Sunday, April 12, 2020

Berlayar (Kembali) Menuju Pulau Kecil di Tengah Laut Natuna

Deru ombak yang beradu dengan dinding kapal sudah menjadi alunan musik bagi ku, setidaknya selama 3 jam ini. Yap, aku berada diatas kapal kecil yang sudah lepas jangkar dari Pelabuhan Rakyat di Selat Lampa sejak tadi pagi, mengarah membelah Laut Natuna menuju arah selatan. Menuju ke pulau yang tiada pulau lain di dekatnya. Sendiri, kecil, mungil, namun indah dengan jutaan cerita dan kenangan yang tersimpan rapi. Pulau Midai.

Cuaca sangat bersahabat, cerah. Angin teduh, dan gelombang sedikit tenang. Meski begitu, aku masih merasakan sedikit pusing karena gelombang laut. Maklum, sudah lama tak berlayar sejauh ini. Kapal yang kami tumpangi tidak lah terlalu besar, panjang sekitar 20m, tinggi kapal kurang lebih 4 m, dan tinggi struktur 2 meter. Ia merupakan sumbangan dari salah satu kementrian di republik ini. 
Aktivitas masyarakat Pulau Tiga

Pulau-pulau di Pulau Tiga

Jarak dari Selat Lampa ke Midai kurang lebih 52 mil atau 83 km. Kapal ini biasa menempuhnya dengan waktu kurang lebih 5-7 jam tergantung pada cuaca. Kami mulai berlayar pukul 7 pagi dari Selat Lampa. Kapal berjalan pelan dan santuy melewati gugusan pulau-pulau di Pulau Tiga yang indah, melewati selat kecil diantara pulau Sabang Mawang dan pulau Tanjung Kumbik, kedua pulau ini berada di dua kecamatan yang berbeda, pulau Sabang Mawang berada di Kecamatan Pulau Tiga, dan pulau Tanjung Kumbik berada di kecamatan Pulau Tiga Barat. Air laut jernih serta aktifitas masyarakat di sekitar pulau yang sedang melaut menjadi pemandangan elok di pagi yang cerah itu.

Istirahat menunggu logistik dan perbekalan

Di perairan Tanjung Batang kapal melambat dan berhenti sejenak, menunggu kapal lain yang datang untuk mengisi perbekalan kapal. Setelah selesai, kapal kembali melanjutkan perjalanan, kembali dengan santuy, kapten kapal seakan mengerti betul kami tak ingin cepat-cepat melewati pemandangan indah ini, banyak pulau-pulau kecil nan indah yang kami lewati ketika melewati gugus pulau-pulau di Pulau Tiga. Ingin sekali rasa mengeksplor satu persatu pulau-pulau ini, menguak rahasia-rahasia keindahan yang terkandung di dalamnya yang tak bisa hanya dilihat dari kejauhan saja.

Saat ini kami sudah berada di pertengahan jalan. Karena cuaca sedang panas, aku lebih memilih duduk di luar, namun sesekali aku masuk ke ruang kapten, iseng saja sambil melihat GPS -meskipun aku tak mengerti- di dalam kapal yang menunjukkan arah yang lurus menuju ke tujuan. Kadang-kadang aku mengambil teropong milik kapten dan meneropong di sekitar. Hanya pemandangan laut lepas, dan beberapa kapal penangkap ikan saja yang terlihat. Kapal "cantrang" dari Jawa, begitu kata orang-orang di kapal yang aku tanyakan. Cantrang memang lagi jadi kata populer untuk masyarakat Natuna saat ini.
Cantrang

GPS dan teropong kapal

Aku masih melanjutkan meneropong sekeliling, kali ini mengarah ke sisi kanan kapal, tepatnya sebelah barat. Dari kejauhan terlihat titik-titik hitam di atas lautan, bak bebatuan yang mengapung diatas lautan. Batu-batu, itu jawaban yang kudapati ketika bertanya dengan paman. Seketika aku berfikir, tumpukan bebatuan yang menyembul di tengah-tengah laut, kemungkinan berjenis batuan granit yang memang banyak ditemukan di Natuna. Lalu berapa besar bebatuan yang "menyengul" di lautan lepas itu? Nanti aku googling saja ketika kembali ke Ranai, fikirku. Kapal masih terus berlayar, membelas laut Natuna menuju selatan.
Berlayar kita, nak

Akibat sedikit pusing tadi, selera makan pun menjadi ambyar, parahnya lagi sulit untuk memejamkan mata, ditambah lagi dengan pemandangan yang seluruhnya laut membuat rasa bosan memuncak, ingin cepat-cepat sampai dan berlabuh di dermaga. Aku tak hiraukan jika berangkat sendiri, rasa khawatir ini semakin bertambah dengan ikutnya istri dan jagoanku yang masih bayi. Ini pertama kalinya mereka berlayar jauh. Namun sejauh yang ku lihat, mamanya jagoan sehat-sehat saja, dan jagoanku masih "pengas" mengeksplor kapal, sesekali melihat laut dan mengoceh sendirian seakan meluapkan rasa penasaran. Tidak ada terlihat muka pucat dan mabuk laut di wajah mereka, alhamdulillah.

Perjalanan masih berlanjut, jam menunjukkan hampir pukul 11 siang. Ketika aku berdiri di haluan kapal dan melihat jauh ke depan. Sayup terlihat gundukan tanah memanjang di tengah lautan. Bentuknya sudah tak asing lagi, aku hafal betul dengan bentuk ini, dua gunung yang terlihat dari kejauhan membentuk huruf M, itu lah pulau Midai. Kecil, mungil, namun indah dan damai. Jika pulau Midai sudah terlihat, kurang lebih 2 jam lagi akan sampai, begitu kata pamanku.
Pulau Midai dari kejauhan

Selanjutnya yang ku lakukan adalah mondar mandir di kapal untuk menghilangkan rasa bosan, terkadang bergantian menjaga jagoanku yang masih saja aktif, hanya tidur sebentar saja tadi, itu juga di paksa mamanya. Dia senang sekali melihat laut. Kadang-kadang ikan terbang (Exocoetidae atau torani) menemani perjalanan kami, muncul dengan tiba-tiba dari dalam laut lalu terbang rendah di atas permukaan dan kembali lagi menyelam. Ikan terbang ini memang memiliki habitat di perairan pasifik dan hindia, jadi Lauta Natuna merupakan "rumah" yang pas untuk ikan yang mampu berenang dan terbang ini. Ia bisa terbang sejauh 40 - 500 meter jika dibantu dengan bantuan gelombang, dan juga bisa berenang dengan kecepatan 60 km/jam di air guna lari dari mangsa. Selian itu, potensi lain dari ikan ini adalah telurnya yang mahal, yang biasa ia tempelkan di tumbuhan-tumbuhan laut. Hmmm, mantap syekaleeh ya.
Midai

Jika beruntung, selama perjalanan baik menuju atau dari Midai terkadang juga ditemani oleh kumpulan lumba-lumba yang berenang di dekat kapal. Banyak video-video yang dibagikan oleh teman-teman di media sosial yang menunjukan mamalia laut ini mengiringi kapal yang sedang berlayar. Sayang, mereka enggan muncul dalam perjalanan kali ini. Hanya ikan "indosiar" lah yang jadi teman kami berlayar.

naldoleum
Masuk perairan Midai

Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang, kapal sudah memasuki perairan Pulau Midai. Pulau yang dari jauh berbentuk huruf M tadi perlahan "membesar", berwarna hijau pertanda masih rimbun dengan pepohonan. Cuaca yang cerah membuat birunya langit, hijaunya pulau dan birunya laut membentuk gradasi warna yang indah, perpaduan epik dari Sang Pencipta, Keagungan_Nya Yang Maha Sempurna. Rasa tak ingin cepat berlalu menikmati pemandangan yang luar biasa ini. Sebentar lagi kapal akan berlabuh di pelabuhan. Laju kapal perlahan melambat seketika telah masuk di perairan Midai. Laut biru yang jernih hingga terlihat dasar laut yang dipenuhi karang-karang. Terkadang ikan-ikan berenang keluar masuk terumbu karang yang tampak dari atas kapal. Semakin dekat menuju dermaga, laut semakin jernih, dasar laut semakin jelas terlihat. Memang indah alam Natuna ini, tugas kita untuk menjaga dan memeliharanya.
naldoleum
Bentar lagi sampaiii

Kapten semakin melambatkan laju kapal, sebentar lagi akan merapat di dermaga. Ada banyak pelabuhan di pulau Midai. Hampir setiap desa dan kelurahan di pulau ini memiliki dermaga untuk berlabuhnya kapal, baik kapal nelayan maupun kapal penumpang. Kali ini kami akan merapat di pelabuhan WK, di Kelurahan Sabang Barat. Pelabuhan ini juga biasa digunakan untuk berlabuhnya kapal-kapal besar, seperti KM Bukit Raya dan Kapal-kapal Logistik lainnya. Mesin kapal dimatikan, tali ditambatkan di pelabuhan, alhamdulillah kami sampai di Midai dengan selamat.
naldoleum
Sampai Midai dengan selamat


Monday, April 6, 2020

Midai, Setelah 6 Tahun

Mendengar ada info kapal yang akan ke Midai seketika memperbaiki mood yang beberapa waktu kemarin kurang nyaman. Jadi, aku langsung mengiyakan ajakan paman yang akan pulang ke Midai esok. Berhubung kerjaan sedang "stop" sementara. Memang dari dulu ingin balik ke Midai belum pernah kesampaian. Terkahir aku menginjakkan kaki disana saat libur kuliah pada ramadhan tahun 2014 lalu. Sudah 6 tahun tidak balik kampung, bagaimana dengan pulau itu sekarang? 

Misi pulang Midai kali ini juga ingin mengenalkan keluarga baruku dengan keluarga besar ku disana. Sejak menikah, mamanya jagoan belum pernah ke Midai dan si jagoan kecilku ini ingin sampai juga ke kampung nenek moyangnya di sana. Saya langsung packing barang, dan bersiap untuk berlayar besok, uhyey.
Packing

Perjalanan ke Midai kami mulai dari rumah menuju Pelabuhan Rakyat di Selat Lampa, lalu naik kapal menuju Midai. Ada banyak kapal menuju Midai, diantara yang biasa ditumpangi adalah KM Fisabilillah dari pemda, Kapal Nelayan "KKP" dari Kementrian Kelautan dan Perikanan RI, dan beberapa kapal milik juragan-juragan Midai. Perjalanan dari Selat Lampa menuju Midai biasa ditempuh dengan waktu tempuh kurang lebih 5-7 jam tergantung pada cuaca. 

Kapal yang kami tumpangi lepas jangkar pada pukul 7 pagi, lalu sampai di pelabuhan Midai pada pukul 1 siang. Alhamdulillah cuaca pagi ini cerah dan bersahabat, laut "bagai air dalam talam", begitu masyarakat Natuna mengistilahkan laut tenang tanpa gelombang. Kami sampai dengan selamat.
Suasana di pelabuhan WK, Midai

Midai, pulau kecil di selatan Pulau Bunguran ini berada tersendiri tanpa "teman". Pulau terdekat adalah pulau Timau, itupun tiga jam perjalanan dengan perahu mesin untuk mencapai kesana. Letak  pulau Midai ini juga strategis untuk wilayah Kabupaten Natuna, sehingga saya sendiri sedikit bingung untuk menyebut pulau Midai ini masuk dalam gugusan Pulau Bunguran (Natuna Besar) atau gugus Kepulauan Natuna Selatan.

Saat ini Midai terbagi menjadi dua kecamatan, Kecamatan Suak Midai yang merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Midai diresmikan pada april 2016 lalu. Sepertinya unik, satu pulau dengan luas kurang lebih 18 km persegi ini memiliki dua kecamatan, namun saya rasa bagus, untuk mempercepat pembangunan dan pemanfataan sumber daya manusia yang ada.

Tak banyak perubahan yang nampak menurut saya setelah 6 tahun Midai tak saya kunjungi. Midai dahulu dan sekarang masih sama, masih asri, masih alami. Sedikit hasil pembangunan nampak di pulau ini, seperti kantor-kantor pemerintahan yang terlihat lebih modern setelah renovasi, bangunan-bangunan hasil bantuan dari pemerintah pusat, semenisasi jalan, dan banyak lagi mulai terlihat, itu yang membedakannya. Namun bahkan, ada yang "mundur" ke belakang, seperti beberapa bangunan dan pelabuhan yang tak terurus dan terawat. Rumah-rumah yang rusak tak terawat karena ditinggal penghuninya. Sarana olahraga banyak dibangun untuk menyalurkan bakat-bakat para olahragawan Midai yang memang terkenal apik sejak dulu. 
Tugu Midai

Ohya, kafe-kafe kekinian serta kios-kios minuman hasil karya enterpreneur muda Midai mulai tampak, terutama di Kelurahan Sabang Barat, satu-satunya kelurahan di pulau ini dengan penduduk yang sangat banyak, hampir menyamai 5 desa yang ada di dua kecamatan di pulau ini. Bisa di bilang Sabang Barat merupakan "ibukota" pulau Midai, dimana perputaran ekonomi berpusat di sini.  

Orang-orang menyebutnya Kedai, salah satu daerah di Sabang Barat dimana pusat keramaian berada. Kantor Lurah, Pelabuhan Rakyat, Bank, Masjid, Kelenteng, hingga warung kopi berada di kawasan ini. Tugu Proklamasi masih berdiri tegak di depan kantor Lurah, tugu yang ikonik. Tugu yang menjadi penanda, pulau kecil ini berada di bawah NKRI.

Bangunan-bangunan di Kedai

Saya menyebut daerah Kedai ini sebagai "kote tue". Bangunan-bangunan kayu dua lantai berada di sisi kiri dan kanan jalan. Sebagian masih utuh dengan kayu asli dan ukiran khas zaman dulu, sebagian lagi hancur, bahkan hilang sama sekali diganti semen dan besi.

Dahulu, di Kedai ini pernah berdiri perusahaan multinasional dijamannya, Ahmadi & Co, namanya. Ia merupakan gabungan syirkah-syirkah di Pulau Midai yang bekerjasama mengelola hasil bumi pulau ini untuk diekspor hingga keluar negeri. Midai menjadi pulau yang maju saat itu. Dulu. Sekarang tinggal bekas bangunan kantornya saja di dekat tugu Pemuda yang digunakan sebagai gudang.
Bekas Kantor Ahmadi & Co.

Kala senggang, saya mengelilingi pulau Midai bersama keluarga ketika sore hari. Dengan kendaraan bermotor, cukup 45 menit saja mengitari pulau ini. Melewati jalan utama di pesisir, terkadang juga kami memotong jalan dengan melewati gunung Jambat. Sekali lagi, tak banyak perubahan yang tampak di Midai. Masih tetap alami, dan asri. Pepohonan kelapa mendominasi pulau ini hingga ia menjadi komoditas utama pada masa kejayaan Ahmadi & Co dahulu. Kebun cengkeh milik warga akan mudah kita temui jika kita berseliweran jalan di gunung-gunung. Selain gunung Jambat, ada gunung Air Putih, Gunung Sebelat, Gunung Lampu, dan lain-lain. 

Ohya, saya sedikit yang saya catat ketika berada di sini. Adalah ramainya warga, terutama anak-muda yang nongkrong di pelabuhan ketika pagi dan sore hari. Bukan tanoa sebab, mereka ternyata mencari akses internet untuk kebutuhan "premier" mereka. Dan pelabuhan merupakan tempat "merdeka sinyal" di Midai. Begitulah, sejak dahulu, Midai memang agak susah untuk bidang komunikasi. Saat akses internet belum ada saja, orang-orang Midai susah untuk  menghubungi dan dihubungi lewat telepon selular biasa. Dan dijaman yang serba menggunakan akses internet seperti sekarang inipun demikian adanya.

Hmmmm satu lagi, selama saya di sana, ada satu yang saya fikir benar-benar hilang. Atau paling tidak, tidak saya temui selama beberapa hari berada di sana, yaitu gerobak sapi. Yap, dahulu saat saya liburan di Midai, naik gerobak sapi adalah tujuan saya kedua, setelah berenang di laut. Entah mengapa, bahagia saja menumpang naik gerobak sapi ini. Memang, sesederhana itulah bahagia. Namun saat ini, gerobak sapi sudah tidak saya temui lagi di Midai. Tugasnya diganti oleh yang lebih kuat dan praktis, sepeda motor roda tiga, atau yang biasa disebut tosa. Disisi lain, hal ini bagus, mengurangi eksploitasi binatang. Namun kenangan akan hal ini sulit dilupakan.

Sekitar seminggu kami berada di Midai, ini sebagai pembuka perkenalan kepada keluarga baruku tentang pulau mungil yang menyimpan banyak cerita dan sejarah. Lain waktu insya Allah kami akan kembali datang, menulis cerita baru, atau mengingat cerita-cerita lama untuk kembali menyegarkan ingatan betapa bahagia dan indahnya pulau ini, Pulau Midai.