Halan-halan duyu |
Segala persiapan administrasi dan mental kami siapkan untuk keberangkatan kali ini. Surat ijin, surat yang berhubungan dengan ke-covid-an, semua beres. Saya, Tenggut dari Komunitas Natunasastra, Bunit dari Badan Bahasa dan Bang Jefri dari Kantor Bahasa Kepri, tim kami terdiri dari empat orang ini tinggal cau saja menuju "pulau jomblo" di bagian selatan kabupaten Natuna ini.
Perjalanan kami mulai dari Pelabuhan Penyebrangan Penagi, menaiki KMP Bahtera Nusantara 02, sebuah kapal jenis roro yang belum lama ini melayani rute di Natuna. Serasan, Subi, Penagi, dan Midai merupakan tempat-tempat yang disinggahi kapal milik PT. ASDP ini. Pukul 7 pagi kapal mulai menarik sauh, berlayar pelan keluar dari muara sungai Sebala, lalu tancap gas menuju selatan melewati sisi timur pulau Bunguran. Hamparan tanah luas plus gunung Ranai menjadi pemandangan di sebelah barat yang bisa dinikmati hampir 3 jam lamanya. Sementara lautan lepas terhampar di sebelah timur.
Sepanjang perjalanan kami duduk di kantin, di dek paling atas, antara kemauan sendiri dan salah pilih tempat. Kapal roro ini memiliki ruangan yang berisi kursi dan kasur, ada juga kelas seperti kamar, namun semuanya penuh ketika kami masuk. Alhasil, hanya dek atas yang tersedia untuk kami.
Dempet di Midai |
Jam 1 siang roro merapat di pelabuhan WK, Midai. Penumpang yang turun dengan tertib langsung diperiksa otoritas pelabuhan mengenai kelengkapan dokumen-dokumennya. Setelah semua selesai, kami menuju ke penginapan untuk meletakkan barang, istirahat sejenak.
Dan langsung mulai bekerja.
Menemui pihak Kecamatan Midai |
Di depan Masjid Az-Zuriyat Midai |
Bukan sekedar berkeliling, kami juga menjadi tour guide dadakan dengan menjelaskan beberapa tempat yang kami lewati. Masjid Baiturrahman, Kantor Pusat Ahmadi & Co, Kuburan-kuburan tua, hingga masjid tua Az-Zuriyat di Suak Midai merupakan beberapa yang kami jelaskan kepada para peneliti yang gak neko-neko ini. Setelah berkeliling, kami kembali beristirahat untuk mengatur rencana penelitian.
Malam hari, kami menuju kerumah salah satu narasumber. Peneliti yang saya bawa kali ini merupakan peneliti yang khusus meneliti tradisi lisan, jadi apa-apa saja tradisi yang menggunakan media lisan masuk dalam kategori ini. Narasumber pertama yang kami temui adalah bang Haidir, lebih dikenal dengan Haidir Wahab, seorang tokoh pemuda yang mempraktekkan tradisi tepung tawar. Tepung tawar merupakan tradisi lisan yang sangat familier di kalangan masyarakat melayu. Ia merupakan syair-syair yang berisi doa dan nasihat. Syair yang dilantunkan didominasi oleh bait-bait berima. Seperti pantun. Biasanya tepung tawar sering dibacakan saat pesta perkawinan setelah ijab kabul. Dibacakan kepada kedua mempelai sebagai penutup rangkaian acara adat dalam pernikahan.
Wawancara narasumber. |
Tepung tawar tepung jati,
Tepung asal mula menjadi,
Tepung tali pati,
Tepung masang suri.
Di atas merupakan salah satu bait-bait awal dari syair tepung tawar. Ditambah dengan beberapa bait tambahan, barulah tepung tawar berisi nasihat dan biasanya ditutup dengan do'a. Properti dari tradisi tepung tawar ini adalah wadah kecil yang berisi air, beras kuning, dan asam garam, kesemua ini memiliki filofosi masing-masing. Dalam membaca tepung tawar, biasanya pelantun tepung tawar menggenggam kumpulan beberapa jenis daun yang juga memiliki makna tersendiri. Daun-daun tersebut kemudian dipukul pelan-pelan di tangan mempelai pengantin/objek tepung tawar yang tangannya berada di dalam wadah berisi air tadi sambil membaca syair tepung tawar.
Cukup lama kami berada di kediaman bang Haidir ini, terlebih malam itu hujan lebat membasahi bumi Midai. Bang Haidir bercerita banyak mengenai tradisi ini. Di Midai, ada beberapa orang yang bisa melantunkan tepung tawar, selain bang Haidir, ada juga bapak Ahmad bin Fauzi bin Musa, dan dahulu ada bapak allahyarham Baharudin bin Sabki bin Musa. Kata bang Haidir, maestro tepung tawar dimana tempat ia mengambil refrensi adalah allahyarham Sabki bin Musa. Kesemua orang-orang yang disebutkan tadi masih dalam satu garis keluarga.
Tangkapan layar dari video di laman FB, saat bang Haidir sedang membaca tepung tawar. |
Selain mengenal tradisi tepung tawar, bang Haidir Wahab ini ternyata juga banyak menyimpan foto-foto Midai tempo dulu. Saya tertarik dengan hal ini karena masuk dalam program komunitas yang kami jalankan. Juga bercerita sedikit tentang asal muasal beberapa nama tempat di Midai, namun perihal ini beliau tak bisa menceritakan secara rinci, lalu kami direkomendasikan pada satu nama yang harus kami datangi nanti sebelum pulang.
Hujan sudah reda, kopi pun sudah mulai habis, datapun sekiranya sudah cukup untuk kami olah. Kami berpamitan pulang, menuju penginapan. Melanjutkan penelitian esok hari dengan "tema" yang berbeda pula. Tepung Tawar merupakan tradisi lisan khas melayu, lain tempat lain pula cara dan syair yang disajikan. Setahu saya, ada pelantun tepung tawar di Pulau Tiga, Bunguran Selatan, dan lain-lain tempat di Natuna. Ini menunjukkan betapa kayanya daerah ini dengan budayanya. Tak patut kalau tak dilestarikan.
Narsis dulu -cekrek- |
------
Selasa pagi, setelah sarapan kami mulai persiapan untuk melanjutkan penelitian, kali ini ke salah seorang narasumber yang melantunkan suluk dan pas kapal. Namun, kabar kurang mengenakkan kami dapati pagi hari ini, kapal penumpang yang akan kami naiki untuk ke Sedanau malam ini ternyata sudah sampai dan akan berangkat pagi ini juga dikarenakan cuaca yang kurang mendukung saat itu.
Hal ini sempat membuat bingung, karena jika kami mengikuti kapal untuk ke Sedanau pagi ini, data belum semua didapati. Jika kami tertinggal, maka kapal menuju ke Sedanau dan pulau Bunguran baru ada beberapa hari ke depan. Sementara menurut jadwal mereka akan kembali ke Tanjungpinang dan Jakarta pada hari sabtu.
Seketika juga kami berkonsultasi dan berkoordinasi untuk mencari solusi atas ini. Lalu........
Bersambung, yew..... (biar seru).