Monday, July 10, 2023

GIC dan Batu Bedil - Cerite di Belitong

Hari kedua di negeri Laskar Pelangi.

Pagi-pagi sekali kami sudah bangun, mempersiapkan diri untuk kegiatan-kegiatan yang akan dilalui hari ini. Namun sebelum peserta lain bersiap-siap, aku dan beberapa teman mengambil kesempatan untuk berjalan melihat-lihat sekitar hotel. Sebenarnya beberapa rekan sudah mengajak nongkrong tadi malam, namun karena badanku sangat letih, jadi ku memilih untuk beristirahat saja di kamar.

Hotel yang kami tempati ternyata berada di pinggiran pantai. Di pusat kota Tanjung Pandan, sebuah kota tua di Belitung, hal ini terlihat dari beberapa bangunan yang ada di sekitaran hotel yang memiliki ciri arsitektur khas Belanda. Berjalan kaki merupakan salah satu aktivitas favoritku ketika berada di tempat baru, sebab aku dengan leluasa bisa mengamati sekitar. Tak jauh dari hotel, kami singgah di warung kopi legendaris, Kong Djie namanya. Dari branding yang terpampang di logonya, warkop ini soedah ada sedjak 1943, sudah 8 dekade ia menemani ahli sruput di pulau Belitung. Dan masih terus berkembang dan memiliki banyak cabang di beberapa tempat. Sambil menikmati suasana tempo doeloe di warkop ini, tak lupa ku membeli beberapa produknya, sambil merasakan produk khas dari Belitung, lalu kembali ke hotel.

Kong Djie Coffee, 1943

Tujuan pertama pada hari kedua ini adalah Geopark Information Center (GIC), letaknya tak begitu jauh dari hotel tempat kami menginap. Bangunan satu lantai yang sepertinya peninggalan Belanda ini, oleh pemerintah setempat "disulap" menjadi pusat informasi geopark. Oleh panitia, kami diarahkan menuju aula di belakang gedung, di sana sudah menunggu seorang bule Prancis. Setelah perkenalan singkat, ia langsung melakukan atraksi. Ruangan tadi merupakan studio wayang yang menampilkan pewayangan yang digerakkan dengan tali. Cerita yang diceritakan adalah beragam cerita lokal dari Belitong. Dalam geopark, hal ini masuk dalam cultural diversity, keragaman budaya yang menghiasi pulau Belitong.

Setelah dari ruangan, aku menyusuri ruang utama GIC. Di sini banyak terdapat informasi mengenai Geopark Belitong, mulai dari infromasi Geologi, Biologi hingga Budaya. Beragam fasilitas pendukung juga tersedia di GIC ini, seperti mesin informasi, perpustakaan dan beragam koleksi-koleksi lainnya.

Lalu ada juga ruangan semacam perpustakaan dengan interior yang bagus, layaknya sebuah kantor, ruangan ini digunakan oleh Belitong Geopark Youth Community (BGYC) sebagai sekretariat mereka. BGYC merupakan organisasi yang berisikan pemuda-pemudi Belitong dalam menggerakkan geopark di Belitong, ia merupakan komunitas pemuda Geopark pertama di Indonesia.

Belitong Geopark Information Center

Selesai di GIC, perjalanan kami berlanjut ke Geosite Batu Bedil, melewati tengah kota di Kabupaten Belitung, bus terus melaju melewati beberapa desa yang vibenya seperti di Desa Cemaga Selatan, di tempatku. Jalan melewati pesisir pantai dengan pemandangan laut dan bebatuan membuatku merasakan sedang berada "di rumah" saja. Selang beberapa waktu, kami tiba di Geosite Batu Bedil. Perjalanan tidak terasa jauh sebab di dalam bus kami saling bertukar cerita dan diskusi.

Geosite Batu Bedil sendiri mirip dengan Geosite Batu Kasah di Geopark Natuna. Ia terletak di Desa Sungai Padang, Kecamatan Sijuk, Belitung, kurang lebih 45 km dari hotel tempat kami menginap tadi malam. Nama Batu Bedil diberikan karena salah satu batuan granit di lokasi ini berbunyi seperti bedil (meriam) ketika dipukul dengan benda keras. Bunyi seperti bedil ditembakkan juga terdengar ketika ombak menghantam rongga-rongga batu. 

Cerita lain di Geosite Batu Bedil adalah dahulu di lokasi ini merupakan perkampungan tua. Dimana ketika para bajak laut datang, Batu Bedil dijadikan pertanda sehingga masyarakat bisa menyelamatkan diri. Konon bunyi bedil yang dihasilkan bisa terdengar mencapai radius berpuluh-puluh kilometer. Bunyinya bedil ini merupakan sebuah pertanda bahwa lanun akan datang, sehingga masyarakat bisa mengungsikan diri ke tempat yang saat ini disebut dengan Padang Pelarian.

Masih di Geosite Batu Bedil. Di dekat pantai terdapat sumur kecil yang dipercayai mengandung air yang beracun. Konon cerita air tersebut digunakan oleh tetua di kampung untuk mengelabuhi lanun yang datang. Ketika lanun meminum air dari sumur tersebut maka mereka akan mati. Sampai saat ini tiada yang berani meminum air dari sumur tersebut.

Geosite Batu Bedil dan Parut Mengale

Geosite Batu Bedil selain menawarkan panorama alam yang indah, juga didukung dengan fasilitas penunjang seperti beberapa tempat untuk bersantai, kantin, hingga mushala. Saat beristirahat, kami diberi makanan ringan khas Belitong. Namanya parut mengale, sajiannya berupa ubi rebus dengan parutan kelapa dan dibungkus dengan daun simpor. Gurih dan nikmat untuk mengisi perut sebelum makan siang. Di Natuna, kami mengenal dengan sebutan ubi ghebus, juga disajikan dengan nyok paghot (parutan kelapa) dan gule mighah (gula kelapa), namun tidak dibungkus dengan deun simpo (daun simpor), rasanya sama-sama gurih dan nikmat.

Dari Geosite Batu Bedil kami meneruskan perjalanan untuk melanjutkan agenda kegiatan berikutnya.




Sunday, July 9, 2023

Belitong: Sejarah dan Budaya

Keindahan alam yang ada di Geopark Belitong selalu memantik rasa penasaranku. Setelah tadi pagi landing di bandara H.A.S. Hananjoeddin, aku dan peserta lain langsung menuju ke beberapa lokasi dalam rangkaian kegiatan UGG Youth Marine Camp. Sepanjang perjalanan aku kerap memperhatikan sekitar. Belitong, memang tak jauh beda dengan Natuna. Bentang alam, daerah pesisir, pulau-pulau dan granit, budaya, dan tempatnya hampir sama dengan Natuna. Hanya dalam segi infrastruktur, Belitung sudah jauh di depan. 
Perjalanan sebelum ini
Rumah Limas, Tanjung Kelayang hingga Pusat Informasi Geologi (PIG) adalah beberapa tempat yang kami kunjungi dari pagi hingga sore ini. Sebenarnya menurut rundown yang dibagi panitia, ada beberapa tempat yang seharusnya dikunjungi sebelum ke PIG, namun berubah karena sesuatu dan lain hal, hal yang sangat biasa terjadi dalam sebuah acara besar.

Setelah dari PIG, perjalanan kami berlanjut ke geosite Open Pit Nam Salu, sebuah lokasi bekas tambang timah yang sudah ditinggal lama. Bekas galian tambang ini membuat lapisan bebatuan jelas terlihat. Sehingga menjadikan geosite Open Pit Nam Salu sebagai objek penelitian geologi dan situs Geopark Belitong.
Open Pit Nam Salu dengan pemandangan Bukit Mulong
Nam Salu berasal dari bahasa Cina Haka (kalangan Cina pekerja). Nam berarti selatan, sedangkan salu berarti jalur. Situs tambang Nam Salu pada masa jayanya merupakan situs tambang timah besar. Sudah beroperasi selama 150 tahun hingga berhenti pada tahun 1928.

Dari Open Pit Nam Salu, kita bisa melihat alam pulau Belitung, perbukitan dan hutan. Bukit Mulong tampak indah di kejauhan, yang sering disebut dengan "jalur tengah", sebab Bukit Mulong terletak di perbatasan antara Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur. Uniknya tour guide pada kunjungan kali ini adalah warga lokal yang dibantu oleh pelajar tingkat SMP dan SMA. Ternyata hal ini masuk dalam kurikulum pembelajaran di sekolah-sekolah mereka. Betapa besar dukungan pemerintah dalam pengembangan Geopark, hampir segala sektor digerakkan dalam mendukung upaya menjaga kelestarian bumi, baik untuk pendidikan, penelitian, hingga peningkatan ekonomi lokal. Sejatinya, inilah yang menjadi tujuan suatu kawasan ditetapkan sebagai tamanbumi atau geopark.

Setelah dari Geosite Open Pit Nam Salu, kami kembali ke meeting point, di sana dibagikan minuman khas lokal, saya lupa namanya, namun rasanya yang asam-asam manis dan segar itu cocok sebagai pengganti letihnya medan menanjak dan menurun dari dan ke geosite tadi, lalu para peserta juga diberikan souvenir oleh panitia.

Matahari perlahan mulai masuk dalam peraduannya, ketika bus yang kami tumpangi melaju ke tujuan berikutnya. Sebuah komplek rumah dinas tua, kemungkinan bekas dari PN. Timah yang dulu pernah berjaya. Rumah dinas yang barangkali sudah berumur puluhan tahun ini tak begitu besar, arsitekturnya khas Belanda. Di sini aku kembali bertemu dengan beberapa kawan yang baru datang menyusul, beberapa teman yang dulu bersama-sama dalam kegiatan UGG Youth Seminar and Camp di Batur UGGp. Agenda malam ini adalah makan malam, namun bukan makan sembarang makan. Panitia mengkonsep kegiatan ini dengan "memaksa" peserta untuk menjadi melayu Belitong: makan bedulang.

Makan bedulang merupakan salah satu tradisi melayu Belitong, dimana hal ini sering disajikan dalam acara-acara besar seperti kenduri, do'a selamat hingga pernikahan. Dulang merupakan wadah besar, seperti talam. Lauk pauk diletakkan di dalam dulang untuk disajikan kepada tamu, biasanya satu dulang untuk empat porsi atau empat orang. Sudah lengkap dengan nasi, air, hingga makanan ringan penutup. Makan bedulang sama dengan yang ada di Natuna, konsepnya juga sama, hanya pengucapannya saja yang sedikit berbeda, tergantung pada daerahnya. Masyarakat Bunguran Timur lama menyebutnya makan beduluong, sementara masyarakat pulau Sedanau dan gugusan Pulau Tiga menyebut makan bedulong. Sedangkan di Midai disebut makan bedulang, dan masyarakat Kelarik disebut makan bedulueng.
menu makan bedulang
Kesamaan ini semakin menambah "daftar kembar" antara Natuna dan Belitong. Baik secara alam dan budaya, yang ku yakin akan bertambah seiring perjalananku pada hari-hari berikutnya di bumi laskar pelangi ini.

Setelah makan bedulang, peserta menuju ke hotel untuk menginap dan persiapan menuju agenda esok hari.

Saturday, July 8, 2023

Belitong: Kali Pertama dan Tentang Kesamaan

Belitong, pulau ini terletak di selat Karimata, sebuah selat yang menghubungkan antara Sumutera dan Kalimantan. "Perkenalanku" dengan Belitong ini sudah lama. Sering melihat atlas, dan peta dunia, termasuk Indonesia pada waktu kecil membuatku tahu sedikit tentang Belitung yang kala itu merupakan bagian dari Sumatera Selatan. Perkenalan selanjutnya dengan pulau ini lewat sebuah film fenomenal, hasil adaptasi dari best seller novel karya Andrea Hirata dengan judul yang sama: Laskar Pelangi.

Film yang menceritakan tentang kegigihan dan kecerdasan guru-guru dan siswa-siswi lokal di SD Muhammadiyah itu, juga menampilkan keindahan alam pulau yang kaya dengan hasil bumi ini. Pasir putih dan granit besar yang menjadi ciri khas alam Belitung. 

Pantai dan batuannya sama dengan tempatku, Natuna.

Hal tersebut tentu saja menambah rasa penasaranku tentang pulau yang indah ini. Sehingga pulau Belitong yang saat ini sudah memisahkan diri dari Provinsi Sumatera Selatan dan membentuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini menjadi target untuk ku datangi.

Terlebih Pulau Belitong ditetapkan menjadi kawasan Geopark Nasional dan 2020 resmi menyandang status global dari UNESCO. Geopark, sesuatu yang kelak membawaku sampai ke pulau ini. Geopark Belitong terletak di Pulau Belitung Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kawasannya berada di dua kabupaten yakni Belitung dan Belitung Timur. 

Yap saya tidak salah tulis antara O dan U dalam penyebutan Belitung/Belitong. Secara administrasi, nama dua kabupaten memang menggunakan U, yakni Belitung dan Belitung Timur. Namun dalam ejaan bahasa melayu tempatan, Belitung disebut dengan Belitong, sesuai dengan tujuan Geopark yang memasukkan unsur budaya di dalamnya, sehingga penamaan resmi geopark pada kawasan ini mengambil dialek lokal: Belitong.

Gayung bersambut, kegiatan Pemuda Geopark di Geopark Belitong yang mulai digaungkan pada mei lalu seakan menjadi "batu pijakan". Setelah semua perkara selesai (baca: administrasi, ikut seleksi dari panitia dan ketersediaan dana dari sponsor dan pemerintah), aku bersama seorang teman dari Natuna berangkat menuju Pulau Laskar Pelangi ini. 

Burung besi membawa kami dari Natuna menuju Jakarta via Batam, dan Soekarno Hatta menjadi titik kumpul para peserta yang datang dari berbagai wilayah di Jawa untuk sama-sama berangkat ke Belitong esok paginya. Punya waktu sekian jam di bandara membuat ku memilih untuk ngemper di bandara sambil menunggu kedatangan rekan-rekan yang lain dengan bermodalkan chat di WA group yang sudah dibuat beberapa hari lalu.

bersama rekan dari (calon geopark di) Bali

Bali, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Selatan dan Jogja merupakan asal dari peserta-peserta yang membuat janji untuk bertemu dan kebetulan berada pada satu penerbangan yang sama rute Jakarta - Belitong. Tidur di kursi-kursi ruang tunggu bandara adalah hal yang kami lakukan sembari menunggu lengkapnya teman-teman lain yang datang. 

Dini hari, rekan-rekan sudah berkumpul di gate keberangkatan sambil menunggu jadwal penerbangan. Jakarta - Belitong hanya memerlukan satu jam penerbangan karena jarak yang memang tak begitu jauh. Cuaca cerah dari Jakarta, namun tidak ketika tiba di H.A.S. Hanandjoeddin International Airport Belitung, hujan mengguyur bumi Laskar Pelangi tersebut.

Sembari menunggu kedatangan peserta yang lain dengan penerbangan berbeda, kami sejenak istirahat, mengisi perut yang memang belum diisi pagi ini. Silih berganti pesawat landing di bandara, membawa beberapa peserta yang ku kenal wajahnya, tak asing, sebab sudah bertemu pada kegiatan Pemuda Geopark di Batur UGGp tahun lalu. Reuni kecil-kecilan ceritanya.

Touchdown Belitong!

Setelah semua peserta lengkap, bis penjemput yang sedari tadi sudah standby di parkiran bandara mulai berjalan, mengantarkan kami ke banyak tujuan. Acara sudah di mulai per hari ini.

Tujuan pertama adalah rumah adat melayu Belitong. Rumah adat ini sama seperti rumah-rumah adat melayu pada umumnya: rumah panggung. Rumah yang disebut dengan Rumah Limas ini terdiri dari beberapa bagian, bagian pertama yaitu bagian teras rumah, tempat tamu pertama kali masuk. Lalu yang kedua adalah ruang utama atau ruang tamu, tersedia dua kamar tidur di sini. Di ruang ini juga ditampilkan beberapa pernak pernik hantaran pernikahan adat melayu Belitong, dan di dinding-dindingnya terdapat foto Belitong tempo dulu.

Bagian berikutnya adalah dapur atau bagian belakang, antara bagian utama dan bagian belakang dihubungkan dengan penghubung seperti jembatan yang disebut dengan los. Di ruang belakang ini terdapat alat-alat dapur tradisional, juga terdapat alat-alat bertani dan melaut. Terpisah dari rumah induk, ada bangunan kecil di belakang yang disebut dengan pondok. Kata pemandu, itu semacam gudang untuk menyimpan kayu bakar, toilet berada di belakang pondok tersebut.

Rumah Limas, Belitong

Saya tertarik dengan dokumentasi foto-foto lama di dinding ruang tamu. Gaya melayu tempo dulu dan stempelnya mirip juga dengan stempel tempo dulu yang ada pada koleksi foto-foto lama yang ada di Natuna. Pernak-pernik pernikahan juga hampir sama dengan yang ada pada melayu Natuna. Bagian dapur terdapat beberapa alat tradisional yang ada kaitannya dengan bertani, ada lesung seperti seni tradisi di Natuna: lesung alu. Dan mereka menyebutnya Lesung dan Lumpang. Ada juga gerobak tradisional yang mereka sebut dengan liu-liu. Pada perayaan hasil tani, masyarakat Belitong mengenal istilah marastaun, yakni sebuah perayaan panen padi yang dahulu dirayakan di tiap-tiap desa.

Setelah dari rumah limas, perjalanan kami berikutnya menuju ke Pantaii Tanjung Kelayang untuk beristirahat dan makan siang. Di Tanjung Kelayang, semua peserta kegiatan berkumpul. Peserta dari UNESCO Global Geopark Youth Marine Camp, dan peserta The 11th ASEAN Summit 2023 berkumpul di sini. Sebagai informasi, The 11th ASEAN Summit merupakan event bertemunya negara-negara ASEAN, dan Geopark Belitong menjadi salah satu tempat diselenggarakannya kegiatan tersebut, pemerintah memilih Belitong UGGp untuk menjadi host dalam kegiatan Running Into The Blue: Oceanic Adventure sebagai bagian dari rangkaian kegiatan ASEAN Blue Economy Forum yang berlangsung di Belitung, 2-4 Juli 2023.

Peserta UGG Marine Youth Camp

Ini yang menjadi catatan saya: kegiatan kolaborasi. Semacam "aji mumpung" dalam melaksanakan kegiatan, dalam hal positif tentunya. Pemerintah menunjuk Belitong untuk menjadi tuan rumah kegiatan, dan Belitong UGGp mengambil kesempatan dengan berkolaborasi mengadakan kegiatan UGG Youth Marine Camp dengan skala internasional. Hal kolaborasi seperti ini yang mesti diterapkan, rangkaian kegiatan pada waktu yang sama. Kerja sama dalam event yang sekaligus besar. Hingga segalanya bisa dikerjakan bersama-sama. 

Di Pantai Tanjung Kelayang, kami istirahat untuk makan siang dan belanja pada stand-stand pameran yang sudah tersedia. Transaksi yang dilakukan dengan membeli kupon yang nanti akan di tukar dengan produk yang akan dibeli.

Trip masih berlanjut, kali ini tujuannya adalah Pusat Informasi Geologi (PIG) Belitung. Tarian selamat datang yang dibawakan oleh penari cilik menyambut kami dalam kunjungan ke PIG ini.

Seorang pemandu dengan ramah menjelaskan hal-hl yang ada dalam PIG, termasuk timah, sumber daya alam bumi Belitiung yang sudah diexploitasi selama kurang lebih 100 tahun. Sejak zaman kependudukan Belanda, timah Belitung dieksploitasi untuk kebutuhan persenjataan terutama pembuatan peluru. Proses pengambilannya mulai dari cara tradisional yang dikenal dengan ngelimbang, hingga cara yang modern kala itu.

Pusat Informasi Geologi Pulau Belitung

Selain timah, Belitung juga memiliki batu satam atau yang juga dikenal dengan batu meteorit. Ia tersebar di beberapa tempat di pulau ini. Nama satam diberi oleh penambang dari Cina, sa berarti batu, tam berarti empedu, batu satam memang memiliki ukuran yang cenderung kecil dan berwarna hitam, seperti empedu.

Selain unsur-unsur geologi, PIG juga menampilkan ragam potensi yang lain dari bumi Belitung, termasuk flora dan fauna dan lokasi-lokasi situs geopark Belitong. Yang saya notice adalah tarsius Belitong, masyarakat Belitung menyebutnya dengan pelile'an. Primata kecil yang jadi ikon dari Belitung ini, ternyata juga ada di Natuna. Yap, tarsius di Natuna baru ku dengar ceritanya dari seorang teman penggiat primata di Natuna, ditemukan di Pulau Subi dengan nama ilmiah Tarsius bancanus natunensis. Sebab nama ilmiahnya terdapat unsur Natuna, kemungkinan besar ia merupakan binatang endemik, seperti Kekah Natuna (Presbytis natunae).

Pelile'an atau Tarsius Belitung yang memiliki nama ilmiah Tarisus bancanus saltator ini adalah salah satu dari keragaman hayati di Belitong UGGp. Primata nokturnal ini bahkan ada dalam beberapa logo dan branding Belitong. Kesamaan yang kesekian kalinya antara Natuna dan Belitong ku dapati.


---bersambung---