Thursday, July 1, 2021

Pas Kapal, Cerita Rakyat, dan Berlayar: Perjalanan Mendampingi Tim Kemendikbudristek (4)

Alhamdulillah, kami dapati solusi atas masalah yang barusan terjadi. Kami bisa ke Pulau Sedanau dengan menaiki kapal yang biasa digunakan oleh masyarakat Midai untuk transportasi ke ibukota Kabupaten. Dengan begitu, penelitian masih bisa berlanjut. Gasss pol!

Urus administrasi dulu

Sebelum melanjutkan penelitian, kami membereskan segala hal terkait administrasi keberangkatan terlebih dahulu, mulai dari memastikan kesiapan kapal beserta kapten dan kru-krunya, hingga urusan ke-covid-an. Setelah semuanya dirasa beres. Penelitian kami lanjutkan, kali ini menuju ke Kecamatan Suak Midai untuk menemui narasumber dari seni tradisi lisan Pas Kapal.

Pas Kapal merupakan seni tradisi lisan dari Natuna, beberapa sumber menceritakan, ia bermula dari Pulau Laut yang kemudian menyebar ke pulau-pulau lain di sekitaran pulau Bunguran termasuk hingga ke Midai. Pas Kapal ini merupakan lantunan syair, sama halnya seperti tepung tawar. 

Di kediaman pak Bachtiar

Pas Kapal berarti surat ijin berlayar bagi kapal-kapal yang akan meninggalkan suatu dermaga. Tradisi ini kerap ditampilkan pada acara khotaman Quran dan acara pernikahan. Ciri khas dari Pas Kapal ini adalah adanya miniatur kapal yang berisi beragam souvenir di dalamnya baik barang maupun makanan. 

Pas Kapal, jika ia ada di acara pernikahan, maka profil pengantin yang dibacakan. Jika ia berada di acara khotaman quran, maka para peserta khatam yang akan dijabarkan satu persatu dalam syair yang dibuat. Baik pengantin dan para peserta khotaman diibaratkan sebagai penumpang sebuah kapal yang akan "berlayar" lalu diberi nasehat serta do'a. Jadi, syair-syair yang dilantunkan bak surat ijin untuk kapal (miniatur kapal) yang berisi makanan/souvenir yang mewakili para penumpang. Setelah syair-syair yang berisi nasehat serta doa dibacakan, maka kapal sudah boleh "berlayar".

Bapak Bachtiar sedang membacakan syair Pas Kapal

Sedikit bercerita tentang seni tradisi ini. Saya pribadi baru-baru ini saja mengenal seni tradisi Pas Kapal ini. Sebelumnya, saya hanya mengetahui syair gurindam yang begitu mendunianya. Ternyata di tempat kami, ada seni tradisi lisan yang hampir serupa, namun sedikit terlupakan. Saya tidak tahu apa status dari seni tradisi Pas Kapal ini, yang jelas di Natuna hanya beberapa orang saja pelantunnya. Jadi pelestarian dari seni tradisi ini kiranya menjadi tugas kita bersama.

Pak Bachtiar, nama sang maestro Pas Kapal ini menyampaikan, bahwa pembuatan lirik syair Pas Kapal harus dalam suasana tenang dengan fikiran yang jernih. Biasanya ini dilakukan diwaktu sepertiga malam dan subuh. Sebab memadupadankan kata-kata agar pas dengan irama syair bukanlah hal yang mudah. Dalam satu bait harus memiliki rima yang seragam. Tujuannya agar enak didengar dan membekas di telinga para pendengar. Biasanya pak Bachtiar akan membuat syair pas Kapal pada saat H-2 minggu acara, sambil-sambil mengumpulkan data, berupa profil para "calon penumpangnya".

Data dari pak Bachtiar, sang maestro Pas Kapal ini dirasa sudah cukup. Tak lupa kami mengambil dokumentasi, bukan untuk ajang narsis, namun juga sebagai bukti dan laporan yang harus dilaporkan kelak. Kemudian kami melanjutkan perjalanan.

Aslinya emang mau narsis, alibinya dokumentasi kegiatan. Cekrek

Sebelum menuju ke kediaman narasumber terakhir, kami makan siang sejenak di rumah keponakan saya. Dari tadi pagi dia sudah mengirim pesan WA, agar siang ini makan di tempat mereka. Yah, begitulah Midai, warganya ramah-ramah dalam melayani tamu, paling sibuk jika kerabat jauh datang berkunjung. Alhamdulillah. Perut terisi, energi pulit kembali, lanjut lagi meneliti.

Narasumber terakhir yang kami datangi adalah Bapak Syamsu Bastian. Beliau yang bekerja di SMP Negeri 1 Midai ini adalah pecinta sejarah, dan suka mengumpulkan cerita-cerita rakyat dan kisah tentang Midai masa lalu. Semuanya beliau tulis dan kumpulkan dalam sebuah buku catatan. Kediaman beliau tak jauh dari tempat kami menginap. 

Disini kami diceritakan banyak hal mengenai Midai, terutama tentang asal masjid Az-Zuriyat yang terletak di Kecamatan Suak Midai. Juga mengenai syair tentang masjid tersebut. Kami juga diberikan draft naskah buku yang berisi asal nama-nama tempat di Pulau Midai dan penggalan-penggalan sejarah, mulai dari zaman penjajahan hingga kekinian.

Di kediaman Bapak Syamsu Bastian

Setelah selesai mewancarai, kami kembali ke penginapan. Istirahat sejenak, lalu bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan malam ini. Menuju Pulau Sedanau.

Kapal yang kami tumpangi sudah standby di pelabuhan rakyat, pelabuhan yang dulu menjadi saksi bisu sibuknya pulau ini dengan kegiatan ekspor impor hasil bumi pulau Midai. Saksi bisu besarnya perusahaan Ahmadi dan Co dalam mengelola hasil bumi hingga menarik perhatian Wakil Presiden Muhammad Hatta kala itu. Yang kini sejarah kebesarannya hanya bisa dinikmati dalam catatan, pun jika tidak dikenalkan, ia akan terlupa dengan sendirinya, dengan cepat.

Kru kapal memanggil kami, diminta untuk bersiap-siap karena kapal akan segera lepas sauh. Kami memasuki kapal yang ukurannya lumayan besar tersebut. Biasanya akan ramai penumpang dari Midai yang ikut. Namun karena kapal ini baru saja dari Selat Lampa tadi pagi, maka warga yang ikut yang sedikit saja, hanya 4 orang. Total manifest tidak lebih dari 20 orang. Serasa kapal pribadi saja malam itu.

Suasana di dalam kapal, sebelum berlayar.

Tengah malam, kapal lepas sauh. Berlayar, menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Menuju Pulau Sedanau, Kecamatan Bunguran Barat.


-------------




No comments:

Post a Comment