Keraton Yogyakarta Hadiningrat, via www.tourdjogja.com |
Saat pulang kantor tadi sore, sambil menunggu KRL tujuan Bogor, saya membuka akun aplikasi path yang sudah nganggur sejak tadi malam, menyekrol sampai ke bawah dan terhenti disalah satu postingan seorang teman, sebuah postingan gambar tugu Jogja serta foto-foto kecil disampingnya. Tugu Jogja, itu memang ikonnya Jogja, sebuah kota yang saya tinggali selama kurang lebih 4,5 tahun sambil menuntut ilmu di kampus yang mempunyai (katanya) jurusan favorit yang ada di Indonesia ini. Namun mata tertuju pada caption yang ia berikan, yang intinya adalah "selamat ulang tahun kota Jogja ke 259".
Oh my God! hari ini ulang tahun kota Jogja? Baru tahu saya. Kemudian cepat-cepat pulang dan mencari sejarahnya lewat bantuan mbah gugel. Lumayan kan bisa dimasukin juga ke blog. Hhe. Jogja sudah berumur 259 tahun, tua untuk ukuran sebuah kota, tentu banyak lika liku yang dihadapinya. Teringat saya saat kali pertama menginjakkan kaki di Jogja, 6 tahun yang lalu. Seperti mendapat sambutan hangat dari alamnya, meski harus beradaptasi dulu dengan rasa makanannya yang "Jawa banget", manis -kaya gue-, rasa yang boleh dibilang tidak biasa bagi seorang anak melayu-minang ini. Pernah saat itu saya dibelikan lontong oleh abang, tak lama "masuk" ke perut malah langsung "keluar", hhe.
Berada di Jogja membuat saya langsung betah dan tak mau pulang, meskipun saat itu hanya 6 hari saja disana karena mengikuti tes masuk kampus, saya dan teman-teman harus kembali pulang untuk menamatkan sekolah. Setelah lulus SMA, kami langsung melanjutkan kuliah di Jogja, iya Jogja. Sambutan hangat yang dulu masih saya rasakan, orang-orang sekitar, alamnya yang (dulu) asri, hiruk pikuk kota yang sangat sesuai untuk ratusan ribu manusia dari seluruh pelosok Nusantara yang menuntut ilmu disini. Belum lagi acara malamnya yang tak pernah sepi, komunitas motor, sepeda, kali code, kopi joss, alun-alun kidul, titik nol, tugu, ditambah lagi dengan atraksi seni + musisi jalanannya, kreatif! Gimana coba gak betah? Yang bikin ingat rumah adalah kadang-kadang musik melayu yang diputar di leptop, pagelaran acara daerah, masakan emak, dan akhir bulan. hha. Itu faktor yang baru bisa bikin kita ingat kampung halaman. Selain itu, hmmmmmm boleh dibilang gak ada. :D
Oh my God! hari ini ulang tahun kota Jogja? Baru tahu saya. Kemudian cepat-cepat pulang dan mencari sejarahnya lewat bantuan mbah gugel. Lumayan kan bisa dimasukin juga ke blog. Hhe. Jogja sudah berumur 259 tahun, tua untuk ukuran sebuah kota, tentu banyak lika liku yang dihadapinya. Teringat saya saat kali pertama menginjakkan kaki di Jogja, 6 tahun yang lalu. Seperti mendapat sambutan hangat dari alamnya, meski harus beradaptasi dulu dengan rasa makanannya yang "Jawa banget", manis -kaya gue-, rasa yang boleh dibilang tidak biasa bagi seorang anak melayu-minang ini. Pernah saat itu saya dibelikan lontong oleh abang, tak lama "masuk" ke perut malah langsung "keluar", hhe.
Berada di Jogja membuat saya langsung betah dan tak mau pulang, meskipun saat itu hanya 6 hari saja disana karena mengikuti tes masuk kampus, saya dan teman-teman harus kembali pulang untuk menamatkan sekolah. Setelah lulus SMA, kami langsung melanjutkan kuliah di Jogja, iya Jogja. Sambutan hangat yang dulu masih saya rasakan, orang-orang sekitar, alamnya yang (dulu) asri, hiruk pikuk kota yang sangat sesuai untuk ratusan ribu manusia dari seluruh pelosok Nusantara yang menuntut ilmu disini. Belum lagi acara malamnya yang tak pernah sepi, komunitas motor, sepeda, kali code, kopi joss, alun-alun kidul, titik nol, tugu, ditambah lagi dengan atraksi seni + musisi jalanannya, kreatif! Gimana coba gak betah? Yang bikin ingat rumah adalah kadang-kadang musik melayu yang diputar di leptop, pagelaran acara daerah, masakan emak, dan akhir bulan. hha. Itu faktor yang baru bisa bikin kita ingat kampung halaman. Selain itu, hmmmmmm boleh dibilang gak ada. :D
Yuk dah, kita mengulang kaji, flashback sebentar tentang kota yang memiliki sejuta kenangan ini. Sejarah lahirnya Kota Yogyakarta tidak bisa lepas dari keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Adik dari Sunan Paku Buwana II yang bernama Pangeran Mangkubumi, yang memperjuangkan kedaulatan Kerajaan Mataram dari pengaruh Belanda. Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya pada hari Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiulakhir 1680 (Tahun Jawa) atau bertepatan dengan 13 Februari 1755, Pangeran Mangkubumi yang telah bergelar Susuhunan Kabanaran menandatangani Perjanjian Giyanti atau sering disebut dengan Palihan Nagari yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Palihan Nagari inilah yang menjadi titik awal keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Isi Perjanjian Gianti adalah Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Pada saat itulah Susuhunan Kabanaran kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I.
Sri Sultan Hamengku Buwono I, via goblokku.wordpress.com |
Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah
Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan
ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh
Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro,
Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, dan Grobogan.
Sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tepatnya hari Kamis Pon tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Sultan Hamengku Buwana I memproklamirkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta dan memiliki separuh dari wilayah Kerajaan Mataram. Proklamasi ini terjadi di Pesanggrahan Ambarketawang dan dikenal dengan peristiwa Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram – Ngayogyakarta. Pada hari Kamis Pon tanggal 3 sura 1681 atau bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1755, Sri Sultan Hamengku Buwana I memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di Desa Pacethokan dalam Hutan Beringan yang pada awalnya bernama Garjitawati yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategis menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu. Setelah penetapan tersebut diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton. Sementara Sri Sultan mesanggrah di Ambarketawang sambil menunggui pembangunan fisik kraton.
Sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tepatnya hari Kamis Pon tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Sultan Hamengku Buwana I memproklamirkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta dan memiliki separuh dari wilayah Kerajaan Mataram. Proklamasi ini terjadi di Pesanggrahan Ambarketawang dan dikenal dengan peristiwa Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram – Ngayogyakarta. Pada hari Kamis Pon tanggal 3 sura 1681 atau bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1755, Sri Sultan Hamengku Buwana I memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di Desa Pacethokan dalam Hutan Beringan yang pada awalnya bernama Garjitawati yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategis menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu. Setelah penetapan tersebut diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton. Sementara Sri Sultan mesanggrah di Ambarketawang sambil menunggui pembangunan fisik kraton.
Pohon Beringin di Keraton, via bernadetadotty.wordpress.com |
Pembangunan ibu kota Kasultanan Yogyakarta ini membutuhkan waktu satu tahun. Pada hari Kamis pahing tanggal 13 Sura 1682 bertepatan dengan 7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengku Buwana I beserta keluarganya pindah atau boyongan dari Pesanggrahan Ambarketawan masuk ke dalam Kraton Ngayogyakarta. Peristiwa perpindahan ini ditandai dengan candra sengkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal berupa dua ekor naga yang kedua ekornya saling melilit dan diukirkan di atas banon/renteng kelir baturana Kagungan Dalem Regol Kemagangan dan Regol Gadhung Mlathi. Momentum kepindahan inilah yang dipakai sebagai dasar penentuan Hari Jadi Kota Yogyakarta dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Mulai saat itu berbagai macam sarana dan bangunan pendukung untuk mewadahi aktivitas pemerintahan baik kegiatan sosial, politik, ekonomi, budaya maupun tempat tinggal mulai dibangun secara bertahap. Berdasarkan itu semua maka Hari Jadi Kota Yogyakarta ditentukan pada tanggal 7 Oktober dan dikuatkan dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2004.
Kota Jogja saat pembentukannya hingga kini telah banyak melalui berbagai perkembangan dan ikut serta pula dalam berbagai peristiwa besar di Nusantara. Diantaranya adalah sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional. Dan juga, pada tahun 2009 terjadi peristiwa tentang status Jogja, dan masyarakat akhirnya melakukan referendum untuk mempertahankan status Keistimewaan Yogyakarta.
"tanah lahirkan tahta, tahta untuk rakyat,
dimana rajanya bercermin di kalbu rakyat,
demikianlah singgasana bermartabat,
berdiri kokoh tuk mengayomi rakyat"
-Jogja Hiphop Foundation
HUT Jogja, via gambaranehunik.com |
Yah, apapun itu. Selamat ulang tahun Kota Jogja tercinta. Terimakasih telah mengijinkanku menginjakkan kaki di tanahmu untuk menuntut ilmu. Terimakasih atas segala pengalaman dan kenangan, terimakasih atas segala proses yang telah diberikan sehingga aku bisa mendapatkan pelajaran baru dalam menjalani kehidupan.
Jogja, via 999-logo.blogspot.com |
JOGJA TETAP DAN SELALU ISTIMEWA
"Istimewa Negerinya Istimewa Orangnya"
"Istimewa Negerinya Istimewa Orangnya"
http://www.jogjakota.go.id/about/sejarah-kota-yogyakarta
http://yogyatugu.blogspot.co.id/2012/03/berdirinya-kota-jogjakarta.html
http://yogyatugu.blogspot.co.id/2012/03/berdirinya-kota-jogjakarta.html
No comments:
Post a Comment