Monday, June 28, 2021

Memburu Tradisi Lisan di Bagian Selatan Natuna: Perjalanan Mendampingi Tim Kemendikbudreistek (3)

Pagi-pagi sekali sudah bangun, dan langsung mempersiapkan diri bekerja. Tapi kali ini bukan ke kantor. Namun menuju Pelabuhan Penyeberangan Penagi. Hari ini, kami "mendapat tugas" dari dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk menemani tim dari Pusat Bahasa Kemendikbudristek melanjutkan penelitiannya di Natuna. Kali ini, Pulau Midai jadi tujuan. Sejak rapat koordinasi hari pertama mereka di sini jumat lalu, saya selalu mempromosikan Pulau Midai ini sebagai tempat yang "seksi" untuk dilakukan penelitian. Akhirnya, "doktrin" yang saya tanamkan ini berhasil juga, setelah kemarin dalam perjalanan menemani tim peneliti bahasa, saya ditelpon oleh tim yang meneliti sastra lisan untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk ke Pulau Midai.

Halan-halan duyu

Segala persiapan administrasi dan mental kami siapkan untuk keberangkatan kali ini. Surat ijin, surat yang berhubungan dengan ke-covid-an, semua beres. Saya, Tenggut dari Komunitas Natunasastra, Bunit dari Badan Bahasa dan Bang Jefri dari Kantor Bahasa Kepri, tim kami terdiri dari empat orang ini tinggal cau saja menuju "pulau jomblo" di bagian selatan kabupaten Natuna ini. 

Perjalanan kami mulai dari Pelabuhan Penyebrangan Penagi, menaiki KMP Bahtera Nusantara 02, sebuah kapal jenis roro yang belum lama ini melayani rute di Natuna. Serasan, Subi, Penagi, dan Midai merupakan tempat-tempat yang disinggahi kapal milik PT. ASDP ini. Pukul 7 pagi kapal mulai menarik sauh, berlayar pelan keluar dari muara sungai Sebala, lalu tancap gas menuju selatan melewati sisi timur pulau Bunguran. Hamparan tanah luas plus gunung Ranai menjadi pemandangan di sebelah barat yang bisa dinikmati hampir 3 jam lamanya. Sementara lautan lepas terhampar di sebelah timur. 

Sepanjang perjalanan kami duduk di kantin, di dek paling atas, antara kemauan sendiri dan salah pilih tempat. Kapal roro ini memiliki ruangan yang berisi kursi dan kasur, ada juga kelas seperti kamar, namun semuanya penuh ketika kami masuk. Alhasil, hanya dek atas yang tersedia untuk kami.

Dempet di Midai

Jam 1 siang roro merapat di pelabuhan WK, Midai. Penumpang yang turun dengan tertib langsung diperiksa otoritas pelabuhan mengenai kelengkapan dokumen-dokumennya. Setelah semua selesai, kami menuju ke penginapan untuk meletakkan barang, istirahat sejenak.

Dan langsung mulai bekerja.

Menemui pihak Kecamatan Midai
Pertama, untuk menghilangkan letih yang masih tersisa, kami mengajak 2 orang peneliti ini mengelilingi Pulau Midai dahulu. Ini merupakan agenda "wajib" ketika membawa tamu yang baru pertama ke sini. Luas Midai hanya 18 km persegi, mengelilinginya membutuhkan waktu 30 - 45 menit saja dengan kecepatan "santai". Pulau Midai terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Midai dan Suak Midai, plus 1 kelurahan dan 5 desa yang ada di bawah administrasinya.

Di depan Masjid Az-Zuriyat Midai

Bukan sekedar berkeliling, kami juga menjadi tour guide dadakan dengan menjelaskan beberapa tempat yang kami lewati. Masjid Baiturrahman, Kantor Pusat Ahmadi & Co, Kuburan-kuburan tua, hingga masjid tua Az-Zuriyat di Suak Midai merupakan beberapa yang kami jelaskan kepada para peneliti yang gak neko-neko ini. Setelah berkeliling, kami kembali beristirahat untuk mengatur rencana penelitian.

Malam hari, kami menuju kerumah salah satu narasumber. Peneliti yang saya bawa kali ini merupakan peneliti yang khusus meneliti tradisi lisan, jadi apa-apa saja tradisi yang menggunakan media lisan masuk dalam kategori ini. Narasumber pertama yang kami temui adalah bang Haidir, lebih dikenal dengan Haidir Wahab, seorang tokoh pemuda yang mempraktekkan tradisi tepung tawar. Tepung tawar merupakan tradisi lisan yang sangat familier di kalangan masyarakat melayu. Ia merupakan syair-syair yang berisi doa dan nasihat. Syair yang dilantunkan didominasi oleh bait-bait berima. Seperti pantun. Biasanya tepung tawar sering dibacakan saat pesta perkawinan setelah ijab kabul. Dibacakan kepada kedua mempelai sebagai penutup rangkaian acara adat dalam pernikahan.

Wawancara narasumber.

Tepung tawar tepung jati,
Tepung asal mula menjadi,
Tepung tali pati,
Tepung masang suri.

Di atas merupakan salah satu bait-bait awal dari syair tepung tawar. Ditambah dengan beberapa bait tambahan, barulah tepung tawar berisi nasihat dan biasanya ditutup dengan do'a. Properti dari tradisi tepung tawar ini adalah wadah kecil yang berisi air, beras kuning, dan asam garam, kesemua ini memiliki filofosi masing-masing. Dalam membaca tepung tawar, biasanya pelantun tepung tawar menggenggam kumpulan beberapa jenis daun yang juga memiliki makna tersendiri. Daun-daun tersebut kemudian dipukul pelan-pelan di tangan mempelai pengantin/objek tepung tawar yang tangannya berada di dalam wadah berisi air tadi sambil membaca syair tepung tawar.

Cukup lama kami berada di kediaman bang Haidir ini, terlebih malam itu hujan lebat membasahi bumi Midai. Bang Haidir bercerita banyak mengenai tradisi ini. Di Midai, ada beberapa orang yang bisa melantunkan tepung tawar, selain bang Haidir, ada juga bapak Ahmad bin Fauzi bin Musa, dan dahulu ada bapak allahyarham Baharudin bin Sabki bin Musa. Kata bang Haidir, maestro tepung tawar dimana tempat ia mengambil refrensi adalah allahyarham Sabki bin Musa. Kesemua orang-orang yang disebutkan tadi masih dalam satu garis keluarga.

Tangkapan layar dari video di laman FB, saat bang Haidir sedang membaca tepung tawar.

Selain mengenal tradisi tepung tawar, bang Haidir Wahab ini ternyata juga banyak menyimpan foto-foto Midai tempo dulu. Saya tertarik dengan hal ini karena masuk dalam program komunitas yang kami jalankan. Juga bercerita sedikit tentang asal muasal beberapa nama tempat di Midai, namun perihal ini beliau tak bisa menceritakan secara rinci, lalu kami direkomendasikan pada satu nama yang harus kami datangi nanti sebelum pulang. 

Hujan sudah reda, kopi pun sudah mulai habis, datapun sekiranya sudah cukup untuk kami olah. Kami berpamitan pulang, menuju penginapan. Melanjutkan penelitian esok hari dengan "tema" yang berbeda pula. Tepung Tawar merupakan tradisi lisan khas melayu, lain tempat lain pula cara dan syair yang disajikan. Setahu saya, ada pelantun tepung tawar di Pulau Tiga, Bunguran Selatan, dan lain-lain tempat di Natuna. Ini menunjukkan betapa kayanya daerah ini dengan budayanya. Tak patut kalau tak dilestarikan.

Narsis dulu -cekrek-

------

Selasa pagi, setelah sarapan kami mulai persiapan untuk melanjutkan penelitian, kali ini ke salah seorang narasumber yang melantunkan suluk dan pas kapal. Namun, kabar kurang mengenakkan kami dapati pagi hari ini, kapal penumpang yang akan kami naiki untuk ke Sedanau malam ini ternyata sudah sampai dan akan berangkat pagi ini juga dikarenakan cuaca yang kurang mendukung saat itu.

Hal ini sempat membuat bingung, karena jika kami mengikuti kapal untuk ke Sedanau pagi ini, data belum semua didapati. Jika kami tertinggal, maka kapal menuju ke Sedanau dan pulau Bunguran baru ada beberapa hari ke depan. Sementara menurut jadwal mereka akan kembali ke Tanjungpinang dan Jakarta pada hari sabtu.

Seketika juga kami berkonsultasi dan berkoordinasi untuk mencari solusi atas ini. Lalu........

Bersambung, yew..... (biar seru). 


Sunday, June 27, 2021

Perjalanan Mendampingi Tim Kemdikbudristek (2) : "Tanah" Jawa di Bumi Melayu

Awal hari di akhir pekan ini saya mulai dengan mengisi perut, sarapan roti selai coklat dilengkapi secangkir kopi di lobby Natuna Dive Resort. Resort dimana tim Badan Bahasa Kemendikbudristek ini bermalam. Roti coklat selalu jadi pilihan utama bagi saya ketika dihadapkan dengan berbagai pilihan sarapan di hotel. Sementara kopi, ia menjadi "doping" saya untuk menemani tim yang akan mewancarai para narasumber dan kemungkinan berlangsung saghi tumbes (seharian penuh) ini.

Menurut jadwal, hari ini kami akan menuju wilayah yang berada di tengah-tengah pulau Bunguran. Tepatnya kecamatan Bunguran Tengah, satu-satunya kecamatan di Kabupaten Natuna yang tidak memiliki pantai. Sedikit bercerita kembali ke tadi malam. Dalam perjalanan pulang dari Kelarik, ban mobil yang kami kendarai bocor tepat di desa Air Lengit. Kami istirahat di masjid desa sembari menunggu ban diperbaiki. Kemudian, sebelum pulang, kami singgah di kediaman bapak Kepala Desa Air Lengit untuk membuat janji untuk mewancarai beliau dan beberapa tokoh desa esok harinya. Alhamdulillah, pak Kades, yang ternyata senior saya di IPMKN Jogja bisa ditemui dan mengiyakan untuk bertemu esok hari, hari ini.

Perjalanan kami mulai dari hotel sekira pukul 8 pagi, berjalan santai menuju tengah pulau. Melewati perbukitan dan perkebunan karet milik masyarakat. Kami tiba di Desa Air Lengit sekitar pukul 9 lewat, bersilaturahmi sejenak sambil menunggu warga lain datang. Wawancara kami mulai sekira jam 10an pagi.

Wawancara Narasumber

Kecamatan Bunguran Tengah, dahulu merupakan pemekaran dari kecamatan induk Bunguran Timur. Daerah ini diisi oleh ratusan transmigran pada program transmigrasi besar-besar pada tahun 1980an lalu. Rata-rata datang dari wilayah Jawa Tengah, sedikit Jawa Timur, dan sedikit lagi dari Jawa Barat. Tim Badan Bahasa mewancarai para tokoh di desa ini untuk mengetahui apakah ada pengaruh bahasa lokal terhadap bahasa asal mereka setelah berpuluh-puluh tahun tinggal di negeri melayu, pulau Bunguran ini.

Berbagai pertanyaan ditanyakan. Dan dari banyak yang saya dengar, tidak banyak perubahan yang terjadi dari bahasa asal mereka (Jawa Timur dan Jawa Tengah), meskipun sudah lama tinggal di Natuna. Pun terhadap kebudayaan, mereka beradaptasi, menyesuaikan dengan kearifan lokal yang berlaku. Hidup harmonis sejak dulu.

Bareng narasumber

Diakhir wawancara, para peneliti menanyakan sedikit sejarah tentang desa maupun asal usul namanya. Hal ini juga mereka lakukan kemarin saat mewancarai narasumber di Kelarik. Pak Kepala Desa Air Lengit menjelaskan bahwa, nama Air Lengit berasal dari sebuah danau kecil yang banyak terdapat nyamuk. Nyamuk dalam bahasa Ranai disebut dengan Ngiet atau Rengit

Ada keunikan lagi dari nama Air Lengit ini, sungai dimana banyak terdapat nyamuk yang menjadi asal penamaan nama Desa Air Lengit itu, terletak di wilayah administrasi Desa Tapau. Sementara di Desa Air Lengit mengalir sungai dan bendungan yang disebut dengan Sungai dan Bendungan Tapau.

Setelah dari Desa Air Lengit, kami seharusnya menuju ke Desa Tapau, namun Kadesnya tidak bisa ditemui, kemungkinan karena terlalu lama menunggu kami saat istirahat siang, jadi beliau kira tidak jadi dan melanjutkan ke kegiatan beliau selanjutnya. Perjalanan kami lanjutkan ke Desa Harapan Jaya. Wawancara kami lakukan di rumah pak Kadesnya, yang ternyata juga senior saya di IPMKN Jogja dulu.

Wawancara warga dan kepala Desa Harapan Jaya

Sama seperti Desa Air Lengit, Desa Harapan Jaya yang dahulu disebut dengan Raharja Pura ini juga merupakan wilayah transmigrasi. Wilayah ini oleh masyarakat Ranai sering disebut dengan Teran yang berasal dari Transmigrasi, ada juga yang menyebutnya SP 1 (Satuan Pemukiman 1). Kemungkinan besar area ini yang pertama kali di tempati para transmigran dahulu, sebelum ke SP 2 (Desa Tapau), dan SP 3 (Desa Air Lengit). 

Desa Harapan Jaya juga banyak dihuni oleh masyarakat dari Jawa tengah dan Jawa Timur. Dari hasil wawancara yang saya dengar, tidak ada perubahan kata yang berarti dalam percakapan sehari-hari mereka yang berubah. Masyarakat Desa Harapan Jaya juga teguh memegang tradisi kebudayaan tempat asal mereka. Berbaur dengan warga lokal, hidup berdampingan, rukun, dan harmonis.

Hari sudah petang, ketika sudah masuk dalam sesi akhir wawancara. Kami pamit pulang, menuju kembali ke hotel. Namun sebelumnya atas permintaan tim, kami singgah ke rumah saya terlebih dahulu, "bekerja" lagi dengan mewancarai Pak Cik saya dari Midai yang kebetulan sedang berada di Ranai. Mereka terangat ingin mewancarai orang Midai, sebab menurut data yang mereka miliki, Pulau Midai selain dihuni orang melayu, juga banyak terdapat orang-orang dari Riau daratan, terutama Kampar dan Taluk Kuantan. Mereka ingin mengetahui apakah ada kosa kata baru akibat percampuran dua suku dan bahasa yang berbeda, atau adakah kata yang hilang, dan lain sebagainya.

Wawancara dengan Pak Cik dan Yah Ndok (Pak Cik dan Yah Ndok merupakan kata ganti untuk paman dalam bahasa melayu) berlangsung hingga sore hari. Setelah dirasa data cukup untuk didapat, kami pamit pulang, dan saya mengantarkan mereka ke resort untuk istirahat.

Bonus.......


Friday, June 25, 2021

Tentang Sastra, Bicara Bahasa : Perjalanan Mendampingi Tim Kemdikbudristek di Natuna

Beberapa hari yang lalu saya mendapat kesempatan untuk mendampingi rekan-rekan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk melakukan penelitian mengenai sastra lisan dan bahasa di Natuna. Tim ini berjumlah 5 orang, 3 perempuan dan 2 laki-laki. Mba Anita, Mba Mira, dan Kak Evi merupakan orang-orang yang langsung turun dari balai bahasa, sedang bang Medi, dan bang Jefri merupakan perwakilan dari Kantor Bahasa Kepulauan Riau.

Cerita bermula ketika seminggu yang lalu, saya dihubungi oleh Ngah Disun, kepala bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Natuna. Beliau mengundang saya, beserta rekan-rekan lain yang tergabung dalam komunitas Natunasastra, Kompasbenua, Penggiat Budaya dan beberapa tokoh kebudayaan lainnya untuk menghadiri temu ramah dengan tim dari kemendikbudristek ini. Temu ramah yang benar-benar ramah, penuh keakraban dan rasa kekeluargaan. Awal mula saya mengira bahwa kami akan bertemu dengan tim yang terdiri dari bapak-bapak + ibu-ibu 50an keatas umurnya. Karena dibenak saya, peneliti adalah rata-rata yang begitu umurnya. Namun anggapan itu salah, mereka ternyata sepantaran. Ya, meski tak seusia, namun mereka "sefrekuensi".

Rakor Hari Pertama
Hari pertama, ramah tamah. Masih pada cool dan jaim

Tujuan mereka kesini adalah untuk melakukan pemetaan bahasa dan sastra lisan yang ada di Natuna, ini merupakan tahun terakhir dari rangkaian yang sudah dilakukan sejak tahun 1990an. Kedatangan mereka kesini adalah untuk mengecek ulang dengan data sebelumnya, apakah masih sama ataukah ada perubahan, atau barangkali ada penambahan.

Kami dipercaya oleh Disparbud Natuna untuk mendampingi tim yang nantinya dibagi dua ini. Tenggut dari Natunasastra mendampingi tim pemetaan sastra lisan (mba Anita dan Bang Jefri), dan saya dari Kompasbenua mendampingi tim pemetaan bahasa (bang Medi, mba Mira dan kak Evi).

-----------------------------------

Sabtu, hari kedua mereka di Natuna, perjalanan dimulai. Setelah berkomunikasi dengan bang Medi, kami sepakat bahwa tujuan hari ini adalah menuju Kelarik, Kecamatan Bunguran Utara. Saya mendapat misi mencari narasumber di sana. Narasumber dengan kriteria orang lokal diatas 40 tahun berjumlah sekitar 3 orang. Saya cepat-cepat menghubungi Deri, penggerak muda di Kelarik dengan Komunitas Mbecite Kelarik nya. Misi saya yang lain adalah membawa mereka pergi dan pulang dengan selamat, alias menjadi supir.

Kami sampai di Kelarik di saat waktu sudah hampir zuhur. Setelah menunaikan hak dan kewajiban, kami menuju kediaman narasumber. Di sana ada bapak Kades, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda Desa Kelarik, Kecamatan Bunguran Utara. Setelah berbincang-bincang "pembukaan", kami masuk ke acara inti. Mba Evi mengeluarkan berkas-berkas dari tasnya yang berisi satu bundel kertas pertanyaan dan lembar administrasi tugas mereka. Lalu tiga narasumber ini dihadapkan dengan masing-masing tiga peneliti ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Mereka menyebut kosa kata dengan bahasa Indonesia, lalu narasumber ini menjawabnya dengan bahasa lokal, dalam hal ini adalah bahasa Kelarik. 

Setelah mengisi data narasumber, wawancara dimulai. Berbagai kosa kata mulai dari kegiatan sehari-hari, kata benda, nama-nama kegiatan dan alat, anggota badan, sampai (maaf) alat kelamin juga masuk dalam daftar pertanyaannya. Tentunya hal ini sudah disebutkan oleh mereka diawal, agar nanti tidak terkejut ketika mendengar kosa kata yang agak tabu ini. Dan para narasumber, harus menyebutnya dengan jelas, karena kata ini akan terekam untuk mereka sesuaikan dan teliti lebih lanjut nantinya. 

Suasana wawancara di Kelarik

Kegiatan ini berlangsung selama kurang lebih 3 jam lamanya, dan itu termasuk sebentar, biasanya bisa hingga 6 - 9 jam untuk satu penutur / tempat. Setelah wawancara selesai, mereka menanyakan secvara singkat tentang suatu daerah yang mereka kunjungi, seperti asal mula nama tempat, dan cerita-cerita rakyat. Tidak detail, hanya garis besarnya saja, untuk melengkapi laporan.

Setelah data dirasa cukup terkumpul, kami pamit pulang menuju ke Ranai. Deri, Narki, dan Nely masih ingin menahan kami untuk pulang. Mereka anak-anak muda yang haus akan ilmu dan sepertinya masih ingin berdiskusi lebih banyak dengan para peneliti ini. Namun mengingat waktu dan kegiatan-kegiatan lain masih ada dalam daftar, kami memilih untuk kembali pulang ke Ranai untuk menyiapkan kegiatan selanjutnya. Terimakasih kami ucapkan kepada tiga narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancarai, dan juga terimakasih kepada kawan-kawan Mbecite Kelarik yang dengan sigap sudah membantu memfasilitasi kegiatan ini.

Foto-foto dulu, biar ada cerita

Perjalanan pulang Kelarik - Ranai diwarnai dengan bocornya ban mobil di area bendungan Tapau, masing setengah perjalanan. Namun, alhamdulillah bisa teratasi dengan hal yang tak terduga pula. Sulit bagi saya mendeskripsikannya ke dalam tulisan. Yang jelas kami sampai ke Ranai dengan selamat dengan ban mobil yang sudah diganti tentunya.

Saya mendapat banyak pelajaran dihari pertama menjadi pendamping para peneliti ini. Kemudahan urusan di Kelarik yang merupakan buah dari silaturahmi yang saya bangun belum lama ini. Banyaknya kosa kata bahasa lokal yang baru pertama ini saya dengar. Juga kejadian yang barusan, bocornya ban mobil ketika perjalanan pulang. Hal tersebut sepatutnya merupakan teguran bagi saya untuk terus selalu bersyukur dan berprasangka baik terhadap apapun yang terjadi. Karena, akan selalu ada hikmah di balik setiap kisah.