Tuesday, October 11, 2022

Perkembangan Tenis di Indonesia Pasca Kemerdekaan: Cerita Tenis Lapangan

Lahirnya PELTI pada tahun 1935 merupakan salah satu "trik" pribumi dalam menghimpun masa untuk mencapai tujuan: kemerdekaan. Tahun-tahun awalnya diselimuti berbagai cobaan, mulai dari sistem organisasi, keanggotaan hingga intervensi dari "saudara tirinya" De Alegemeene Nederlandsche Lawn Tennis Bond (ANILTB). Namun hal tersebut bisa dilewati oleh PELTI, dan tenis terus mengalami perkembangan di tanah air.

Kurun waktu 1941-1949 merupakan tahun dimana PELTI vakum tak bergerak. Keadaan ini bukan hanya pada PELTI saja, hampir seluruh organisasi masa dan organisasi olahraga pada saat itu tidak aktif dalam pergerakannya. Tahun 1941 kolonial Belanda disibukkan dengan perang dunia kedua yang mulai memasuki area-area jajahannya. Tahun 1942-1945 tanah air disibukkan dengan penjajahan Jepang, penajajah dari Asia ini membubarkan semua organisasi dan membuat organisasi baru di bawah pengawasannya yaitu Tai Iku Kai (Persaudaraan Nippon-Indonesia), dimana organisasi ini membawahi semua sektor dan bidang yang ada, mulai dari sosial, politik, hingga olahraga.

Pada masa ini, Tai Iku Kai sempat dua kali menyelenggarakan turnamen tenis. Sementara kejuaraan tenis yang diinisiasikan oleh klub tenis lokal pun tersendat dikarenakan pasokan bola dan peralatan lain yang tidak memadai dan ditambahkan kesulitan ekonomi yang teramat sangat pada waktu itu. Pribumi pernah menginisiasikan Pembentukan Gerakan Latihan Olah Raga Rakyat (Gelora) pada ambang keruntuhan Jepang, tahun 1944, sebagai ganti Tai Iku Kai. Namun itu tak banyak menolong, pengaruh Jepang masih ada, berimbas pada tersendatnya perkembangan atlet-atlet tenis tanah air. 

Setelah Indonesia merdeka pada 1945, perkembangan tenis di tanah airpun belum menampakkan eksistensinya. Ini dikarenakan tahun-tahun tersebut disibukkan dengan beberapa gerakan perjuangan mempertahankan kemerdekaan setelah republik ini baru lahir.

Kegiatan olahraga mulai dibangkitkan pada 1947, dengan berlangsungnya Kongres Olahraga pada januari tahun itu. Salah satu keputusannya adalah: Gclora (pengganti Tai Iku Kai) warisan Jepang dibubarkan, dan Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) dinyatakan berdiri. Seluruh induk kegiatan olahraga, seperti PSSI, PAST (atletik), dan PELTI, dihidupkan kembali dan ditetapkan sebagai anggota otonom PORI. (PORI pada hakekatnya nama baru bagi Ikatan Sport Indonesia (ISI) yang berdiri tahun 1938, dan sekarang dikenal dengan KONI: Komite Olahraga Nasional Indonesia).

Pembukaan PON I di SOlo (foto: ANRI)

Tahun berikutnya, 1948, berlangsung Pekan Olahraga Nasional (PON) I, di Solo. Tenis termasuk cabang olahraga yang dipertandingkan. Meski PON pertama ini tak sempat menghadirkan sejumlah pemain tenis kawakan, tapi peristiwa tersebut merupakan titik tolak bangkitnya rasa kebersamaan dan persatuan, khususnya di kalangan olahragawan, termasuk di antara para petenis. Pertandingan tennis PON I menampilkan Toto Soetarjo dan Nyonya Soedomo sebagai juara tunggal putra dan putri. Sedang ganda putra dan campuran masing-masing direbut oleh pasangan Soejono/Toto Soetarjo dan Mapaliey/Nyonya Soedomo.

Di masa setelah proklamasi itu, Belanda masih ingin menanamkan pengaruhnya lewat tennis, tentu di daerah-daerah yang didudukinya. Mereka mendirikan organisasi baru yang Indonesian Lawn Tennis Association (ILTA). Sempat menyelenggarakan "Kejuaraan Indonesia" pada 1950 yang menjadi kejuaraan ILTA yang pertama dan terkahir. Dalam Kongres PELTI tahun 1951, ILTA meleburkan diri ke dalam PELTI. Rembukan peleburan itu dilakukan pada kesempatan berlangsungnya Kejuaraan PELTI di Semarang, 23 - 26 Maret 1951. 

Meleburnya ILTA ke dalam PELTI jelas lebih menguatkan tubuh pertenisan Indonesia. Sambil mengubah AD-ART sesuai dengan perkembangan zaman, PELTI mulai melebarkan sayapnya ke luar dengan mendaftarkan diri sebagai anggota International Lawn Tennis Federation (ILTF), yang bermarkas di Inggris.

PELTI mulai mengintip Wimbledon pada 1953, namun sayang petenis andalan Indonesia harus gugur pada putaran kedua saat menghadapi Belgia. Pada 1956 PELTI ikut serta diajang Interport Championship di Singapura. Pada kejuaraan yang diikuti pula oleh Malaya (sekarang Malaysia), Muangthai, dan Sri Langka itu, Indonesia menjadi juara setelah menundukkan Sri Langka 2-1 di final. Kejuaraan serupa berlangsung pada 1957, kali ini diikuti enam negara, 4 negara yang sudah pernah ikut sebelumya ditambah Hongkong dan Vietnam. Indonesia kembali menjadi juara dengan mengalahkan Malaysia di final dengan skor 2-1. Tahun-tahun berikutnya Indonesia absen, karena kesulitan biaya.

Tahun 1958 PELTI mengutus pemain-pemain terbaiknya untuk berlaga di Asian Games yang berlangsung di Tokyo. Kala itu PELTI mengirimkan Ny. Tity Pandji (Bandung), Vonny Djoa (Salatiga), serta Soegiarto dan Sie Kong Loen (Bandung).

PELTI telah melalui berbagai perkembangan zaman, Mulai dari masa kolonial hingga pasca kemerdekaan. Narmun dua yang paling penting diantaranya adalah keherhasilan menghancurkan dua organisasi tandingan. Pertama, ANILTB -yang paling bahaya- pada 1939, dan kemudian ILTA pada 1951. Maka sikap pantang menyerah yang menyertai keberhasilan itu tampaknya telah menjadi semboyan PELTI: Pantang Surut.

Tan Liep Tjiaw (kiri) (sumber: ayobandung)

Untuk pertama kalinya, pada 1961 PELTI mengikuti turnamen antarnegara paling gengsi, yakni Piala Davis. Pada babak pertama yang berlangsung di Bandung, regu Indonesia yang mengandalkan Tan Liep Tjiauw, Itjas Sumarna, Sugiarto, dan Sie Kong Loen harus menghadapi regu India yang terkenal tangguh. Maka Tan dan kawan kawan harus menelan kekalahan 1-4 dari para pemain kelas dunia India yang terdiri dari Krisnan, Mukerjee, dan Lill. Pertarungan memperebutkan Piala Davis beberapa tahun berikutnya Indonesia absen, antaranya karena tersandung anggaran.

Tahun-tahun berikutnya PELTI memang berada dalam masa-masa sulit dengan alasan sangat klasik: anggaran. Berbagai turnamen diselenggarakan seadanya. Kesejahteraan atletpun kurang diperhatikan. Ironisnya, pemerintah menyelenggarakan dua pesta olahraga yang bersifat regional dan internasional. Pertama, Asian Games IV, 24 Agustus - 3 September 1962, di Jakarta. Kedua, Ganefo I, 10-21 November 1963 juga di Jakarta. Yang paling kontroversial adalah Komando Presiden Soekarno (Putusan Presiden No. 263 tahun 1963) tentang peningkatan prestasi para atlet sehingga dalam masa 10 tahun Indonesia mampu mencapai peringkat ke-10 di dunia (the best ten in the world).

Asian Games IV dan Ganefo I

Dalam Pesta Olah Raga Asia (Asian Games) IV di Jakarta, regu tenis Indonesia juga kurang berhasil. Cabang Tenis hanya mampu menyumbang medali perunggu di nomor beregu, tunggal putri, dan ganda campura. Pun begitu juga dalam ajang Ganefo I, yang lebih bersifat manuver politik ketimbang kegiatan olahraga, atlet-atlet tenis Indonesia hanya bisa membawa pulang perunggu di nomor regu putra dan putri.

Pada saat berlangsung Genefo inilah Tan Liep Tjiauw sang raja tumamen nasional, meninggal dunia secara mendadak. PELTI terhenyak oleh kehilangan petenis yang terkenal dengan drive forehand topspin yang mematikan ini.

Namun, dalam keadaan bagaimana pun, PELTI rupa-rupanya benar-benar pantang surut. Justru dalam masa sulit ini lahir sejumlah bintang remaja lahir, mereka diantaranya Sie Nie Sie, Sugiarto, Go Soen Liouw, Diko Moerdono (putra), Lita Liem, Lanny Kaligis, dan Dien Baroto (putri). Merekalah yang waktu itu diharapkan menjadi cikal bakal petennis Indonesia di kemudian hari. 

Lanny Kaligis

PELTI mencapai masa keemasannya pada kurun 1966-1987, sebagai hasil pembinaan yang dilakukan pada era 1961-1965, baik dari segi organisasi maupun prestasi di lapangan. Ditopang oleh keberhasilan pcmbangunan sejak Orde Baru berkuasa, tenis lapangan dan PELTI sudah mencapai ke pelosok yang terjauh dari awalnya perkembangannya di Jawa. Semakin banyak lahir para petenis dari luar Jawa dimana itu merupakan hal yang langka di masa penjajahan dan awal kemerdekaan. Hal itu bisa dilihat melalui ajang PON dihelat pemerintah Indonesia. Di sinilah pentingnya peran PON, yang dicetuskan pertama kali di Solo, 1948.

Pada PON-PON berikutnya -dari PON II di Jakarta, 1951, hingga PON XI di Jakarta 1985 (kecuali PON VI di Jakarta yang gagal karena meletusnya G30S/PKI 1965)- dominasi petenis dari Jawa memang terlihat. Namun dalam jangka waktu itu, rangkaian PON telah menampilkan sejumlah petenis luar Jawa yang berkualitas. Misalnya Sofyan Mudjirat, Suwito dan Chr. Budiman (Suma­tera Utara), Iskandar Kita dan Ilsyas Mapakaya (Sulawesi Selatan), Alex Karamoy, Eddy Baculu dan Alfred Raturangtang (Sulawesi Utara). Ini di kelompok putra. Di kelornpok putri, tercatat nama Ny. Sulastri (Kalimantan Selatan), Letsy Mantiri (Sulawesi Selatan), dan Yova Sumampou (Sulawesi Utara).

Semua keberhasilan ini tentunya dimungkinkan karena tersedianya sarana dan prasarana bagi peningkatan prestasi, yaitu terselanggaranya pertandingan secara teratur. Berbagai jenis pertandingan yang diadakan itu terdiri dari pertandingan antarpetenis atau antarklub dari jenjang paling bawah, meningkat ke antar wilayah, Ialu berlanjut ke tingkat nasional, dan kemudian di tingkat regional dan internasional. Kegiatan pertandingan menjadi kian padat, karena berbagai event tingkat junior pun mulai tampil ke permukaan. Inilah yang disebut keberhasilan di bidang organisasi.

Ditingkat Internasional, pada masa 1966-1987 ini tenis Indonesia mencatat berbagai prestasi yang membanggakan. Era inilah Indonesia berhasil menjadikan dirinya salah satu dari 4 besar bersama India, Korea Selatan, dan Cina.

Dalam lingkup Regional, awal era emas mulai dicanangkan oleh petenis putri Lanny Kaligis, Liem, dan Mien Suhadi di Asian Games 1966, Bangkok, Muangthai. Para Srikandi generasi baru pertenisan Indonesia itu menyabet emas di nomor beregu, di samping tunggal dan ganda putri masing-masing atas nama Lanny Kaligis dan Lanny Kaligis/Lita Liem. Prestasi juga diraih diberbagai kejuaraan nasional di Srilangka. Malaysia, dan Singapura. Berikutnya disejumlah kejuaraan regional dan nasional di Australia, Eropa dan Australia, dijadikan wadah peningkatan prestasi dan raihan pengalaman.

Lita Sugiarto (tengah), (sumber)

Pada 1969 para Srikandi Tenis Indonesia ini ikut serta ke Turnamen Womens's Federation Cup di Athena, Yunani. Di babak pertama mereka mencukur gandul 3-0 regu tuan rumah kendati kemudian diganyang sama telaknya oleh regu Belanda. Dan pada 1970 tim tenis Putri Indonesia juga gugur ketika bertanding di Feiburg, Jerman.

Dalam kurun 1970an, tepatnya pada masalah keorganisasian, terjadi perubahan nama pada organisasi induk tenis sedunia. Tahun 1977 International Lawn Tennis Association (ILTF) merubah namanya dengan menghilangkan kata "lawn" dengan pertimbangan perkembangan tenis sudah sedemikian pesatnya sehingga permainan tenis tak hanya dimainkan di lapangan rumput saja. Hal tersebut juga berimbas pad PELTI, namun tak begitu signifikan. PELTI hanya merubah kepanjangannya dari Persatua Lawn Tennis Indonesia, menjadi Persatuan Tenis Lapangan Indonesia. Alasan mengubah kepanjangan federasi dengan tetap menggunakan singkatan PELTI adalah untuk menjaga nilai historis yang sudah berlangsung sejak masa-masa awal pembentukannya.

Ketika prestasi Lita Liem alias (Nyonya) Lita Sugiarto dan rekan-rekan mulai terkesan menurun, para petenis putra Indonesia bagai terlecut. Dan ini mendorong mereka mencetak prestasi. Kuartet Atet Wiyono, Gondowijoyo, Hadiman, dan Yustejo Tarik (putra tokoh tua Mohammad Yusuf Tarik) berhasil dengan baik meneruskan tradisi emas di Asian Games  VIII tahun 1978 di Bangkok, Muangthai. Di sini mereka merebut seluruh medali emas yang diperebutkan pada cabang tenis bagian putra, untuk nomor beregu. tunggal (Atlet Wiyono), ganda (Atet Wiyono/Gondowijoyo).

Tim Tenis Indonesia saat memborong semua emas di Asian Games VIII Bangkok (sumber)

Pun pada Asian Games berikutnya, 1982, di New Delhi, India, para putra Indonesia masih memperlihatkan keunggulannya. Pada kesempatan kali ini, mereka merebut dua medali emas di nomor beregu (Yustedjo Tarik, Tintus Wibowo, Hadiman, Wailan Walalangi) dan partai tunggal (Yustedjo Tarik).

Tradisi medali emas dan juara masih dipegang cabang olahraga tenis tanah air di beberapa ajang, baik regional maupun internasional. Asian Games, Sea Games, Federasi Cup hingga Davis Cup. Ada dua catatan penting dari era keemasan tenis Indonesia ini. Pertama, keberhasilan regu Piala Davis Indonesia dalam final Zona Timur yang berlangsung di Senayan, Jakarta. Terdiri dari Yustedjo Tarik, Atet Wiyono, Tintus A.W, Hadiman, dan Wailan Walalangi. Anak-anak PELTI itu menghancurkan regu I Jepang dengan telak : 5-0. Keberhasilan Ini tak urung menempatkan Indonesia sebagai negara elite tennis, masuk jajaran 16 negara tenis dunia. Ini berarti sejajar dengan raksasa tennis dunia: Amerika Serikat, Swedia, Australia, India, Prancis, dan sebagainya.

Tim Davis Cup Indonesia (sumber: ayotenis)

Peristiwa penting kedua yang juga harus dicatat dengan tinta emas adalah, keberhasilan petenis Indonesia di SEA Games 1987 di Jakarta. Regu Indonesia (Tintus A.W, Wailan Walalangi, Suhayadi, Abd. Kahar MIM, serta Suzanna Anggarkusuma, Yayuk Basuki, Agustina,Wibisono dan Tanya Soemarno) berjaya menyapu bersih seluruh tujuh mendali emas yang diperebutkan - sapu bersih seluruh tujuh emas yang pertama dalam sejarah SEA Games. Melengkapi prestasi ini, Tintus membukukan pula dua kali juara SEA Games (Bangkok dan Jakarta), sedang Yayuk Basuki (17 tahun waktu itu) mencetak rekor sebagai juara termuda sepanjang riwayat Sea Games.

Pada ajang Federasi Cup di Montreal, Kanada, regu putri kita yang tcrdiri dari Suzanna Anggarkusuma, Yayuk Basuki, dan Waya Walalangi, berhasil menempatkan diri di babak perempat final. Sukses ini mcnghasilkan jatah "tiket" untuk satu pemain di cabang tennis Olimpiade 1988 di Seoul, Korea Selatan.

Suzzana dan Yayuk (sumber)

Indonesia semakin menampakkan taringnya pada cabang tenis. PELTI membidik Grand Slam Tour Junior yang mana pada Rolland Garros, Yayuk Basuki sampai ke perdelapan final. Dan di Kejuaraan Junior Belgia (Grup 2 ITF), Yayuk Basuki berhasil menjadi juara tunggal putri.

Tenis Junior Indonesia selanjutnya diarahkan ke Wimbledon, yang telah lama menjadi kiblat para petenis dunia. Yayuk Basuki, yang terkirim, di babak pertama mengalahkan petenis utama Amerika Nicola Arent yang diunggulkan di tempat ke-l0 dengan skor 7-6 (9-7), 6-1. Sayang, pada penampilan berikutnya, Yayuk terjegal petenis muda dari Uni Soviet berperingkat dunia WTA.

Dari beberapa prestasi dan beberapa perjalanan sejarah yang bisa diketahui. Maka dapat disimpulkan bahwa meningkatnya prestasi petenis tanah air tak lepas dari sarana dan prasarana pendukung. Meski sempat didominasi oleh petenis Jawa, ajang PON telah membuka mata bahwa sumber daya manusia Indonesia ini sangat besar. Petenis-petenis tangguh tanah air banyak lahir dari berbagai tempat di nusantara yang telah ikut serta mewarnai dunia pertenisan tanah air.

Yayuk Basuki (sumber: instagram)

Tahun-tahun berikutnya tenis Indonesia tak lagi mengalami masa keemasan seperti dulu. Namun masih mempunyai nama yang patut diperhitungkan. Dewasa ini tenis sudah berkembang pesat bahkan hingga ke pelosok dan pulau-kecil. Semoga tenis Indonesia kembali berjaya dan bisa mengulangi masa keemasan yang pernah dicapai para legenda dulu.

 

 

 

 

Refrensi:
https://www.kompas.com/sports/read/2021/11/03/15400028/sejarah-tenis-lapangan--asal-usul-dan-awal-masuk-indonesia?page=all
https://kumparan.com/info-sport/itf-adalah-federasi-internasional-yang-menaungi-olahraga-apa-1xkk97xudlW/full
http://peltikrw.blogspot.com/2011/04/sejarah-pelti.html
https://towamatano.co.id/sejarah-singkat-persatuan-tenis-lapangan-seluruh-indonesia/

No comments:

Post a Comment