Monday, April 6, 2020

Midai, Setelah 6 Tahun

Mendengar ada info kapal yang akan ke Midai seketika memperbaiki mood yang beberapa waktu kemarin kurang nyaman. Jadi, aku langsung mengiyakan ajakan paman yang akan pulang ke Midai esok. Berhubung kerjaan sedang "stop" sementara. Memang dari dulu ingin balik ke Midai belum pernah kesampaian. Terkahir aku menginjakkan kaki disana saat libur kuliah pada ramadhan tahun 2014 lalu. Sudah 6 tahun tidak balik kampung, bagaimana dengan pulau itu sekarang? 

Misi pulang Midai kali ini juga ingin mengenalkan keluarga baruku dengan keluarga besar ku disana. Sejak menikah, mamanya jagoan belum pernah ke Midai dan si jagoan kecilku ini ingin sampai juga ke kampung nenek moyangnya di sana. Saya langsung packing barang, dan bersiap untuk berlayar besok, uhyey.
Packing

Perjalanan ke Midai kami mulai dari rumah menuju Pelabuhan Rakyat di Selat Lampa, lalu naik kapal menuju Midai. Ada banyak kapal menuju Midai, diantara yang biasa ditumpangi adalah KM Fisabilillah dari pemda, Kapal Nelayan "KKP" dari Kementrian Kelautan dan Perikanan RI, dan beberapa kapal milik juragan-juragan Midai. Perjalanan dari Selat Lampa menuju Midai biasa ditempuh dengan waktu tempuh kurang lebih 5-7 jam tergantung pada cuaca. 

Kapal yang kami tumpangi lepas jangkar pada pukul 7 pagi, lalu sampai di pelabuhan Midai pada pukul 1 siang. Alhamdulillah cuaca pagi ini cerah dan bersahabat, laut "bagai air dalam talam", begitu masyarakat Natuna mengistilahkan laut tenang tanpa gelombang. Kami sampai dengan selamat.
Suasana di pelabuhan WK, Midai

Midai, pulau kecil di selatan Pulau Bunguran ini berada tersendiri tanpa "teman". Pulau terdekat adalah pulau Timau, itupun tiga jam perjalanan dengan perahu mesin untuk mencapai kesana. Letak  pulau Midai ini juga strategis untuk wilayah Kabupaten Natuna, sehingga saya sendiri sedikit bingung untuk menyebut pulau Midai ini masuk dalam gugusan Pulau Bunguran (Natuna Besar) atau gugus Kepulauan Natuna Selatan.

Saat ini Midai terbagi menjadi dua kecamatan, Kecamatan Suak Midai yang merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Midai diresmikan pada april 2016 lalu. Sepertinya unik, satu pulau dengan luas kurang lebih 18 km persegi ini memiliki dua kecamatan, namun saya rasa bagus, untuk mempercepat pembangunan dan pemanfataan sumber daya manusia yang ada.

Tak banyak perubahan yang nampak menurut saya setelah 6 tahun Midai tak saya kunjungi. Midai dahulu dan sekarang masih sama, masih asri, masih alami. Sedikit hasil pembangunan nampak di pulau ini, seperti kantor-kantor pemerintahan yang terlihat lebih modern setelah renovasi, bangunan-bangunan hasil bantuan dari pemerintah pusat, semenisasi jalan, dan banyak lagi mulai terlihat, itu yang membedakannya. Namun bahkan, ada yang "mundur" ke belakang, seperti beberapa bangunan dan pelabuhan yang tak terurus dan terawat. Rumah-rumah yang rusak tak terawat karena ditinggal penghuninya. Sarana olahraga banyak dibangun untuk menyalurkan bakat-bakat para olahragawan Midai yang memang terkenal apik sejak dulu. 
Tugu Midai

Ohya, kafe-kafe kekinian serta kios-kios minuman hasil karya enterpreneur muda Midai mulai tampak, terutama di Kelurahan Sabang Barat, satu-satunya kelurahan di pulau ini dengan penduduk yang sangat banyak, hampir menyamai 5 desa yang ada di dua kecamatan di pulau ini. Bisa di bilang Sabang Barat merupakan "ibukota" pulau Midai, dimana perputaran ekonomi berpusat di sini.  

Orang-orang menyebutnya Kedai, salah satu daerah di Sabang Barat dimana pusat keramaian berada. Kantor Lurah, Pelabuhan Rakyat, Bank, Masjid, Kelenteng, hingga warung kopi berada di kawasan ini. Tugu Proklamasi masih berdiri tegak di depan kantor Lurah, tugu yang ikonik. Tugu yang menjadi penanda, pulau kecil ini berada di bawah NKRI.

Bangunan-bangunan di Kedai

Saya menyebut daerah Kedai ini sebagai "kote tue". Bangunan-bangunan kayu dua lantai berada di sisi kiri dan kanan jalan. Sebagian masih utuh dengan kayu asli dan ukiran khas zaman dulu, sebagian lagi hancur, bahkan hilang sama sekali diganti semen dan besi.

Dahulu, di Kedai ini pernah berdiri perusahaan multinasional dijamannya, Ahmadi & Co, namanya. Ia merupakan gabungan syirkah-syirkah di Pulau Midai yang bekerjasama mengelola hasil bumi pulau ini untuk diekspor hingga keluar negeri. Midai menjadi pulau yang maju saat itu. Dulu. Sekarang tinggal bekas bangunan kantornya saja di dekat tugu Pemuda yang digunakan sebagai gudang.
Bekas Kantor Ahmadi & Co.

Kala senggang, saya mengelilingi pulau Midai bersama keluarga ketika sore hari. Dengan kendaraan bermotor, cukup 45 menit saja mengitari pulau ini. Melewati jalan utama di pesisir, terkadang juga kami memotong jalan dengan melewati gunung Jambat. Sekali lagi, tak banyak perubahan yang tampak di Midai. Masih tetap alami, dan asri. Pepohonan kelapa mendominasi pulau ini hingga ia menjadi komoditas utama pada masa kejayaan Ahmadi & Co dahulu. Kebun cengkeh milik warga akan mudah kita temui jika kita berseliweran jalan di gunung-gunung. Selain gunung Jambat, ada gunung Air Putih, Gunung Sebelat, Gunung Lampu, dan lain-lain. 

Ohya, saya sedikit yang saya catat ketika berada di sini. Adalah ramainya warga, terutama anak-muda yang nongkrong di pelabuhan ketika pagi dan sore hari. Bukan tanoa sebab, mereka ternyata mencari akses internet untuk kebutuhan "premier" mereka. Dan pelabuhan merupakan tempat "merdeka sinyal" di Midai. Begitulah, sejak dahulu, Midai memang agak susah untuk bidang komunikasi. Saat akses internet belum ada saja, orang-orang Midai susah untuk  menghubungi dan dihubungi lewat telepon selular biasa. Dan dijaman yang serba menggunakan akses internet seperti sekarang inipun demikian adanya.

Hmmmm satu lagi, selama saya di sana, ada satu yang saya fikir benar-benar hilang. Atau paling tidak, tidak saya temui selama beberapa hari berada di sana, yaitu gerobak sapi. Yap, dahulu saat saya liburan di Midai, naik gerobak sapi adalah tujuan saya kedua, setelah berenang di laut. Entah mengapa, bahagia saja menumpang naik gerobak sapi ini. Memang, sesederhana itulah bahagia. Namun saat ini, gerobak sapi sudah tidak saya temui lagi di Midai. Tugasnya diganti oleh yang lebih kuat dan praktis, sepeda motor roda tiga, atau yang biasa disebut tosa. Disisi lain, hal ini bagus, mengurangi eksploitasi binatang. Namun kenangan akan hal ini sulit dilupakan.

Sekitar seminggu kami berada di Midai, ini sebagai pembuka perkenalan kepada keluarga baruku tentang pulau mungil yang menyimpan banyak cerita dan sejarah. Lain waktu insya Allah kami akan kembali datang, menulis cerita baru, atau mengingat cerita-cerita lama untuk kembali menyegarkan ingatan betapa bahagia dan indahnya pulau ini, Pulau Midai.







No comments:

Post a Comment