Gairah
eksplorasi minyak di Bumi Hindia Belanda gencar terasa hingga seluruh
pelosok negeri. Sejarah perminyakan di negeri ini bermula ketika Jan
Reerink memulai mengebor bumi Jawa, tepatnya di Majalengka. Meski
hasilnya tak sesuai harapan, namun apa yang dilakukan oleh Jan Reerink
ini mengilhami para insinyur lainnya untuk mencoba peruntungan perburuan
minyak bumi. Dan hal ini dibuktikan oleh Aeliko
Janszoon Zijlker yang berhasil menemukan sumur minyak komersil pertama
di Hindia Belanda, tepatnya di Sumatera Utara saat ini. Dan ini pula yang mendasari insinyur-insinyur Belanda lainnya "bertaruh" untuk menemukan sumber cairan hitam ini. Tak terkecuali di Kalimantan.
Sangasanga Sang Nyonya Tua
Sangasanga adalah wilayah yang mencatatkan namanya dalam sejarah perminyakan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai daerah yang pertama kali dibor di Kalimantan Timur. Sangasanga merupakan suatu kecamatan dalam wilayah administrasi Kabupaten Kutai Kartanegara. Wilayahnya terletak di dekat Delta Mahakam sebelah selatan dari Samarinda (map). Berjarak sekitar 35 km dari Samarinda, sekitar 1 jam perjalanan. Atau sekitar 2,5 jam perjalanan ke utara jika ditempuh dari Kota Balikpapan.
Sangasanga jaman dulu, pada abad ke-13 dikenal dengan nama Sanga-sangaan yang terdapat dalam Salasilah Kutai, sebuah catatan yang dibuat kerajaan Kutai Kartanegara. Kawasan itu berada di dalam kekuasaan kerajaan pada masa pemerintahan Raja Aji Batara Agung, raja pertama Kutai Kartanegara. Selanjutnya, Sangasanga dimasa modern (1900an hingga sekarang) dikenal sebagai penghasil minyak terbesar di Kalimantan Timur dengan ratusan sumurnya.
Sangasanga Sang Nyonya Tua
Sangasanga adalah wilayah yang mencatatkan namanya dalam sejarah perminyakan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai daerah yang pertama kali dibor di Kalimantan Timur. Sangasanga merupakan suatu kecamatan dalam wilayah administrasi Kabupaten Kutai Kartanegara. Wilayahnya terletak di dekat Delta Mahakam sebelah selatan dari Samarinda (map). Berjarak sekitar 35 km dari Samarinda, sekitar 1 jam perjalanan. Atau sekitar 2,5 jam perjalanan ke utara jika ditempuh dari Kota Balikpapan.
Sangasanga jaman dulu, pada abad ke-13 dikenal dengan nama Sanga-sangaan yang terdapat dalam Salasilah Kutai, sebuah catatan yang dibuat kerajaan Kutai Kartanegara. Kawasan itu berada di dalam kekuasaan kerajaan pada masa pemerintahan Raja Aji Batara Agung, raja pertama Kutai Kartanegara. Selanjutnya, Sangasanga dimasa modern (1900an hingga sekarang) dikenal sebagai penghasil minyak terbesar di Kalimantan Timur dengan ratusan sumurnya.
Menten dan Minyak Konsesi Louise : Aksi Nekat yang Tepat
Sejarah bermula dari Jacobus Hubertus Menten, seorang pria kelahiran Limburg, Belanda yang merupakan seorang insinyur pertambangan dari Akademi Delft. Pada Agustus 1860, Departemen Pertambangan Kerajaan Belanda menugaskannya ke Kalimantan Timur untuk mencari batubara. Perburuannya pun berhasil. Menten menemukan batubara berkualitas baik di sekitar Delta Mahakam, Kutai dan sekitarnya. Ia juga berhasil menjalin hubungan baik dengan Sultan Kutai Kartanegara saat itu, Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Menten lalu diangkat menjadi manajer perusahaan batubara Kerajaan Belanda pada tahun 1862.
Sejarah bermula dari Jacobus Hubertus Menten, seorang pria kelahiran Limburg, Belanda yang merupakan seorang insinyur pertambangan dari Akademi Delft. Pada Agustus 1860, Departemen Pertambangan Kerajaan Belanda menugaskannya ke Kalimantan Timur untuk mencari batubara. Perburuannya pun berhasil. Menten menemukan batubara berkualitas baik di sekitar Delta Mahakam, Kutai dan sekitarnya. Ia juga berhasil menjalin hubungan baik dengan Sultan Kutai Kartanegara saat itu, Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Menten lalu diangkat menjadi manajer perusahaan batubara Kerajaan Belanda pada tahun 1862.
J.H. Menten (sumber : http://handryjonathan.blogspot.com) |
Setelah
beberapa penugasan kerja di Bangka dan Bogor, Menten mengundurkan diri dari
Departemen Pertambangan pada 1882. Awal Desember di tahun yang sama, ia
mendapatkan konsesi tambang batubara dari Sultan Kutai. Dan pada 1888,
Menten menyerahkan konsesi ini kepada Steenkolen Maatschappij Oost
Borneo (SMOB).
Pada
tahun 1888, Sultan Aji Muhammad Sulaiman kembali memberikan konsesi
tiga wilayah tambang kepada Menten. Saat itu, Menten baru saja
mendirikan perusahaan tambang bernama Oost Borneo Maatschappij, setelah
pada tahun 1882 ia keluar dari Departemen Pertambangan Hindia Belanda.
Ia memberi nama ketiga wilayah konsesi tambang tersebut dengan nama
Mathilde di Balikpapan, Louise di selatan Samarinda dan Nonny di sebelah
timur tak jauh dari Louise. Mathilde dan Louise merupakan nama dari
istri Menten, Mathilde Louise Charlotte de Wal yang ia nikahi pada 1972
di Muntok, Sumatera Selatan.
Namun menurut cerita yang beredar di masyarakat, Louise adalah nama wanita yang menjadi tumbal saat eksplorasi ini akan dimulai.
Semula
ketiga konsesi ini merupakan konsesi tambang batubara. Karena memang
daerah pesisir Kalimantan yang dulu dikenal dengan Tanjung Negara telah
berabad-abad diketahui kaya mineral. Tradisi menambang intan di
muara-muara sungai Kalimantan tercatat sudah dimulai sejak Kerajaan
Majapahit menaklukan Kutai pada abad ke-13.
Namun,
sadar akan potensi selain sumber daya alam batu bara yang tersimpan di
perut bumi Kalimantan ini, Menten mengalihkan minatnya. Ditambah lagi
dengan kabar suksesnya A.J. Zeijlker yang berhasil menemukan minyak di
Telaga Said, Sumatera Utara yang membuat ia haqqulyakin akan potensi minyak bumi di Sanga-sanga ini, bahkan ia meyakini potensi Sangasanga tak kalah dahsyat dari Telaga Said.
Keyakinannya pun bukan tanpa alasan, seorang geolog Hindia Belanda bernama J.A. Hooze sudah menjuluki Sangasanga dengan sebutan sungai minyak bumi lewat sebuah laporannya yang ia tulis "a basin of a thousand square metres covered with a black felt-like crust of asphalt, along with a few stagnant pools containing water and thick petroleum".
Keyakinannya pun bukan tanpa alasan, seorang geolog Hindia Belanda bernama J.A. Hooze sudah menjuluki Sangasanga dengan sebutan sungai minyak bumi lewat sebuah laporannya yang ia tulis "a basin of a thousand square metres covered with a black felt-like crust of asphalt, along with a few stagnant pools containing water and thick petroleum".
Ia
sempat mengundang kawannya, Sultan Aji Muhammad Sulaiman melihat
rembesan minyak bumi di wilayah konsesinya. Tak butuh waktu lama, Sultan Aji
Muhammad Sulaiman memberi konsesi pada Menten pada 29 Agustus 1888.
Menten mendapat konsesi eksploitasi minyak bumi meliputi hampir seluruh
wilayah Kutai. Sementara
Pemerintah Belanda baru menyetujui konsesi Louise pada 30 Juni 1891.
Sultan Aji Muhammad Sulaiman, (sumber : id.wikipedia.org) |
Sayangnya kala itu Menten tak memiliki modal. Para pemodal di Eropa, termasuk
Kerajaan Belanda tak berminat memodali proyek nekat Menten
mengeksplorasi minyak di Kalimantan. Untungnya Sultan Kutai
memperpanjang izin eksplorasi hingga akhir 1897. Beruntung pada
September 1895 Menten bertemu Sir Marcus Samuel dari Shell Transport and Trading Ltd yang bermarkas di London. Sir Marcus siap mempertaruhkan modal demi mencoba peruntungan di Kalimantan Timur.
Sir Marcus Samuel (sumber http://handryjonathan.blogspot.com) |
Dalam
perjalanannya kembali ke Kalimantan setelah berkelana mencari pemodal, Menten berjumpa Adrian Stoop dari
perusahaan SMOB. Stoop bersama SMOB juga mengajukan konsesi minyak
bersamaan dengan perizinan Louise. Artinya, SMOB akan menjadi saingan
Menten berburu minyak di Kalimantan Timur. Pada akhir Desember 1896,
SMOB dan Menten memulai perburuan mereka.
Menten memulainya di wilayah konsesi Louise. Wilayah ini berada di rawa-rawa (swamps) Delta Mahakam, dekat Sungai Sanga-sanga (anak Sungai Mahakam). Keadaan alam Kalimantan Timur menjadi kendala karena mereka harus berhadapan dengan hewan liar, mulai dari babi, orangutan, hingga lintah. Sejumlah pekerja baik dari Jawa maupun Eropa tewas karena penyakit. Belum lagi rumah, jembatan, atau pelabuhan kayu yang mereka bangun cepat sekali membusuk.
Menten memulainya di wilayah konsesi Louise. Wilayah ini berada di rawa-rawa (swamps) Delta Mahakam, dekat Sungai Sanga-sanga (anak Sungai Mahakam). Keadaan alam Kalimantan Timur menjadi kendala karena mereka harus berhadapan dengan hewan liar, mulai dari babi, orangutan, hingga lintah. Sejumlah pekerja baik dari Jawa maupun Eropa tewas karena penyakit. Belum lagi rumah, jembatan, atau pelabuhan kayu yang mereka bangun cepat sekali membusuk.
Namun
itu tak menghalangi tekat Menten untuk terus bereksplorasi. Hasilnya ia
berhasil menemukan minyak bercampur air saat pengeborannya baru
mencapai 50 kaki. Menten
juga berhasil mendapatkan minyak komersil pada kedalaman 150 kaki di
Sangasanga pada tanggal 5 Februari 1897. Minyak mentah (crude)
yang mereka dapat ini memang tidak cocok untuk lampu. Namun, Samuel
mengetahuinya sebagai sumber untuk bahan bakar mesin. Keberhasilan
Menten menemukan mengeksplorasi minyak di wilayah Kalimantan ini hanya terpaut 38 tahun dari pengeboran sumur minyak pertama di
dunia oleh Edwin L Drake di Amerika atau sekitar 13 tahun setelah
explorasi sumur minyak pertama di Indonesia (Sumur Telaga Said, Sumatera Utara).
Satu bulan kemudian, tepatnya pada 10 Februari 1897, dia kembali mengebor, kali ini di wilayah konsesi Mathilde di sekitaran Teluk Balikpapan setelah saat akan survei untuk mencari lokasi yang tepat untuk pembangunan Kilang dan Pelabuhan, ia menemukan rembesan minyak di daerah tersebut. Tanggal dimana pengeboran pertama di sumur Mathilde-1 ini pulalah ditetapkan sebagai hari jadi Kota Balikpapan. Dan Menten berperan besar dalam "terbentuknya" kota Balikpapan lewat industri minyak yang ia gagas ini.
Sejak saat itu, Sangasanga bersama lapangan lain di Jawa dan Sumatera menjadi basis penghasil minyak bagi pemerintahan Hindia Belanda. Dalam waktu satu tahun sejak pengeboran pertamanya dimulai, Louise dan Mathilde sudah memproduksi 32ribu barrel minyak mentah perhari. Lalu pada April 1898, dengan masuknya modal Shell, Samuel dan Menten membentuk perusahaan baru guna memenuhi persyaratan peraturan Hindia Belanda. Perusahaan itu bernama Nederlandsch Indische Industrie en Handel Maatschappij (NIIHM).
Satu bulan kemudian, tepatnya pada 10 Februari 1897, dia kembali mengebor, kali ini di wilayah konsesi Mathilde di sekitaran Teluk Balikpapan setelah saat akan survei untuk mencari lokasi yang tepat untuk pembangunan Kilang dan Pelabuhan, ia menemukan rembesan minyak di daerah tersebut. Tanggal dimana pengeboran pertama di sumur Mathilde-1 ini pulalah ditetapkan sebagai hari jadi Kota Balikpapan. Dan Menten berperan besar dalam "terbentuknya" kota Balikpapan lewat industri minyak yang ia gagas ini.
Sejak saat itu, Sangasanga bersama lapangan lain di Jawa dan Sumatera menjadi basis penghasil minyak bagi pemerintahan Hindia Belanda. Dalam waktu satu tahun sejak pengeboran pertamanya dimulai, Louise dan Mathilde sudah memproduksi 32ribu barrel minyak mentah perhari. Lalu pada April 1898, dengan masuknya modal Shell, Samuel dan Menten membentuk perusahaan baru guna memenuhi persyaratan peraturan Hindia Belanda. Perusahaan itu bernama Nederlandsch Indische Industrie en Handel Maatschappij (NIIHM).
Semula minyak Sanga-sanga memang tidak bisa dikirim ke Balikpapan. Saat itu belum ada akses yang menghubungkan kedua fasilitas produksi. Namun Belanda lewat perusahaan raksasanya pada bisnis jasa transportasi, Shell Transport and Trading Ltd mengirim kapal "Sabine Rickmers" yang sedang bersandar di Singapura menuju Kalimantan. Kemudian tanggal 20 Agustus 1898 tanker mini yang biasa mengarungi Samudera Atlantik itu kembali bersandar di pelabuhan Singapura dengan muatan kargo pertama minyak Sangasanga yang belum diolah.
Kapal Sabine Rickmers, sumber https://www.helderline.com/tanker/sabine-rickmers |
Pencarian J.H. Menten selama belasan tahun dan rekannya Mr. Samuel akhirnya berbuah manis. Lapangan Louise di Sangasanga mencatatkan namanya sebagai sumur yang memuncratkan minyak pertama di pulau Kalimantan. Di sepanjang 1898, Menten mendatangkan pekerja untuk mendukung operasi pengeboran dan pengolahan di Sangasanga dan Balikpapan. Kapal uap serta kapal layar pengangkut material dan peralatan pengeboran pun akhirnya merapat di Balikpapan.Sembilan tahun kemudian Shell dan Royal Dutch bergabung. Gabungan dua korporasi Belanda itu melahirkan Royal Dutch - Shell Group atau kini lebih dikenal dengan Shell Group. Dari kelompok usaha Belanda ini lahir De Bataafsche Petroleum Maatschapij (BPM). Anak perusahaan Shell Group dibidang produksi dan kilang migas itu sejak tahun 1905 mengambil alih pengelolaan ladang minyak Sangasanga dari NIIHM.
Kemudian untuk mendukung pengolahan minyak mentah, pemerintah Hindia Belanda membangun Kilang minyak di Balikpapan. Nyatanya sumur Louise lebih menjadi primadona dari sumu-sumur lainnya karena ia mendominasi pasokan minyak dari ketiga wilayah konsesi yang ada. Lalu pada awal 1900an, Kesultanan Kutai memberikan konsesi pembangunan pelabuhan di wilayah Teluk Balikpapan agar pengiriman minyak lebih lancar. Pengiriman via tanker langsung dari Sangsanga dinilai tidak efisien karena membutuhkan waktu yang lama.
Pada 1910 ketika pengelolaan sudah dipegang oleh BPM, mereka menemukan sumur Samboja. Pada saat yang sama pipa-pipa minyak menuju Kilang Balikpapan mulai dibangun. Kilang inipun akhirnya berubah menjadi Kilang terbesar kedua di Hindia Belanda setelah Kilang Palembang. Saat dikelola oleh BPM, fasilitas-fasilitas penunjang mulai dilengkapi, seperti perumahan-perumahan, sarana kesehatan, hiburan dan olahraga bagi para pekerja di Sangasanga.
Minyak dari perut bumi Kalimantan Timur terus keluar, sehingga menjadi komoditas utama Keresidenan Kalimantan Tenggara yang sebelumnya didominasi oleh kayu, getah dan produk-produk turunan hutan lainnya. Saat itu situasi tak menentu, Perang Dunia I yang memuncak menyebabkan terancamnya kapal-kapal pembawa minyak. Tapi gara-gara itu pula harga minyak melambung tinggi. Dan BPM sangat lihai membaca peluang ini. Mereka tetap berproduksi, tapi mengalihkan sebagian besar pasarnya ke negara-negara Asia yang jarak tempuhnya tak terlalu jauh.
Tahun 1939, terdapat 613 sumur migas yang ada di Sangasanga dengan total produksi hingga 70.000 ton/bulan. Lalu pengelolaan minyak oleh Belanda melalui BPM nya sempat terhenti dimasa penjajahan Jepang tahun 1942, namun itu tak berlangsung lama. Jepang mengaku kalah pada perang pasifik tahun 1945. Meskipun demikian, mereka sempat membangun fasilitas pengeboran dan menambah sumur-sumur minyak guna kepentingannya dalam menghadapi perang dengan sekutu. Pembangunan barak atau bangsal untuk menampung para pekerja romusha dan ianfu dan tentaranya juga didirikan. Saat Jepang mengaku kalah dalam perang pasifik, lapangan minyak Sangasanga kembali ke tangan BPM.Bisa jadi ini pula yang menyebabkan Jepang mengetahui kualitas minyak di Hindia Belanda (Indonesia) sangat baik, sehingga negeri ini jadi target jajahan Jepang ketika perang pasific berlangsung.
Pada tahun 1945 Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka setelah tanggal 14 Agustus 1945 Jepang mengaku kalah. Gaung kemerdekaan Indonesia tak serta merta sampai di telinga masyarakat Kalimantan Timur, khususnya Sangasanga. Kalaupun terdengar hanya dalam betuk berita yang kurang pasti. Ini disebabkan oleh tentara Jepang yang menyita dan merusaka hampir semua fasilitas radio. Usaha untuk mendapatkan informasi Kemerdekaan Indonesia akhirnya berbuah hasil dengan menggunakan radio yang disimpan warga dan masih berfungsi. Akhirnya tanggal 21 Agustus 1945 tentara Jepang di Sangasanga mengumumkan penghentian tembak menembak dan mereka bersiap-siap untuk kembali pulang ke negaranya. Bendera Merah- Putih pun berkibar di Sangasanga tanggal 26 Oktober 1945.
Namun, tidak serta merta hal tersebut membuat wilayah ini bebas dari penjajah. Belanda yang membonceng sekutu Australia waktu itu ingin menjajah kembali. Berbagai pertempuran pecah di beberapa wilayah di Kalimantan Timur antara kaum pejuang pribumi dan tentara NICA Belanda. Di Sangasanga sendiri terjadi pertempuran dahsyat yang dikenal dengan Peristiwa Merah Putih yang terjadi pada tanggal 27 Januari 1947.
Beragam perlawanan terhadap Belanda terus dilakukan. Dengan pertempuran dan perundingan-perundingan. Hingga akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedualatan Negara Indonesia. Dan secara otomatis pula segala aset-aset yang ada daerah sepenuhnya kepada pemerintah Indonesia.
Pada periode 1945 - 1972, pengelolaan sumur minyak di Sangsanga dipegang oleh BPM/SHELL atau Pertamina. Pada masa ini Belanda yang mengambil alih perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan Shell serta Perusahaan Minyak Nasional (PERMINA) dan pada masa ini juga terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dan peranannya semakin meningkat. Pada masa ini merupakan masa keemasan bagi Sangasanga.
Periode tahun 1972-1992, lapangan Sangasanga dikelola oleh TIPCO – Tesorro (perusahaan Amerika Serikat). Pada masa ini terjadi perubahan pola orientasi kerjasama ekonomi, yang semula dikelola oleh pertusahaan asing Belanda, Inggris beralih ke pasaran Amerika Serikat (Tesoro). Peningkatan pengeboran minyak semakin maju dan cenderung tidak terkontrol.
Berlanjut pada periode 1992–2008 oleh PT Medco E & P. Pada masa ini kepemilikan dan hak eksplorasi dilakukan, dengan sistim mekanisme pasar, yaitu dengan memberlakukan sistim tender dan keikutsertaan bangsa asing dibatasi. Pada saat ini fasilitas produksi, alat eksplorasi dan perumahan tidak dipergunakan secara memadai karena pemakaian tenaga kerja yang semakin berkurang. Keberadaan perumahan BPM dan bangsal sudah tidak terkordinir lagi sehingga rusak.
Lalu pada oktober tahun 2008, pengelolaan sumur minyak Sangasanga resmi diambil alih oleh negara melalui perusahaan minyaknya yaitu Pertamina. Melaui anak perusahaannya, Pertamina UBEP Sangasanga, "Si Nyonya Tua" ini terus berproduksi mengeluarkan minyak dan gas sebagai komoditi utama negara ini. Seiring berjalannya waktu serta perubahan sistem manajemen di lingkungan Pertamina, Pertamina UBEP Sangasanga berubah nama menjadi Pertamina EP Asset 5 Sangasanga Field yang beroperasi hingga saat ini.
----------
Lapangan Louise di Sangasanga, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur tercatat sebagai lapangan minyak tertua di Kalimantan. Melalui aksi nekat Menten setelah mendapat konsesi tiga wilayah dari Sultan Aji Muhammad Sulaiman kala itu (Louise, Mathilde, dan Nonny), Kalimantan Timur berubah dari kampung-kampung kecil di muara-muara sungai menjadi kota industri dan maju, bahkan menjadi salah satu provinsi terkaya yang dimiliki negara ini.
Mengukuhkan diri sebagai Kota Minyak dan Kota Pejuang, di Sangasanga terdapat monumen pompa angguk (sucker rod) terbuat dari kayu ulin berdiameter 30 cm serta tugu peringatan Peristiwa Merah Putih yang terjadi di Sangasanga pada 27 januari 1947 silam. Berbagai situs sejarah dan perminyakan lainnya juga bisa kita temui di Kota Tua ini.
Pompa Angguk kuno di Sangasanga, (sumber : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbkaltim/pompa-angguk-sanga-sanga/) |
------------------------
Tulisan ini saya kutip dari berbagai sumber, jika ada sumber yang lebih valid, saya akan dengan senang hati untuk menerima masukan. 😁
Sumber-sumber refrensi :
Buku : "Mereka yang Berpeluh : Kisah Para Pekerja Lapangan Minyak"
Skripsi Kevin Topan Kristianto, "Pertempuran 27 Januari 1947 di Sanga-sanga Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur", 2018
https://kaltimkece.id/historia/peristiwa/sejarah-panjang-sangasanga-tanah-juang-yang-kini-terkepung-tambang
https://kaltim.antaranews.com/berita/4889/cerita-sumur-sumur-minyak-tua-sangasanga-oleh-novi-abdi
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbkaltim/pompa-angguk-sanga-sanga/
https://id.wikipedia.org/wiki/Sanga-Sanga,_Kutai_Kartanegara
tulisan yang akrab dan komunikatif, memberi nuansa sejarah yang membangun
ReplyDelete