Sunday, June 27, 2021

Perjalanan Mendampingi Tim Kemdikbudristek (2) : "Tanah" Jawa di Bumi Melayu

Awal hari di akhir pekan ini saya mulai dengan mengisi perut, sarapan roti selai coklat dilengkapi secangkir kopi di lobby Natuna Dive Resort. Resort dimana tim Badan Bahasa Kemendikbudristek ini bermalam. Roti coklat selalu jadi pilihan utama bagi saya ketika dihadapkan dengan berbagai pilihan sarapan di hotel. Sementara kopi, ia menjadi "doping" saya untuk menemani tim yang akan mewancarai para narasumber dan kemungkinan berlangsung saghi tumbes (seharian penuh) ini.

Menurut jadwal, hari ini kami akan menuju wilayah yang berada di tengah-tengah pulau Bunguran. Tepatnya kecamatan Bunguran Tengah, satu-satunya kecamatan di Kabupaten Natuna yang tidak memiliki pantai. Sedikit bercerita kembali ke tadi malam. Dalam perjalanan pulang dari Kelarik, ban mobil yang kami kendarai bocor tepat di desa Air Lengit. Kami istirahat di masjid desa sembari menunggu ban diperbaiki. Kemudian, sebelum pulang, kami singgah di kediaman bapak Kepala Desa Air Lengit untuk membuat janji untuk mewancarai beliau dan beberapa tokoh desa esok harinya. Alhamdulillah, pak Kades, yang ternyata senior saya di IPMKN Jogja bisa ditemui dan mengiyakan untuk bertemu esok hari, hari ini.

Perjalanan kami mulai dari hotel sekira pukul 8 pagi, berjalan santai menuju tengah pulau. Melewati perbukitan dan perkebunan karet milik masyarakat. Kami tiba di Desa Air Lengit sekitar pukul 9 lewat, bersilaturahmi sejenak sambil menunggu warga lain datang. Wawancara kami mulai sekira jam 10an pagi.

Wawancara Narasumber

Kecamatan Bunguran Tengah, dahulu merupakan pemekaran dari kecamatan induk Bunguran Timur. Daerah ini diisi oleh ratusan transmigran pada program transmigrasi besar-besar pada tahun 1980an lalu. Rata-rata datang dari wilayah Jawa Tengah, sedikit Jawa Timur, dan sedikit lagi dari Jawa Barat. Tim Badan Bahasa mewancarai para tokoh di desa ini untuk mengetahui apakah ada pengaruh bahasa lokal terhadap bahasa asal mereka setelah berpuluh-puluh tahun tinggal di negeri melayu, pulau Bunguran ini.

Berbagai pertanyaan ditanyakan. Dan dari banyak yang saya dengar, tidak banyak perubahan yang terjadi dari bahasa asal mereka (Jawa Timur dan Jawa Tengah), meskipun sudah lama tinggal di Natuna. Pun terhadap kebudayaan, mereka beradaptasi, menyesuaikan dengan kearifan lokal yang berlaku. Hidup harmonis sejak dulu.

Bareng narasumber

Diakhir wawancara, para peneliti menanyakan sedikit sejarah tentang desa maupun asal usul namanya. Hal ini juga mereka lakukan kemarin saat mewancarai narasumber di Kelarik. Pak Kepala Desa Air Lengit menjelaskan bahwa, nama Air Lengit berasal dari sebuah danau kecil yang banyak terdapat nyamuk. Nyamuk dalam bahasa Ranai disebut dengan Ngiet atau Rengit

Ada keunikan lagi dari nama Air Lengit ini, sungai dimana banyak terdapat nyamuk yang menjadi asal penamaan nama Desa Air Lengit itu, terletak di wilayah administrasi Desa Tapau. Sementara di Desa Air Lengit mengalir sungai dan bendungan yang disebut dengan Sungai dan Bendungan Tapau.

Setelah dari Desa Air Lengit, kami seharusnya menuju ke Desa Tapau, namun Kadesnya tidak bisa ditemui, kemungkinan karena terlalu lama menunggu kami saat istirahat siang, jadi beliau kira tidak jadi dan melanjutkan ke kegiatan beliau selanjutnya. Perjalanan kami lanjutkan ke Desa Harapan Jaya. Wawancara kami lakukan di rumah pak Kadesnya, yang ternyata juga senior saya di IPMKN Jogja dulu.

Wawancara warga dan kepala Desa Harapan Jaya

Sama seperti Desa Air Lengit, Desa Harapan Jaya yang dahulu disebut dengan Raharja Pura ini juga merupakan wilayah transmigrasi. Wilayah ini oleh masyarakat Ranai sering disebut dengan Teran yang berasal dari Transmigrasi, ada juga yang menyebutnya SP 1 (Satuan Pemukiman 1). Kemungkinan besar area ini yang pertama kali di tempati para transmigran dahulu, sebelum ke SP 2 (Desa Tapau), dan SP 3 (Desa Air Lengit). 

Desa Harapan Jaya juga banyak dihuni oleh masyarakat dari Jawa tengah dan Jawa Timur. Dari hasil wawancara yang saya dengar, tidak ada perubahan kata yang berarti dalam percakapan sehari-hari mereka yang berubah. Masyarakat Desa Harapan Jaya juga teguh memegang tradisi kebudayaan tempat asal mereka. Berbaur dengan warga lokal, hidup berdampingan, rukun, dan harmonis.

Hari sudah petang, ketika sudah masuk dalam sesi akhir wawancara. Kami pamit pulang, menuju kembali ke hotel. Namun sebelumnya atas permintaan tim, kami singgah ke rumah saya terlebih dahulu, "bekerja" lagi dengan mewancarai Pak Cik saya dari Midai yang kebetulan sedang berada di Ranai. Mereka terangat ingin mewancarai orang Midai, sebab menurut data yang mereka miliki, Pulau Midai selain dihuni orang melayu, juga banyak terdapat orang-orang dari Riau daratan, terutama Kampar dan Taluk Kuantan. Mereka ingin mengetahui apakah ada kosa kata baru akibat percampuran dua suku dan bahasa yang berbeda, atau adakah kata yang hilang, dan lain sebagainya.

Wawancara dengan Pak Cik dan Yah Ndok (Pak Cik dan Yah Ndok merupakan kata ganti untuk paman dalam bahasa melayu) berlangsung hingga sore hari. Setelah dirasa data cukup untuk didapat, kami pamit pulang, dan saya mengantarkan mereka ke resort untuk istirahat.

Bonus.......


1 comment: