Wednesday, July 12, 2017

Sejarah Perminyakan di Pangkalan Brandan : Pioneer di Nusantara

Pangkalan Brandan merupakan ibukota Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara saat ini. Terletak di pesisir pantai timur pulau Sumatera, sekitar 60 km di sebelah utara Kota Binjai. Di bagian ujung pulau Sumatera inilah, sumur minyak pertama Indonesia secara komersial berhasil ditemukan. 
Lokasi Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu
Orang pertama yang berhasil menemukannya adalah Aeliko Janszoon Zijlker, seorang ahli perkebunan tembakau yang bekerja di Deli Tobacco Maatschappij (perusahaan tembakau pada masa itu). Pada tahun 1880 di Langkat, ia menemukan minyak yang merembes ke permukaan dan tergenang bersama air. Kemudian sampel minyak tersebut dibawa ke Batavia (Jakarta) untuk dianalisis, dari hasil penyulingan minyak tersebut menghasilkan kadar minyak sebesar 59%. 

Pada tahun 1882, Ia menghubungi sejumlah rekannya di Belanda untuk mengumpulkan dana guna melakukan eksplorasi. Begitu dana diperoleh, perizinan pun diurus. Persetujuan konsesi dari Sultan Musa (Sultan Langkat masa itu) diperoleh pada 8 Agustus 1883. Konsesi yang diberikan Sultan Musa cukup luas, mencakup wilayah pesisir Sei Lepan, Bukit Sentang sampai ke Bukit Tinggi, Pangkalan Brandan. Tak membuang waktu lebih lama, eksplorasi pertama pun segera dipersiapkan Zijlker. 
Sultan Musa, via : royalark.net
Pada 17 November 1884, setelah pengeboran berlangsung sekitar dua bulan, minyak yang diperoleh hanya sekitar 200 liter. Semburan gas yang cukup tinggi dari sumur yang saat ini dikenal dengan nama sumur Telaga Tiga itu membuyarkan harapan untuk mendapatkan minyak yang banyak. Namun Zijlker dan kawan-kawan tidak berhenti sampai di situ. Mereka kemudian mengalihkan kegiatannya ke Desa Telaga Said. Di lokasi kedua ini, pengeboran mengalami sedikit kesulitan karena struktur tanah lebih keras dibandingkan dengan struktur tanah di Telaga Tiga.

Usaha menembus struktur tanah yang keras itu akhirnya membuahkan hasil. Saat pengeboran mencapai kedalaman 22 meter, berhasil diperoleh minyak sebanyak 1.710 liter dalam waktu 48 jam kerja. Saat mata bor menyentuh kedalaman 31 meter, minyak yang dihasilkan sudah mencapai 86.402 liter, dan jumlah itu terus bertambah. Hingga pada 15 Juni 1885 ketika pengeboran mencapai kedalaman 121 meter, tiba-tiba muncul semburan kuat gas dari dalam berikut minyak mentah dan material lainnya dari perut bumi. Sumur itu kemudian dinamakan Telaga Tunggal I

Sumur inilah yang mencatatkan namanya dalam sejarah Perminyakan Indonesia yang merupakan sumur pertama yang berhasil memuncratkan minyak dari dalam perut bumi Nusantara. Ia merupakan pemicu gencarnya eksplorasi migas di berbagai tempat di Indonesia. Penemuan sumur ini hanya berjarak 26 tahun dari eksplorasi sumur minyak pertama di dunia pada 27 Agustus 1859 di Titusville, negara bagian Pennsylvania, yang diprakarsai Edwin L. Drake dan William Smith dari Seneca Oil Company. 
Zijlker, via family-pata.blogspot.com
Akhirnya nama Aeliko Janszoon Zijlker pun tercatat dalam sejarah, sebagai penemu sumur minyak pertama dalam Sejarah Industri Perminyakan di Indonesia. Ia kemudian dengan sejumlah koleganya mendirikan perusahaan minyak dengan nama Royal Dutch atau yang lebih dikenal dengan nama Shell Dutch pada tahun 1885. Dan pada tahun 1890, Belanda secara resmi mendirikan perusahaan minyak di Indonesia yang diberi nama NV Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij, atau Royal Dutch Petroleum Company. Zijlker mengalihkan konsesinya ke perusahaan ini, dan ia meninggal pada Desember 1890 di Singapura. 
Reerink, via geomagz.geologi.esdm.go.id
---Sejatinya Zijlker bukan orang pertama yang melakukan pengeboran minyak di Indonesia. Jauh lagi sebelum itu, pada tahun 1871, seorang Belanda lainnya bernama Jan Reerink menjadi orang pertama yang membor bumi Nusantara untuk mencari emas hitam. Reerink mencoba peruntungannya di Cibodas Tangat, Kecamatan Majalengka, Jawa Barat. Namun, karena kurang pengalaman dan peralatan yang minim, usaha itu mengalami beberapa kegagalan. Reerink, yang merupakan seorang saudagar toko kelontong itu menutup sumur-sumur eksplorasinya pada tahun 1876 dan kembali berdagang.---
Kilang Minyak dan Pelabuhan, via migasreview.com
Untuk mendukung kegiatan eksplorasi minyak di Pangkalan Brandan ini, maka dibangunlah Kilang Minyak dan jaringan pipa sebagai penunjang kegiatan eksplorasi. Kilang inilah nantinya yang menjadi saksi bisu perjuangan para pejuang kemerdekaan dalam membentuk kejayaan energi yang mandiri. Kilang dibangun oleh Jean Baptist August lewat De Koninklijke pada tahun 1891, dan mulai berpoduksi sejak 1 Maret 1892. 

Saat itu perusahaan dipimpin oleh De Gelder. Pengoperasian Kilang Minyak saat itu dengan peralatan yang masih terbilang sederhana dan kapasitas produksi juga masih kecil. Pada tahun 1898, Belanda membangun tangki-tangki penimbun dan fasilitas pelabuhan di Pangkalan Susu guna mengekspor minyak yang sudah diolah, sekaligus menjadi pelabuhan pengekspor minyak tertua di Indonesia. 
Pelabuhan Pangkalan Susu, via http://1.bp.blogspot.com
Telaga Tunggal I sendiri akhirnya berhenti beroperasi pada tahun 1934 setelah jutaan barel minyak sudah berhasil disedot dan dikeluarkan pemerintah Belanda melalui perusahaan Royal Dutch, Royal Dutch Petroleum Company hingga Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Beberapa sumur lainnya juga ditemukan di sekitar area Telaga Tunggal I, namun juga sudah ditinggalkan sejak lama. 
Setelah Kilang Minyak dioperasikan selama puluhan tahun oleh Belanda, pada tahun 1942 ketika Perang Dunia II sedang terjadi. Belanda mengalami kekalahan seiring gencarnya invasi dari Jepang yang juga menginginkan minyak Indonesia. Sebelum meninggalkan Indonesia, tentara Belanda dengan nama Verielings Corps membumihanguskan kompleks Perusahaan tambang minyak di Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu, terutama kilang penyulingan minyaknya dalam kurun 9 – 11 Maret 1942. Ini dilakukan Belanda agar Jepang tidak bisa menikmati fasilitas Kilang Minyak tersebut. Jepang tiba di Pangkalan Brandan tanggal 13 Maret 1942 dan mendapati keadaan kilang minyak bumi di Pangkalan Brandan dalam keadaan 70% rusak.

Namun, Jepang ternyata bisa memperbaiki kilang-kilang tersebut dalam tempo singkat oleh ahli-ahli teknik konstruksi perminyakan yang tergabung dalam Nampo Nen Rioso Butai, (sebuah unit dalam Angkatan Darat Jepang). Lalu dengan kedatangan sejumlah ahli dan teknisi Perminyakan Jepang serta pemanggilan kembali para pegawai perminyakan Indonesia yang tadinya bekerja di BPM, Stanvac, Caltex dan lainya, produksi minyak membuahkan hasil dengan prestasi luar biasa. Dalam waktu yang singkat Jepang telah mampu memproduksi kembali minyak mentah maupun bahan bakar minyak, bahkan menemukan sumur-sumur produksi baru. 


Jepang merubah nama BPM menjadi Sayutai. Catatan yang ada menunjukkan, produksi minyak bumi Indonesia tahun 1943 saat Jepang berkuasa, hampir mencapai 50 juta barel. Sedangkan produksi sebelumnya pada 1940 adalah 65 juta barel. Hasil kilang pada 1943 sebesar 28 juta barel. Sedangkan pada tahun 1940 mencapai 64 juta barel. 
Menara Pemboran yang Dioperasikan Sayutai, via edyfranjaya.wordpress.com
Tenaga kerja perminyakan Indonesia yang dipanggil kembali untuk bekerja dalam rangka rehabilitasi lapangan dan kilang–kilang minyak tersebut diajari berbagai keterampilan oleh Jepang. Jepang juga memberikan kesempatan bagi pemuda-pemuda di sekitar Pangkalan Brandan untuk mendapatkan pendidikan perminyakan. Selain mata pelajaran teknis, bidang kemiliteran dan disiplin sangat diperhatikan di lembaga-lembaga pendidikan itu. 
 
Selanjutnya latihan militer diperoleh para pemuda Pangkalan Brandan setelah dibentuknya badan-badan seperti Seinendan, Kaibodan, Pembela Tanah Air (PETA), Gyugun dan Heiho. Ternyata mereka yang pernah dilatih dalam badan-badan inilah nantinya pada masa revolusi tampil memegang peranan penting dalam menghadapi Pasukan Belanda yang hendak menjajah kembali negeri ini. 
Latihan Militer Jepang, via edyfranjaya.wordpress.com
Suatu kemajuan bagi buruh perminyakan Indonesia ialah diperolehnya kesempatan lebih luas untuk menempati kedudukan yang lebih tinggi diperusahaan, yang mana pada zaman penjajahan Belanda hanya boleh dijabat oleh bangsa Belanda saja. Salah seorang tenaga bangsa Indonesia yang mendapat kesempatan menduduki jabatan tinggi di Kilang Minyak Sayutai ialah S.H. Supardan, yang menjadi Kepala Bidang Administrasi pertengahan tahun 1942.

Dari kalangan buruh tambang minyak, terdapat Djohan yang merupakan pemimpin dari Laskar Minyak yang dibentuk. Ia adalah seorang bekas pegawai Shell yang dahulu pernah dikirim ke Negeri Belanda selama 6 bulan untuk menambah ilmu pengetahuan perminyakan, dia juga yang menolak tugas dari Belanda untuk membumihanguskan Pangkalan Brandan dulu, karena merasa sayang membinasakan sesuatu yang ia ikut membangunnya. 


Tak lama Jepang menguasai Nusantara. Agustus 1945 serangan besar-besaran dari sekutu membuat Jepang bertekuk lutut dalam kancah perang dunia kedua. Terlebih 2 kota di Jepang mendapat "hadiah" bom atom dari sekutu. Setelah Jepang menyerah kalah, Negara Republik Indonesia diproklamirkan di Jakarta oleh Soekarno Hatta. Dengan ini pula serta merta segala asset berpindah menjadi milik negara.

Pengalihan kekuasaan seluruh Tambang Minyak Sumatera Utara yang sebelumnya dikuasai Jepang, akhirnya dikuasai Pemerintah Republik Indonesia. Pada September 1945 diadakan serah terima seluruh Tambang Minyak Pangkalan Brandan dari Penguasa Jepang kepada Anggota Pemerintah R.I di Sumatera Utara, disaksikan oleh Komisi Tiga Negara (KTN).

Pada 17 Juni 1946, setelah dengan perundingan serta mediasi panjang yang melibatkan Inggris. Dilaksanakan Serah Terima penguasaan atas Perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara di Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu kepada Pihak Pemerintah Indonesia. Penyerahan kekuasaan ini dilakukan secara sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku ketika itu, diserahkan oleh Pemerintah Jepang diwakili oleh Nakamura kepada Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Residen Abdul Karim, Ms serta Pengacara Luat Siregar yang bertindak atas nama Gubernur Sumatera Utara Republik Indonesia yang dijabat oleh Teuku Moehammad Hasan yang ketika itu berkedudukan di Bukit Tinggi. 


Rombongan disambut oleh Bupati Langkat Adnan Nur Lubis, Wadana Teluk Aru Basir Nasution, dan Ketua KNI Wilayah merangkap Komandan Wilayah Teluk Aru Letnan Dua M. Haiyar. Acara serah terima secara formal dari Pihak Sekutu kepada Pemerintah Indonesia, dilaksanakan di Kantor Besar Perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara di Pangkalan Brandan (Sekarang Kantor Keuangan Pertamina Pangkalan Brandan) juga disaksikan oleh wakil Pers dari Medan Mohammad Said Pemimpin Redaksi Harian WASPADA Medan. Peristiwa ini disusul dengan pembentukan Perusahaan Minyak Nasional Pertama yang diberi nama Perusahaan Tambang Minyak Negara Republik Indonesia (PTMNRI).

Tanggal 20 Juni 1946, Gubernur Sumatera Utara Teuku Moehammad Hasan mengeluarkan Surat Keputusan yang isinya adalah menugaskan KNI Wilayah Teluk Aru mengatur dan menerbitkan serta mengangkat orang-orang yang berkompeten untuk menjadi Pimpinan Umum serta Kepala Bidang PTMNRI Kabupaten Langkat. S.H. Supardan diangkat sebagai Pimpinan Umum PTMNRI dan Djohan sebagai Kepala Bidang Teknik PTMNRI.

Dengan ini kekuasaan untuk menguasai tambang minyak telah beralih ketangan Republik, seluruh pekerja bekerja dengan penuh semangat. Pemerintah Indonesia menerima Perusahaan Tambang Minyak itu, dengan kondisi Kilang penyulingan minyak dalam keadaan cukup baik, kerusakan-kerusakan akibat pemboman Sekutu pada tanggal 4 Januari 1945 telah sepenuhnya diperbaiki dan memiliki kapasitas produksi sebanyak 2,4 ribu barrel per-hari. Minyak yang diolah disini didistribusikan ke Daerah Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli.  


Seiring berjalannya waktu, Badan-badan Ketentaraan dan Kelaskaran berebut menginginkan jatah-jatah Istimewa, sehingga menyulitkan Pimpinan PTMNRI untuk mengatur dan membagi serta mendistribusikan minyak tersebut. Akhirnya Pemerintah Sumatera, setelah menerima laporan dari Bupati Langkat pada waktu itu Adnan Nur Lubis meminta kepada Panglima Komando Tentara Sumatera agar PTMNRI statusnya di Militerisasi-kan. 

Perihal kejadian tersebut dapat dimaklumi dan disetujui, dalam waktu singkat, yaitu pada bulan Oktober 1946, Mayor Jendral Suhardjo Hardjo Wardojo selaku Panglima Komandan Tentara Sumatera datang ke Pangkalan Brandan meresmikan Militerisasi PTMNRI, dengan melantik S.H. Supardan sebagai Mayor Tituler dan Djohan sebagai Kapten Tituler. Demikian pula kepada Kepala Bidang lainnya, dilantik menjadi Kapten Tituler dan Kepala Eksploitasi Pangkalan Susu menjadi Letnan Satu Tituler.

Sebulan kemudian, Tambang Minyak telah membentuk Batalyon Tentara Pengawal Kereta Api dan Tambang Minyak (TPKA&TM) dibawah Kepemimpinan Kapten Nazaruddin. Dalam penguasaan Indonesia, Kilang ini hanya menghasilkan sedikit bahan bakar yang hanya cukup digunakan oleh Kelompok Pejuang Republik Indonesia.


Untuk selanjutnya Kilang Minyak ini menjadi saksi bisu peristiwa-peristiwa penting pasca kemerdekaan. Temasuk Pangkalan Brandan Lautan Api, itu merupakan bukti Perjuangan Para Laskar Minyak dalam mempertahankan kemerdekaan dan juga kemandirian energi nasional. Dan seiring berjalannya waktu, dengan beragam regulasi-regulasi pemerintah. Penguasaan Kilang dan Lapangan Minyak di Kabupaten Langkat berpindah-pindah "tuan". Hingga akhirnya saat ini berada di bawah naungan perusahaan miliki negara, PT. Pertamina EP Asset 1 yang menaungi beberapa lapangan minyak di Sumatera, termasuk Pangkalan Susu.


next : Pangkalan Brandan Lautan Api





Sumber-sumber :
langkatonline.com
edyfranjaya.wordpress.com 
www.migasreview.com
www.kompasiana.com
id.wikipedia.org
lenteradiatasbukit.blogspot.co.id
finance.detik.com
http://bangduns.blogspot.com/2018/07/awal-mula-pt-pertamina-ep-pangkalan-susu.html
http://pustakatambang.blogspot.com/2012/06/pertamina-pangkalan-susu.html

No comments:

Post a Comment