-makam tua di Subi, siapa Keramat Darah Putih, siapa Siti Balkis, apa lagi peninggalan Jepang selain bandara yang ditinggalkan, dan masih banyak lagi. Untuk itu, kiranya memang perlu diadakan ekspedisi budaya dan sejarah dan penelitian lebih lanjut untuk menjawab ini semua: Ekspedisi Budaya Subi.