Friday, July 2, 2021

Catatan Perjalanan Mendampingi Tim Kemendikbudristek (5): Bunguran Barat, Mendu, Keminik dan Ketam Lada Hitam

Laut sedikit bergelombang ketika perjalanan baru berjalan sekitar 30 menit dari pelabuhan. Hal ini sempat membuat khawatir, namun kapten yang membawa kami ini merupakan "kapten tangguh" yang sangat direkomendasikan masyarakat Midai, jadi hal tadi tidak begitu kami hiraukan. Dan untuk menghilangkan mabuk laut, kami siasati dengan tidur saja, karena sudahpun larut malam, juga badan terasa letih setelah "melalak" seharian. 

Menjelang subuh saya terbangun, rupanya kapal yang kami tumpangi sudah memasuki perairan Pulau Tiga. Air tenang, kapal tak "segoyang" saat awal keberangkatan tadi malam. Sang kapten mengurangi laju kapal. Mungkin agar gampang menghindari karang-karang. Setelah membasuh muka, rasa kantuk menjadi hilang, saya memutuskan untuk naik ke atap kapal, duduk-duduk sambil hunting sunrise

Sunrise laut Sedanau

Saya juga membangunkan Tenggut, bang Jef, dan Bunit untuk ikut bersama-sama nangkring di atas kapal, menikmati sunsire di atas laut Bunguran Barat yang begitu menebarkan aura positif dan semangat. Cocok untuk memulai hari melanjutkan penelitian ini. Uhyey!

Kapal yang kami tumpangi sudah merapat di dermaga Sedanau, sebuah kota terapung besar yang ada di Natuna. Kami naik ke pelabuhan, istirahat dan sarapan mengisi perut yang selama 7 jam ini dikocok air laut. Setelah sarapan dan sedikit berkoordinasi, kami mulai bergerak. Kali ini tujuannya adalah bertemu dengan pelakon seni Mendu.

Cekrek dulu sama kapten kapal kece ini.

Mendu merupakan salah satu tradisi lisan yang saat ini masih terjaga. Mendu merupakan teater yang sudah dimainkan sejak zaman dulu. Beberapa sumber menyebutkan Pulau Laut merupakan awal mula kesenian Mendi di Natuna. Lebih jauh lagi, sepertinya mendu ini berasal dari negeri Thailand, karena dalam naskah cerita terdapat adegan seekor gajah putih, dimana hewan tersebut sangat banyak terdapat di negeri tersebut.

Bapak Abdul Gani, adalah narasumber kami kali ini. Kami bertemu dengan beliau di kantor UKSPF Bunguran Barat. Beliau merupakan salah satu pelakon mendu yang ada di Sedanau. Berlakon mendu ini sudah ia lakoni sejak muda dan sampai saat ini masih dilestarikan dengan mengajarkan pada generasi muda pula. Pak Ghani menceritakan banyak hal mengenai mendu, dan itu semua terekam dalam recorder yang memang sudah disiapkan sejak awal. Setelah dirasa cukup dalam mengumpulkan data, kami pamit untuk melanjutkan penelitian ke tempat berikutnya : Desa Mekar Jaya.

Proses wawancara dengan narasumber

Cek Gu Ahdiani sudah menunggu di pelabuhan Sedanau. Selain memang karena ada urusan, dia memang sudah kami beritahu bahwa kami akan ke Desa Mekar Jaya dari Sedanau. Yap, Cek Gu Ahdiani merupakan pemuda penggerak di Desa Mekar Jaya, desa yang akan jadi lokasi penelitian selanjutnya. Dari beliau inilah banyak info-info yang kami dapati seputar desa. Dan kali ini kami naik perahu cepatnya dari Sedanau menuju Desa Mekar Jaya.

Perjalanannya memakan waktu sekitar 20 menit, perahu cepat milik Cek Gu Ahdiani memang cepat, melaju membelah lautan Bunguran Barat, melewati Pulau Kembong, Pulau Sunguos dan Pulau Semaghong, lalu masuk ke sungai Aek Botang dan berlabuh di dermaga Mekar Jaya Mangrove Park. Sebelum melanjutkan penelitian, kami membawa para peneliti ini untuk menikmati mangrove terlebih dahulu, lalu istirahat makan siang dengan lauk ketam bakau lada hitam yang luar biasa lezatnya. 

Perjalanan Sedanau - Aek Botang

Setelah energi kembali, barulah kami lanjut ke acara inti. Menemui narasumber untuk mendapati beberapa data mengenai tradisi lisan. Kali ini kami menuju dusun Sebuton, tempat dimana narasumber berada. Tradisi lisan yang dimaksud adalah 'buong keminik'. Keminik merupakan "kita" dalam versi lain. Buong Keminik berarti membuang penyakit/sial melalui "perantara". Perantara ini biasanya berupa hewan yang dipercayai sebagai jelmaan/reinkarnasi dari datuk-datuk mereka. Dalam ritualnya, ada beberapa mantra yang harus dibacakan. Tradisi buong keminik ini sudah ada sejak lama di Desa Mekar Jaya, di tempat lain di Natuna seperti di Pulau Tiga juga memiliki tradisi yang hampir sama.

Mewawancarai narasumber 'buong keminik'

Data dirasa sudah cukup kami dapatkan, perutpun sudah penuh dengan ketam lada hitam, sempena dengan matahari yang beranjak di ufuk barat, kami pamit pulang kembali ke Ranai. Data yang ada sekiranya sudah cukup kami kumpulkan untuk nanti akan diolah kembali oleh para peneliti ini lalu akan dibuat rencana tindak lanjutnya, begitulah kira-kira.

------

  

No comments:

Post a Comment