Wednesday, July 7, 2021

Perjalanan Mendampingi Tim Kemendikbudristek (7) : Bahagian Penutup

Jumat, hari yang barokah bagi umat muslim, juga sekaligus sebagai penghulu para hari seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad. Pada pagi yang syahdu ini, kami masih menemani tim kemendikbudristek dalam rangkaian penelitiannya tentang bahasa dan sastra di Natuna. Ini hari terakhir. Dan pada hari terakhir ini, tujuan kami adalah kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dalam rangka "laporan lisan" kepada Hadisun selaku Kepala Bidang Kebudayaan. Berdiskusi ringan dengan selipan canda menjadi penghangat suasana kala itu.

Di Kantor Disparbud

Siangnya kami mengajak mereka menikmati indahnya alam Natuna dengan mengunjungi Pulau Senua. Tak enak rasanya, mereka melihat pulau ini setiap hari dari resort namun tak kesampaian untuk ke sana. Setelah jumatan kami bersiap-siap mengunjungi pulau ini, meskipun mereka sedikit ketakutan karena cuaca yang membuat kapal kecil yang kami tumpangi sedikit bergoyang, namun tak mengurangi antusias mereka untuk mengunjungi pulau ini.

Kegiatan utama ketika sampai di pulau adalah mengisi perut. Kosong rasany perut ini setelah digoyang oleh ombak selat Senua. Setelah terisi, kami bermain di pantai pulau yang termasuk dalam situs Geopark ini. Meski saat pergi cuaca sedang mendung, namun semesta tampaknya begitu mendukung, matahari dibiarkannya lepas dari bilik-bilik awan untuk menyinari laut sehingga memantulkan cahaya yang amat mantul. Indah sekali. Kesempatan ini digunakan tentunya untuk berswafoto ria. Beberapa dari mereka juga tergiur untuk merasakan laut Senua.

Swafoto dulu kita

Tak lama kami di pulau terluar itu, menjelang ashar kami kembali ke Ranai karena harus menemui Bapak Rodhial Huda, Wakil Bupati Natuna untuk bersiilaturahmi. Di kediaman sang Wak Yal, kami disambut ramah, serta berdiskusi ringan mengenai kegiatan yang sudah dan akan dilakukan. Ucapan terimakasih disampaikan oleh Bu Nit selaku koordinator kegiatan. Dia dan rombongan lain juga memberikan apresiasi besar kepada komunitas-komunitas yang selama ini mendampingi jalannya kegiatan. Bu Nit juga mengabarkan bahwa insya Allah hasil dari penelitian ini adalah salah satunya mengadakan revitalisasi sastra lisan yang ada di Natuna pada tahun 2022, entah itu Mendu atau Langlang Buana. Semoga saja terealisasi nantinya.

Di Rumah Wakil Bupati Natuna

Acara masih berlanjut, malam hari kami berkumpul di Natuna Dive Resort, berdiskusi ringan dan sedikit wawancara bagi beberapa anggota komunitas pendamping. Saya, Ijam dan Tenggut menjadi narasumber kala itu. Banyak hal yang dibagikan, berawal dari terbentuknya komunitas hingga kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan. Malam itu berakhir dengan makan malam bersama sekaligus berpamitan. Berharap akan kembali berjumpa pada waktu dan kesempatan yang lain.

Ini perjalanan yang sunyi, namun berdampak besar pada kedaulatan negeri. Bahasa dan Budaya sebagai identitas bangsa, yang tak banyak orang sadar betapa pentingnya mereka untuk dilestarikan. Pun sedikit yang sadar dan peduli. Jelas sekali, karena ini jalan yang sunyi.

Begitu kira-kira kutipan yang bisa saya rangkum dari hasil percakapan dengan orang-orang hebat ini. Mereka berpesan untuk selalu tetap semangat, dan terimakasih kepada orang-orang hebat.

Wawancara dulu

Perjalanan mendampingi Tim Kemendikbudristek, selesai...





Monday, July 5, 2021

Perjalanan Mendampingi Tim Kemendikbudristek (6) : Kelanga, Tapau dan Ketam Lada Hitam (Lagi)

Secangkir kopi di lobi resort mengawali kamis pagi ini. Setelah perjalanan panjang lintas kecamatan kemarin, saya rasa kopi memang pas sebagai doping untuk nyemangati diri. Hari ini merupakan hari-hari akhir dalam rangkaian kegiatan pendampingan kami dengan tim Kemendikbudristek. Dan saya, kembali ke "habitat" awal dengan menemani tim bahasa sebelumnya. 

Proses wawancara dengan masyarakat Desa Kelanga

Tujuan kami kali ini yaitu Kecamatan Bunguran Timur Laut, dan Kecamatan Bunguran Tengah. Pemetaan bahasa lokal di Desa Kelanga menjadi tujuan perdana kami hari ini. Desa Kelanga merupakan salah satu tempat dimana bahasa asli Ranai berasal. Bahasa Ranai ini banyak digunakan di wilayah Bunguran Timur lama yang mencakup Kecamatan Bunguran Timur, Kecamatan Bunguran Timur Laut, dan Kecamatan Bunguran Selatan saat ini.

Setelah dari Desa Kelanga, kendaraan kami melaju ke Kecamatan Bunguran Tengah, tepatnya di Desa Tapau. Desa Tapau merupakan desa terakhir di Kecamatan Bunguran Tengah yang kami kunjungi. Desa yang merupakan daerah transmigrasi ini banyak dihuni oleh masyarakat dari etnis Jawa, terutama dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari hasil wawancara, bahasa Jawa sebagai bahasa ibu masih mereka pertahankan meski ada beberapa yang sudah lenyap karena jarang ditutur. Hujan menemani wawancara kami dengan penduduk Desa Tapau ini. Setelah data didapati, kami pamit undur diri. 

Wawancara dengan warga Desa Tapau

Selesai sudah proses wawancara dalam rangka penelitian ini. Saatnya acara bebas. Kali ini, saya akan bawa mereka ke Desa Mekar Jaya. Saya merasa berdosa jika tidak membawa tamu-tamu ini untuk menikmati keindahan Mekar Jaya Mangrove Park. Namun sebelumnya, mereka request untuk diantarkan ke Lampa, ada hal penting yang mereka lakukan. Ternyata hal tersebut adalah saat kejadian beberapa hari lalu ketika mereka melakukan penelitian di Pulau Tiga, mereka sepertinya lupa membayar makanan yang mereka beli di kantin. Jadi kedatangan kami ke Lampa ini adalah hanya untuk "melunasi" hutang tersebut. 

Saya fikir, ini luar biasa, ini menandakan mereka bukan orang-orang sembarangan. Tentunya pintar, lalu diiringi dengan akhlak yang baik pula. Bersyukur sekali saya selalu dipertemukan dengan makhluk-mahkluk Allah yang luar biasa ini.

Dari Lampa kami menuju Desa Mekar Jaya, menikmati mangrove dan berdiskusi ringan di sana dengan Cek Gu Ahdiani, pengelola Mangrove. Dan hal terpenting adalah makan ketam lada hitam lagi. Lauk wajib yang disediakan oleh Cek Gu Ahdiani ketika ada tamu yang berkunjung ke kediamannya. Alhamdulillah. 

Mekar Jaya Mangrove Park

Setelah berdiskusi banyak dan juga dijamu dengan makanan lezat, kami pamit pulang ke Ranai sebab haripun sudah mulai gelap. Dan para peneliti ini juga harus mempersiapkan diri untuk pekerjaan-pekerjaan administrasi dan kepulangannya pada hari sabtu kelak.






Friday, July 2, 2021

Catatan Perjalanan Mendampingi Tim Kemendikbudristek (5): Bunguran Barat, Mendu, Keminik dan Ketam Lada Hitam

Laut sedikit bergelombang ketika perjalanan baru berjalan sekitar 30 menit dari pelabuhan. Hal ini sempat membuat khawatir, namun kapten yang membawa kami ini merupakan "kapten tangguh" yang sangat direkomendasikan masyarakat Midai, jadi hal tadi tidak begitu kami hiraukan. Dan untuk menghilangkan mabuk laut, kami siasati dengan tidur saja, karena sudahpun larut malam, juga badan terasa letih setelah "melalak" seharian. 

Menjelang subuh saya terbangun, rupanya kapal yang kami tumpangi sudah memasuki perairan Pulau Tiga. Air tenang, kapal tak "segoyang" saat awal keberangkatan tadi malam. Sang kapten mengurangi laju kapal. Mungkin agar gampang menghindari karang-karang. Setelah membasuh muka, rasa kantuk menjadi hilang, saya memutuskan untuk naik ke atap kapal, duduk-duduk sambil hunting sunrise

Sunrise laut Sedanau

Saya juga membangunkan Tenggut, bang Jef, dan Bunit untuk ikut bersama-sama nangkring di atas kapal, menikmati sunsire di atas laut Bunguran Barat yang begitu menebarkan aura positif dan semangat. Cocok untuk memulai hari melanjutkan penelitian ini. Uhyey!

Kapal yang kami tumpangi sudah merapat di dermaga Sedanau, sebuah kota terapung besar yang ada di Natuna. Kami naik ke pelabuhan, istirahat dan sarapan mengisi perut yang selama 7 jam ini dikocok air laut. Setelah sarapan dan sedikit berkoordinasi, kami mulai bergerak. Kali ini tujuannya adalah bertemu dengan pelakon seni Mendu.

Cekrek dulu sama kapten kapal kece ini.

Mendu merupakan salah satu tradisi lisan yang saat ini masih terjaga. Mendu merupakan teater yang sudah dimainkan sejak zaman dulu. Beberapa sumber menyebutkan Pulau Laut merupakan awal mula kesenian Mendi di Natuna. Lebih jauh lagi, sepertinya mendu ini berasal dari negeri Thailand, karena dalam naskah cerita terdapat adegan seekor gajah putih, dimana hewan tersebut sangat banyak terdapat di negeri tersebut.

Bapak Abdul Gani, adalah narasumber kami kali ini. Kami bertemu dengan beliau di kantor UKSPF Bunguran Barat. Beliau merupakan salah satu pelakon mendu yang ada di Sedanau. Berlakon mendu ini sudah ia lakoni sejak muda dan sampai saat ini masih dilestarikan dengan mengajarkan pada generasi muda pula. Pak Ghani menceritakan banyak hal mengenai mendu, dan itu semua terekam dalam recorder yang memang sudah disiapkan sejak awal. Setelah dirasa cukup dalam mengumpulkan data, kami pamit untuk melanjutkan penelitian ke tempat berikutnya : Desa Mekar Jaya.

Proses wawancara dengan narasumber

Cek Gu Ahdiani sudah menunggu di pelabuhan Sedanau. Selain memang karena ada urusan, dia memang sudah kami beritahu bahwa kami akan ke Desa Mekar Jaya dari Sedanau. Yap, Cek Gu Ahdiani merupakan pemuda penggerak di Desa Mekar Jaya, desa yang akan jadi lokasi penelitian selanjutnya. Dari beliau inilah banyak info-info yang kami dapati seputar desa. Dan kali ini kami naik perahu cepatnya dari Sedanau menuju Desa Mekar Jaya.

Perjalanannya memakan waktu sekitar 20 menit, perahu cepat milik Cek Gu Ahdiani memang cepat, melaju membelah lautan Bunguran Barat, melewati Pulau Kembong, Pulau Sunguos dan Pulau Semaghong, lalu masuk ke sungai Aek Botang dan berlabuh di dermaga Mekar Jaya Mangrove Park. Sebelum melanjutkan penelitian, kami membawa para peneliti ini untuk menikmati mangrove terlebih dahulu, lalu istirahat makan siang dengan lauk ketam bakau lada hitam yang luar biasa lezatnya. 

Perjalanan Sedanau - Aek Botang

Setelah energi kembali, barulah kami lanjut ke acara inti. Menemui narasumber untuk mendapati beberapa data mengenai tradisi lisan. Kali ini kami menuju dusun Sebuton, tempat dimana narasumber berada. Tradisi lisan yang dimaksud adalah 'buong keminik'. Keminik merupakan "kita" dalam versi lain. Buong Keminik berarti membuang penyakit/sial melalui "perantara". Perantara ini biasanya berupa hewan yang dipercayai sebagai jelmaan/reinkarnasi dari datuk-datuk mereka. Dalam ritualnya, ada beberapa mantra yang harus dibacakan. Tradisi buong keminik ini sudah ada sejak lama di Desa Mekar Jaya, di tempat lain di Natuna seperti di Pulau Tiga juga memiliki tradisi yang hampir sama.

Mewawancarai narasumber 'buong keminik'

Data dirasa sudah cukup kami dapatkan, perutpun sudah penuh dengan ketam lada hitam, sempena dengan matahari yang beranjak di ufuk barat, kami pamit pulang kembali ke Ranai. Data yang ada sekiranya sudah cukup kami kumpulkan untuk nanti akan diolah kembali oleh para peneliti ini lalu akan dibuat rencana tindak lanjutnya, begitulah kira-kira.

------

  

Thursday, July 1, 2021

Pas Kapal, Cerita Rakyat, dan Berlayar: Perjalanan Mendampingi Tim Kemendikbudristek (4)

Alhamdulillah, kami dapati solusi atas masalah yang barusan terjadi. Kami bisa ke Pulau Sedanau dengan menaiki kapal yang biasa digunakan oleh masyarakat Midai untuk transportasi ke ibukota Kabupaten. Dengan begitu, penelitian masih bisa berlanjut. Gasss pol!

Urus administrasi dulu

Sebelum melanjutkan penelitian, kami membereskan segala hal terkait administrasi keberangkatan terlebih dahulu, mulai dari memastikan kesiapan kapal beserta kapten dan kru-krunya, hingga urusan ke-covid-an. Setelah semuanya dirasa beres. Penelitian kami lanjutkan, kali ini menuju ke Kecamatan Suak Midai untuk menemui narasumber dari seni tradisi lisan Pas Kapal.

Pas Kapal merupakan seni tradisi lisan dari Natuna, beberapa sumber menceritakan, ia bermula dari Pulau Laut yang kemudian menyebar ke pulau-pulau lain di sekitaran pulau Bunguran termasuk hingga ke Midai. Pas Kapal ini merupakan lantunan syair, sama halnya seperti tepung tawar. 

Di kediaman pak Bachtiar

Pas Kapal berarti surat ijin berlayar bagi kapal-kapal yang akan meninggalkan suatu dermaga. Tradisi ini kerap ditampilkan pada acara khotaman Quran dan acara pernikahan. Ciri khas dari Pas Kapal ini adalah adanya miniatur kapal yang berisi beragam souvenir di dalamnya baik barang maupun makanan. 

Pas Kapal, jika ia ada di acara pernikahan, maka profil pengantin yang dibacakan. Jika ia berada di acara khotaman quran, maka para peserta khatam yang akan dijabarkan satu persatu dalam syair yang dibuat. Baik pengantin dan para peserta khotaman diibaratkan sebagai penumpang sebuah kapal yang akan "berlayar" lalu diberi nasehat serta do'a. Jadi, syair-syair yang dilantunkan bak surat ijin untuk kapal (miniatur kapal) yang berisi makanan/souvenir yang mewakili para penumpang. Setelah syair-syair yang berisi nasehat serta doa dibacakan, maka kapal sudah boleh "berlayar".

Bapak Bachtiar sedang membacakan syair Pas Kapal

Sedikit bercerita tentang seni tradisi ini. Saya pribadi baru-baru ini saja mengenal seni tradisi Pas Kapal ini. Sebelumnya, saya hanya mengetahui syair gurindam yang begitu mendunianya. Ternyata di tempat kami, ada seni tradisi lisan yang hampir serupa, namun sedikit terlupakan. Saya tidak tahu apa status dari seni tradisi Pas Kapal ini, yang jelas di Natuna hanya beberapa orang saja pelantunnya. Jadi pelestarian dari seni tradisi ini kiranya menjadi tugas kita bersama.

Pak Bachtiar, nama sang maestro Pas Kapal ini menyampaikan, bahwa pembuatan lirik syair Pas Kapal harus dalam suasana tenang dengan fikiran yang jernih. Biasanya ini dilakukan diwaktu sepertiga malam dan subuh. Sebab memadupadankan kata-kata agar pas dengan irama syair bukanlah hal yang mudah. Dalam satu bait harus memiliki rima yang seragam. Tujuannya agar enak didengar dan membekas di telinga para pendengar. Biasanya pak Bachtiar akan membuat syair pas Kapal pada saat H-2 minggu acara, sambil-sambil mengumpulkan data, berupa profil para "calon penumpangnya".

Data dari pak Bachtiar, sang maestro Pas Kapal ini dirasa sudah cukup. Tak lupa kami mengambil dokumentasi, bukan untuk ajang narsis, namun juga sebagai bukti dan laporan yang harus dilaporkan kelak. Kemudian kami melanjutkan perjalanan.

Aslinya emang mau narsis, alibinya dokumentasi kegiatan. Cekrek

Sebelum menuju ke kediaman narasumber terakhir, kami makan siang sejenak di rumah keponakan saya. Dari tadi pagi dia sudah mengirim pesan WA, agar siang ini makan di tempat mereka. Yah, begitulah Midai, warganya ramah-ramah dalam melayani tamu, paling sibuk jika kerabat jauh datang berkunjung. Alhamdulillah. Perut terisi, energi pulit kembali, lanjut lagi meneliti.

Narasumber terakhir yang kami datangi adalah Bapak Syamsu Bastian. Beliau yang bekerja di SMP Negeri 1 Midai ini adalah pecinta sejarah, dan suka mengumpulkan cerita-cerita rakyat dan kisah tentang Midai masa lalu. Semuanya beliau tulis dan kumpulkan dalam sebuah buku catatan. Kediaman beliau tak jauh dari tempat kami menginap. 

Disini kami diceritakan banyak hal mengenai Midai, terutama tentang asal masjid Az-Zuriyat yang terletak di Kecamatan Suak Midai. Juga mengenai syair tentang masjid tersebut. Kami juga diberikan draft naskah buku yang berisi asal nama-nama tempat di Pulau Midai dan penggalan-penggalan sejarah, mulai dari zaman penjajahan hingga kekinian.

Di kediaman Bapak Syamsu Bastian

Setelah selesai mewancarai, kami kembali ke penginapan. Istirahat sejenak, lalu bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan malam ini. Menuju Pulau Sedanau.

Kapal yang kami tumpangi sudah standby di pelabuhan rakyat, pelabuhan yang dulu menjadi saksi bisu sibuknya pulau ini dengan kegiatan ekspor impor hasil bumi pulau Midai. Saksi bisu besarnya perusahaan Ahmadi dan Co dalam mengelola hasil bumi hingga menarik perhatian Wakil Presiden Muhammad Hatta kala itu. Yang kini sejarah kebesarannya hanya bisa dinikmati dalam catatan, pun jika tidak dikenalkan, ia akan terlupa dengan sendirinya, dengan cepat.

Kru kapal memanggil kami, diminta untuk bersiap-siap karena kapal akan segera lepas sauh. Kami memasuki kapal yang ukurannya lumayan besar tersebut. Biasanya akan ramai penumpang dari Midai yang ikut. Namun karena kapal ini baru saja dari Selat Lampa tadi pagi, maka warga yang ikut yang sedikit saja, hanya 4 orang. Total manifest tidak lebih dari 20 orang. Serasa kapal pribadi saja malam itu.

Suasana di dalam kapal, sebelum berlayar.

Tengah malam, kapal lepas sauh. Berlayar, menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Menuju Pulau Sedanau, Kecamatan Bunguran Barat.


-------------




Monday, June 28, 2021

Memburu Tradisi Lisan di Bagian Selatan Natuna: Perjalanan Mendampingi Tim Kemendikbudreistek (3)

Pagi-pagi sekali sudah bangun, dan langsung mempersiapkan diri bekerja. Tapi kali ini bukan ke kantor. Namun menuju Pelabuhan Penyeberangan Penagi. Hari ini, kami "mendapat tugas" dari dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk menemani tim dari Pusat Bahasa Kemendikbudristek melanjutkan penelitiannya di Natuna. Kali ini, Pulau Midai jadi tujuan. Sejak rapat koordinasi hari pertama mereka di sini jumat lalu, saya selalu mempromosikan Pulau Midai ini sebagai tempat yang "seksi" untuk dilakukan penelitian. Akhirnya, "doktrin" yang saya tanamkan ini berhasil juga, setelah kemarin dalam perjalanan menemani tim peneliti bahasa, saya ditelpon oleh tim yang meneliti sastra lisan untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk ke Pulau Midai.

Halan-halan duyu

Segala persiapan administrasi dan mental kami siapkan untuk keberangkatan kali ini. Surat ijin, surat yang berhubungan dengan ke-covid-an, semua beres. Saya, Tenggut dari Komunitas Natunasastra, Bunit dari Badan Bahasa dan Bang Jefri dari Kantor Bahasa Kepri, tim kami terdiri dari empat orang ini tinggal cau saja menuju "pulau jomblo" di bagian selatan kabupaten Natuna ini. 

Perjalanan kami mulai dari Pelabuhan Penyebrangan Penagi, menaiki KMP Bahtera Nusantara 02, sebuah kapal jenis roro yang belum lama ini melayani rute di Natuna. Serasan, Subi, Penagi, dan Midai merupakan tempat-tempat yang disinggahi kapal milik PT. ASDP ini. Pukul 7 pagi kapal mulai menarik sauh, berlayar pelan keluar dari muara sungai Sebala, lalu tancap gas menuju selatan melewati sisi timur pulau Bunguran. Hamparan tanah luas plus gunung Ranai menjadi pemandangan di sebelah barat yang bisa dinikmati hampir 3 jam lamanya. Sementara lautan lepas terhampar di sebelah timur. 

Sepanjang perjalanan kami duduk di kantin, di dek paling atas, antara kemauan sendiri dan salah pilih tempat. Kapal roro ini memiliki ruangan yang berisi kursi dan kasur, ada juga kelas seperti kamar, namun semuanya penuh ketika kami masuk. Alhasil, hanya dek atas yang tersedia untuk kami.

Dempet di Midai

Jam 1 siang roro merapat di pelabuhan WK, Midai. Penumpang yang turun dengan tertib langsung diperiksa otoritas pelabuhan mengenai kelengkapan dokumen-dokumennya. Setelah semua selesai, kami menuju ke penginapan untuk meletakkan barang, istirahat sejenak.

Dan langsung mulai bekerja.

Menemui pihak Kecamatan Midai
Pertama, untuk menghilangkan letih yang masih tersisa, kami mengajak 2 orang peneliti ini mengelilingi Pulau Midai dahulu. Ini merupakan agenda "wajib" ketika membawa tamu yang baru pertama ke sini. Luas Midai hanya 18 km persegi, mengelilinginya membutuhkan waktu 30 - 45 menit saja dengan kecepatan "santai". Pulau Midai terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Midai dan Suak Midai, plus 1 kelurahan dan 5 desa yang ada di bawah administrasinya.

Di depan Masjid Az-Zuriyat Midai

Bukan sekedar berkeliling, kami juga menjadi tour guide dadakan dengan menjelaskan beberapa tempat yang kami lewati. Masjid Baiturrahman, Kantor Pusat Ahmadi & Co, Kuburan-kuburan tua, hingga masjid tua Az-Zuriyat di Suak Midai merupakan beberapa yang kami jelaskan kepada para peneliti yang gak neko-neko ini. Setelah berkeliling, kami kembali beristirahat untuk mengatur rencana penelitian.

Malam hari, kami menuju kerumah salah satu narasumber. Peneliti yang saya bawa kali ini merupakan peneliti yang khusus meneliti tradisi lisan, jadi apa-apa saja tradisi yang menggunakan media lisan masuk dalam kategori ini. Narasumber pertama yang kami temui adalah bang Haidir, lebih dikenal dengan Haidir Wahab, seorang tokoh pemuda yang mempraktekkan tradisi tepung tawar. Tepung tawar merupakan tradisi lisan yang sangat familier di kalangan masyarakat melayu. Ia merupakan syair-syair yang berisi doa dan nasihat. Syair yang dilantunkan didominasi oleh bait-bait berima. Seperti pantun. Biasanya tepung tawar sering dibacakan saat pesta perkawinan setelah ijab kabul. Dibacakan kepada kedua mempelai sebagai penutup rangkaian acara adat dalam pernikahan.

Wawancara narasumber.

Tepung tawar tepung jati,
Tepung asal mula menjadi,
Tepung tali pati,
Tepung masang suri.

Di atas merupakan salah satu bait-bait awal dari syair tepung tawar. Ditambah dengan beberapa bait tambahan, barulah tepung tawar berisi nasihat dan biasanya ditutup dengan do'a. Properti dari tradisi tepung tawar ini adalah wadah kecil yang berisi air, beras kuning, dan asam garam, kesemua ini memiliki filofosi masing-masing. Dalam membaca tepung tawar, biasanya pelantun tepung tawar menggenggam kumpulan beberapa jenis daun yang juga memiliki makna tersendiri. Daun-daun tersebut kemudian dipukul pelan-pelan di tangan mempelai pengantin/objek tepung tawar yang tangannya berada di dalam wadah berisi air tadi sambil membaca syair tepung tawar.

Cukup lama kami berada di kediaman bang Haidir ini, terlebih malam itu hujan lebat membasahi bumi Midai. Bang Haidir bercerita banyak mengenai tradisi ini. Di Midai, ada beberapa orang yang bisa melantunkan tepung tawar, selain bang Haidir, ada juga bapak Ahmad bin Fauzi bin Musa, dan dahulu ada bapak allahyarham Baharudin bin Sabki bin Musa. Kata bang Haidir, maestro tepung tawar dimana tempat ia mengambil refrensi adalah allahyarham Sabki bin Musa. Kesemua orang-orang yang disebutkan tadi masih dalam satu garis keluarga.

Tangkapan layar dari video di laman FB, saat bang Haidir sedang membaca tepung tawar.

Selain mengenal tradisi tepung tawar, bang Haidir Wahab ini ternyata juga banyak menyimpan foto-foto Midai tempo dulu. Saya tertarik dengan hal ini karena masuk dalam program komunitas yang kami jalankan. Juga bercerita sedikit tentang asal muasal beberapa nama tempat di Midai, namun perihal ini beliau tak bisa menceritakan secara rinci, lalu kami direkomendasikan pada satu nama yang harus kami datangi nanti sebelum pulang. 

Hujan sudah reda, kopi pun sudah mulai habis, datapun sekiranya sudah cukup untuk kami olah. Kami berpamitan pulang, menuju penginapan. Melanjutkan penelitian esok hari dengan "tema" yang berbeda pula. Tepung Tawar merupakan tradisi lisan khas melayu, lain tempat lain pula cara dan syair yang disajikan. Setahu saya, ada pelantun tepung tawar di Pulau Tiga, Bunguran Selatan, dan lain-lain tempat di Natuna. Ini menunjukkan betapa kayanya daerah ini dengan budayanya. Tak patut kalau tak dilestarikan.

Narsis dulu -cekrek-

------

Selasa pagi, setelah sarapan kami mulai persiapan untuk melanjutkan penelitian, kali ini ke salah seorang narasumber yang melantunkan suluk dan pas kapal. Namun, kabar kurang mengenakkan kami dapati pagi hari ini, kapal penumpang yang akan kami naiki untuk ke Sedanau malam ini ternyata sudah sampai dan akan berangkat pagi ini juga dikarenakan cuaca yang kurang mendukung saat itu.

Hal ini sempat membuat bingung, karena jika kami mengikuti kapal untuk ke Sedanau pagi ini, data belum semua didapati. Jika kami tertinggal, maka kapal menuju ke Sedanau dan pulau Bunguran baru ada beberapa hari ke depan. Sementara menurut jadwal mereka akan kembali ke Tanjungpinang dan Jakarta pada hari sabtu.

Seketika juga kami berkonsultasi dan berkoordinasi untuk mencari solusi atas ini. Lalu........

Bersambung, yew..... (biar seru). 


Sunday, June 27, 2021

Perjalanan Mendampingi Tim Kemdikbudristek (2) : "Tanah" Jawa di Bumi Melayu

Awal hari di akhir pekan ini saya mulai dengan mengisi perut, sarapan roti selai coklat dilengkapi secangkir kopi di lobby Natuna Dive Resort. Resort dimana tim Badan Bahasa Kemendikbudristek ini bermalam. Roti coklat selalu jadi pilihan utama bagi saya ketika dihadapkan dengan berbagai pilihan sarapan di hotel. Sementara kopi, ia menjadi "doping" saya untuk menemani tim yang akan mewancarai para narasumber dan kemungkinan berlangsung saghi tumbes (seharian penuh) ini.

Menurut jadwal, hari ini kami akan menuju wilayah yang berada di tengah-tengah pulau Bunguran. Tepatnya kecamatan Bunguran Tengah, satu-satunya kecamatan di Kabupaten Natuna yang tidak memiliki pantai. Sedikit bercerita kembali ke tadi malam. Dalam perjalanan pulang dari Kelarik, ban mobil yang kami kendarai bocor tepat di desa Air Lengit. Kami istirahat di masjid desa sembari menunggu ban diperbaiki. Kemudian, sebelum pulang, kami singgah di kediaman bapak Kepala Desa Air Lengit untuk membuat janji untuk mewancarai beliau dan beberapa tokoh desa esok harinya. Alhamdulillah, pak Kades, yang ternyata senior saya di IPMKN Jogja bisa ditemui dan mengiyakan untuk bertemu esok hari, hari ini.

Perjalanan kami mulai dari hotel sekira pukul 8 pagi, berjalan santai menuju tengah pulau. Melewati perbukitan dan perkebunan karet milik masyarakat. Kami tiba di Desa Air Lengit sekitar pukul 9 lewat, bersilaturahmi sejenak sambil menunggu warga lain datang. Wawancara kami mulai sekira jam 10an pagi.

Wawancara Narasumber

Kecamatan Bunguran Tengah, dahulu merupakan pemekaran dari kecamatan induk Bunguran Timur. Daerah ini diisi oleh ratusan transmigran pada program transmigrasi besar-besar pada tahun 1980an lalu. Rata-rata datang dari wilayah Jawa Tengah, sedikit Jawa Timur, dan sedikit lagi dari Jawa Barat. Tim Badan Bahasa mewancarai para tokoh di desa ini untuk mengetahui apakah ada pengaruh bahasa lokal terhadap bahasa asal mereka setelah berpuluh-puluh tahun tinggal di negeri melayu, pulau Bunguran ini.

Berbagai pertanyaan ditanyakan. Dan dari banyak yang saya dengar, tidak banyak perubahan yang terjadi dari bahasa asal mereka (Jawa Timur dan Jawa Tengah), meskipun sudah lama tinggal di Natuna. Pun terhadap kebudayaan, mereka beradaptasi, menyesuaikan dengan kearifan lokal yang berlaku. Hidup harmonis sejak dulu.

Bareng narasumber

Diakhir wawancara, para peneliti menanyakan sedikit sejarah tentang desa maupun asal usul namanya. Hal ini juga mereka lakukan kemarin saat mewancarai narasumber di Kelarik. Pak Kepala Desa Air Lengit menjelaskan bahwa, nama Air Lengit berasal dari sebuah danau kecil yang banyak terdapat nyamuk. Nyamuk dalam bahasa Ranai disebut dengan Ngiet atau Rengit

Ada keunikan lagi dari nama Air Lengit ini, sungai dimana banyak terdapat nyamuk yang menjadi asal penamaan nama Desa Air Lengit itu, terletak di wilayah administrasi Desa Tapau. Sementara di Desa Air Lengit mengalir sungai dan bendungan yang disebut dengan Sungai dan Bendungan Tapau.

Setelah dari Desa Air Lengit, kami seharusnya menuju ke Desa Tapau, namun Kadesnya tidak bisa ditemui, kemungkinan karena terlalu lama menunggu kami saat istirahat siang, jadi beliau kira tidak jadi dan melanjutkan ke kegiatan beliau selanjutnya. Perjalanan kami lanjutkan ke Desa Harapan Jaya. Wawancara kami lakukan di rumah pak Kadesnya, yang ternyata juga senior saya di IPMKN Jogja dulu.

Wawancara warga dan kepala Desa Harapan Jaya

Sama seperti Desa Air Lengit, Desa Harapan Jaya yang dahulu disebut dengan Raharja Pura ini juga merupakan wilayah transmigrasi. Wilayah ini oleh masyarakat Ranai sering disebut dengan Teran yang berasal dari Transmigrasi, ada juga yang menyebutnya SP 1 (Satuan Pemukiman 1). Kemungkinan besar area ini yang pertama kali di tempati para transmigran dahulu, sebelum ke SP 2 (Desa Tapau), dan SP 3 (Desa Air Lengit). 

Desa Harapan Jaya juga banyak dihuni oleh masyarakat dari Jawa tengah dan Jawa Timur. Dari hasil wawancara yang saya dengar, tidak ada perubahan kata yang berarti dalam percakapan sehari-hari mereka yang berubah. Masyarakat Desa Harapan Jaya juga teguh memegang tradisi kebudayaan tempat asal mereka. Berbaur dengan warga lokal, hidup berdampingan, rukun, dan harmonis.

Hari sudah petang, ketika sudah masuk dalam sesi akhir wawancara. Kami pamit pulang, menuju kembali ke hotel. Namun sebelumnya atas permintaan tim, kami singgah ke rumah saya terlebih dahulu, "bekerja" lagi dengan mewancarai Pak Cik saya dari Midai yang kebetulan sedang berada di Ranai. Mereka terangat ingin mewancarai orang Midai, sebab menurut data yang mereka miliki, Pulau Midai selain dihuni orang melayu, juga banyak terdapat orang-orang dari Riau daratan, terutama Kampar dan Taluk Kuantan. Mereka ingin mengetahui apakah ada kosa kata baru akibat percampuran dua suku dan bahasa yang berbeda, atau adakah kata yang hilang, dan lain sebagainya.

Wawancara dengan Pak Cik dan Yah Ndok (Pak Cik dan Yah Ndok merupakan kata ganti untuk paman dalam bahasa melayu) berlangsung hingga sore hari. Setelah dirasa data cukup untuk didapat, kami pamit pulang, dan saya mengantarkan mereka ke resort untuk istirahat.

Bonus.......


Friday, June 25, 2021

Tentang Sastra, Bicara Bahasa : Perjalanan Mendampingi Tim Kemdikbudristek di Natuna

Beberapa hari yang lalu saya mendapat kesempatan untuk mendampingi rekan-rekan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk melakukan penelitian mengenai sastra lisan dan bahasa di Natuna. Tim ini berjumlah 5 orang, 3 perempuan dan 2 laki-laki. Mba Anita, Mba Mira, dan Kak Evi merupakan orang-orang yang langsung turun dari balai bahasa, sedang bang Medi, dan bang Jefri merupakan perwakilan dari Kantor Bahasa Kepulauan Riau.

Cerita bermula ketika seminggu yang lalu, saya dihubungi oleh Ngah Disun, kepala bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Natuna. Beliau mengundang saya, beserta rekan-rekan lain yang tergabung dalam komunitas Natunasastra, Kompasbenua, Penggiat Budaya dan beberapa tokoh kebudayaan lainnya untuk menghadiri temu ramah dengan tim dari kemendikbudristek ini. Temu ramah yang benar-benar ramah, penuh keakraban dan rasa kekeluargaan. Awal mula saya mengira bahwa kami akan bertemu dengan tim yang terdiri dari bapak-bapak + ibu-ibu 50an keatas umurnya. Karena dibenak saya, peneliti adalah rata-rata yang begitu umurnya. Namun anggapan itu salah, mereka ternyata sepantaran. Ya, meski tak seusia, namun mereka "sefrekuensi".

Rakor Hari Pertama
Hari pertama, ramah tamah. Masih pada cool dan jaim

Tujuan mereka kesini adalah untuk melakukan pemetaan bahasa dan sastra lisan yang ada di Natuna, ini merupakan tahun terakhir dari rangkaian yang sudah dilakukan sejak tahun 1990an. Kedatangan mereka kesini adalah untuk mengecek ulang dengan data sebelumnya, apakah masih sama ataukah ada perubahan, atau barangkali ada penambahan.

Kami dipercaya oleh Disparbud Natuna untuk mendampingi tim yang nantinya dibagi dua ini. Tenggut dari Natunasastra mendampingi tim pemetaan sastra lisan (mba Anita dan Bang Jefri), dan saya dari Kompasbenua mendampingi tim pemetaan bahasa (bang Medi, mba Mira dan kak Evi).

-----------------------------------

Sabtu, hari kedua mereka di Natuna, perjalanan dimulai. Setelah berkomunikasi dengan bang Medi, kami sepakat bahwa tujuan hari ini adalah menuju Kelarik, Kecamatan Bunguran Utara. Saya mendapat misi mencari narasumber di sana. Narasumber dengan kriteria orang lokal diatas 40 tahun berjumlah sekitar 3 orang. Saya cepat-cepat menghubungi Deri, penggerak muda di Kelarik dengan Komunitas Mbecite Kelarik nya. Misi saya yang lain adalah membawa mereka pergi dan pulang dengan selamat, alias menjadi supir.

Kami sampai di Kelarik di saat waktu sudah hampir zuhur. Setelah menunaikan hak dan kewajiban, kami menuju kediaman narasumber. Di sana ada bapak Kades, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda Desa Kelarik, Kecamatan Bunguran Utara. Setelah berbincang-bincang "pembukaan", kami masuk ke acara inti. Mba Evi mengeluarkan berkas-berkas dari tasnya yang berisi satu bundel kertas pertanyaan dan lembar administrasi tugas mereka. Lalu tiga narasumber ini dihadapkan dengan masing-masing tiga peneliti ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Mereka menyebut kosa kata dengan bahasa Indonesia, lalu narasumber ini menjawabnya dengan bahasa lokal, dalam hal ini adalah bahasa Kelarik. 

Setelah mengisi data narasumber, wawancara dimulai. Berbagai kosa kata mulai dari kegiatan sehari-hari, kata benda, nama-nama kegiatan dan alat, anggota badan, sampai (maaf) alat kelamin juga masuk dalam daftar pertanyaannya. Tentunya hal ini sudah disebutkan oleh mereka diawal, agar nanti tidak terkejut ketika mendengar kosa kata yang agak tabu ini. Dan para narasumber, harus menyebutnya dengan jelas, karena kata ini akan terekam untuk mereka sesuaikan dan teliti lebih lanjut nantinya. 

Suasana wawancara di Kelarik

Kegiatan ini berlangsung selama kurang lebih 3 jam lamanya, dan itu termasuk sebentar, biasanya bisa hingga 6 - 9 jam untuk satu penutur / tempat. Setelah wawancara selesai, mereka menanyakan secvara singkat tentang suatu daerah yang mereka kunjungi, seperti asal mula nama tempat, dan cerita-cerita rakyat. Tidak detail, hanya garis besarnya saja, untuk melengkapi laporan.

Setelah data dirasa cukup terkumpul, kami pamit pulang menuju ke Ranai. Deri, Narki, dan Nely masih ingin menahan kami untuk pulang. Mereka anak-anak muda yang haus akan ilmu dan sepertinya masih ingin berdiskusi lebih banyak dengan para peneliti ini. Namun mengingat waktu dan kegiatan-kegiatan lain masih ada dalam daftar, kami memilih untuk kembali pulang ke Ranai untuk menyiapkan kegiatan selanjutnya. Terimakasih kami ucapkan kepada tiga narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancarai, dan juga terimakasih kepada kawan-kawan Mbecite Kelarik yang dengan sigap sudah membantu memfasilitasi kegiatan ini.

Foto-foto dulu, biar ada cerita

Perjalanan pulang Kelarik - Ranai diwarnai dengan bocornya ban mobil di area bendungan Tapau, masing setengah perjalanan. Namun, alhamdulillah bisa teratasi dengan hal yang tak terduga pula. Sulit bagi saya mendeskripsikannya ke dalam tulisan. Yang jelas kami sampai ke Ranai dengan selamat dengan ban mobil yang sudah diganti tentunya.

Saya mendapat banyak pelajaran dihari pertama menjadi pendamping para peneliti ini. Kemudahan urusan di Kelarik yang merupakan buah dari silaturahmi yang saya bangun belum lama ini. Banyaknya kosa kata bahasa lokal yang baru pertama ini saya dengar. Juga kejadian yang barusan, bocornya ban mobil ketika perjalanan pulang. Hal tersebut sepatutnya merupakan teguran bagi saya untuk terus selalu bersyukur dan berprasangka baik terhadap apapun yang terjadi. Karena, akan selalu ada hikmah di balik setiap kisah.

 

Thursday, April 22, 2021

Cerita Studi Komparasi Wisata di Bintan (Hari Terakhir) - Desa Wisata dan Kesimpulan

Yap, sampai juga. Ini merupakan hari terakhir dari agenda studi komparasi wisata di Bintan. Ada beberapa kegiatan hari ini yang "harus" kami ikuti sebelum menuju ke Batam untuk kembali pulang ke Natuna esok harinya. 

Setelah puas berenang di Crystal Lagoon, sarapan, dan check out dari The Anmon Hotel. Perjalanan kami teruskan ke Desa Wisata Ekang. Desa Wisata Ekang masih terletak di Teluk Sabong, namun bukan termasuk di dalam kawasan atau manajemen BRC. 

Salah satu tempat menginap di D'Bamboo Kamp Desa Wisata Ekang

Desa Wisata Ekang berkonsep alam dan lingkungan, sangat pas untuk mengisi liburan bersama keluarga. Desa wisata dengan luas sekitar 14 hektar yang menjadi desa wisata terbaik di Indonesia ini merupakan buah dari hasil kerjasama antara Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dan Karang Taruna. 

Tempat menginap yang lain dengan konsep berbeda

Ada beberapa tipe kamar tempat menginap yang terdapat di desa wisata ini. Fasilitas lain yang terdapat di sini adalah kolam renang dan restoran yang terletak di dekat loby. Selain menginap, kita juga bisa melakukan aktifitas lainnya seperti berkebun, bermain bersama kelinci, berkuda, memancing, dan lain-lain.

https://desawisataekang.id/

Kawasan perkebunan Desa Wisata Ekang

Kami mengitari sebagian dari lokasi Desa Wisata yang kece ini, selanjutnya kami meneruskan perjalanan menuju Tanjungpinang untuk makan siang di Manabu Resto. Sebelum berpisah, kami mendapat berbagai cendera mata dari BRC, kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan juga berharap kerjasama antara Pemkab dan BRC terus terjalin untuk bersama-sama memajukan pariwisata di Kepri, khususnya Natuna dan Bintan.

Cekrek dulu sebelum berpisah, trims BRC...


-----------------------


Sebuah catatan :

Perjalanan selama kurang lebih tiga hari dalam rangka studi komparasi wisata di Bintan banyak memberikan pelajaran serta wawasan, terutama di bidang pariwisata. Dalam beberapa sisi, alam yang dimiliki oleh Bintan dan Natuna relatif sama, sehingga tidak menutup peluang wisata yang serupa bisa berkembang juga di Natuna.

Wisata Mangrove

Kebun Binatang Mini

Banyak tempat potensial yang bisa dijadikan desa wisata di Natuna, baik di dengan tema agrowisata, wisata bahari, maupun wisata alam. Hutan mangrove yang dimiliki Natuna juga sangat luas dan tersebar di beberapa pulau. Berbicara tentang kuliner, Natuna gudangnya makanan laut yang lezat dan kaya protein. Dan yang tak kalah penting adalah kebudayaannya, cerita rakyat, kesenian, dan lain-lain. 

Desa Wisata
Glamping

Semuanya bisa dikembangkan menjadi lebih baik. Syaratnya adalah kolaborasi, kerjasama lintas sektor, baik pemerintah maupun swasta serta melibatkan masyarakat lokal sebagai ujung tombak pengelolaan. Semoga pariwisata Natuna menjadi semakin baik kedepannya. Aamiin.


Cerita Studi Komparasi Wisata di Bintan, selesai.

Monday, April 19, 2021

Glamping Ala-ala di Anmon Hotel - Cerita Studi Komparasi Wisata di Bintan

Hari kedua dalam rangkaian Studi Komparasi Wisata di Kabupaten Bintan ini sungguh luar biasa. Sepuluh destinasi wisata super keren di kawasan terpadu BRC kami kunjungi dalam waktu kurang lebih 10 jam. Mulai dari sarapan di Pujasera hingga makan malam di Cassia Hotel sambil menikmati angin pantai dan sunset.

Setelah selesai santap malam, mobil membawa kami menuju kembali ke Chill Cove, tempat kolam renang terbesar se Asia Tenggara yang kami kunjungi pagi tadi. Selain terdapat kolam renang, wisata mangrove dan area outbond, kawasan Chill Cove juga terdapat 2 hotel dengan konsep unik dan menarik. Dan, kami akan menginap di salah satunya. 😁

The Anmon Hotel di malam hari

Anmon dan Natra, nama dua hotel dengan tema glamping tersebut. Glamping merupakan akronim dari glamour camping, konsep berkemah dengan didukung oleh fasilitas dan akomodasi yang memadai, begitulah kira-kira definisi glamping ini. Konsep glamping sudah mulai populer di beberapa negara dalam beberapa tahun terakhir. Menjadikan ia alternatif menginap ala kemah meski tak punya "skill" berkemah. 

Natra Hotel lebih dahulu beroperasi, dulu bernama The  Canopy Bintan. Baru pada 1 agustus 2019, ia berubah nama menjadi Natra yang terinspirasi dari bahasa arab. Sementara Anmon baru saja beroperasi dalam beberapa bulan terakhir.

Oleh pihak BRC, kami diinapkan di The Anmon Hotel. Baik Natra maupun Anmol sama-sama mengusung konsep glamping yang berpadu dengan alam. Semuanya wah. Bedanya hanya dibentuk tenda saja menurut saya. Natra Bintan memiliki tenda yang lebih besar dan lebar, sementara The Anmon bentuk tendanya lebih kecil dan mengerucut khas tenda suku indian atau perkemahan di padang pasir. 

Foto bareng pak Imam (baru biru paling kiri), dan mbak Putri (tiga dari kiri),
LO yang sudah menemani kami selama 2 hari ini

Di tempat check in, terdapat restoran yang kece abis, lobby hotel juga dikemas dengan modern sehingga sangat cocok untuk hanya sekedar nongkrong. Proses check in sudah selesai, sebelum kami diantar menuju kamar, kami berfoto dulu dengan LO yang sudah menemani kami dari kemarin hingga hari ini. Sebab, agenda besok hingga lusa akan berganti LO. Terimakasih banyak mbak Putri dan pak Imam sudah mau menemani kami jalan-jalan di Bintan. 😀 

Kami diantar menuju kamar masing-masing. Saya mendapat kamar no 106. Kamar dengan bentuk khas tenda khas gurun pasir ini begitu tampak sederhana dari luar. Dibaluti "kain" putih berbentuk kerucut dengan teras kecil di depannya. Hal yang kontras saat saya masuk ke dalam, fasilitas hotel yang mewah lengkap dengan kamar mandinya beserta perlengkapan lainnya. Yap, jadi inilah dia glamping itu ya, ternyata. Saya berberes-beres sebentar, setelah seharian berada di luar badan ini meminta haknya untuk dibersihkan. Setelah berberes-beres, mandi, dan sejenak beristirahat. Saya mencoba mengitari komplek "tenda" mewah ini.

Anmon menerapkan tema gurun pasir, pasir putih ala-ala gurun, hingga tanaman kaktus dan pohon palm terdapat di area komplek kemah. Lampu pelita di tepi-tepi jalan membuat malam semakin syahdu, lengkap dengan kilauan bintang di langit. Tamu-tamu lain yang menginap mengadakan acara "api unggun", barbaque-an di sekitar kemah. Ada alun-alun kecil tempat berkumpul di luar tenda. 

Saya tak meneruskan untuk sksplor lebih jauh Anmon ini, dikarenakan hari semakin larut dan letih di badan masih tersisa setelah seharian berkegiatan. Saya kembali ke kamar dan beristirahat. Di dalam kamar, kita juga masih bisa melihat bintang-bintang, karena atap kamar hotel bisa dibuka-tutup.

--------

Pagi harinya saya bangun agak kesiangan. Cepat-cepat keluar tenda untuk menikmati udara pagi di sekitaran kemah. Tak lama di luar, lalu kembali masik ke kamar untuk ambil perlengkapan, berenang di crytal lagoon. 😆

Hanya ada beberapa orang saja yang sedang berenang pagi ini, termasuk saya dan bang Jono. Sementara buk Kasi, pak Kabid dan pak Kadis sudah lebih dahulu jalan-jalan pagi di sekitaran kemah dan kolam. Segar rasanya berenang di kolam yang berasal dari air laut hasil penyulingan ini, kolamnya yang begitu luas serasa sedang berenang di laut sungguhan.

Basah-basah, pagi-pagi

Namun saya tak bisa berlama-lama karena agenda berikutnya sudah menunggu. Saya langsung bergegas kembali ke kamar, berbilas dan bersiap-siap. Di ruang tamu kamar sudah tersedia sarapan. Sarapan di Anmon modelnya diantar ke kamar, tak seperti hotel kebanyakan yang menyajikan prasmanan di hotel. Makan untuk sarapan dan lain-lainnya juga dipesan saat kita akan check in. Lalu keesokan harinya barulah makanan diantar, seperti itu. 

Beres-beres sudah, sarapanpun sudah, selanjutnya adalah kembali menuju lobby, dan check out. Lalu melanjutkan ke agenda berikutnya.

Biar kayak orang-orang

Check ouuuuut

Thank you, The Anmon Hotel for the great experience.


Refrensi :
https://www.bintan-resorts.com/resorts/anmon/