Subi merupakan sebuah pulau yang terletak di bagian timur Kabupaten Natuna. Ia termasuk gugusan kepulauan Natuna Selatan bersama dengan pulau-pulau Serasan. Saat Natuna terbentuk jadi kabupaten tahun 1999, daerah pulau Subi dan sekitarnya masih masuk dalam wilayah adiministratif kecamatan Serasan. Seiring dengan perkembangan waktu, Subi akhirnya menjadi kecamatan beberapa tahun kemudian.
Tak banyak yang tahu memang, Pulau Subi menyimpan jejak-jejak sejarah perang masa lalu, yang sebagiannya masih bisa kita lihat hingga sekarang. Pulau Subi menjadi saksi bisu dahsyatnya perang dunia kedua puluhan tahun yang lalu.
Jepang Bangun Bandara untuk Pertahanan
Tak banyak yang tahu memang, Pulau Subi menyimpan jejak-jejak sejarah perang masa lalu, yang sebagiannya masih bisa kita lihat hingga sekarang. Pulau Subi menjadi saksi bisu dahsyatnya perang dunia kedua puluhan tahun yang lalu.
Jepang Bangun Bandara untuk Pertahanan
Sekelumit sejarah Natuna yang dahulu disebut Pulau Tujuh juga ada di
Pulau Subi. Pada saat itu, Pulau Tujuh bergabung dalam Kepulauan Riau,
telah memerintah beberapa orang “Tokong Pulau”, Tekong atau Nahkoda,
istilah yang diberikan kepada Datuk Kaya di wilayah Pulau Tujuh.
Bekas Bandara di Subi, via batampos.co.id |
Di Pulau Subi, terdapat bekas lapangan udara, yang dibangun oleh
pemerintah Jepang, saat melakukan penjajahan. Jepang mendirikan lapangan
tersebut tahun 1942, sebagai salah satu pertahanan di Natuna.
“Kini, sisa-sisa peninggalan lapangan udara tersebut telah menjadi hutan
rimbah dengan menyisakan tiang-tiang besi tua,” terang anggota DPRD
Natuna, Baharuddin, SE, tentang sejarah kampung halamnnya, Desa Subi
Kecamatan Subi, Kabupaten Natuna. Kisah ini diperkuat dengan catatan Wan
Tarhusin, Bsc, salah seorang tokoh Pemuka Budaya yang ada di Kabupaten
Natuna.
Katanya, pembangunan lapangan udara tersebut dilakukan Jepang dengan
mengerahkan mengerahkan tenaga rakyat Pulau Subi sebagai tenaga Rodi,
sampai dengan lapangan udara tersebut selesai. Namun begitu mendengar
berita pasukan Belanda sudah berada di Ranai, pasukan Marinir Jepang
yang ada di Pulau Subi, secara bertahap mulai keluar. Dan gelombang
terakhir pasukan Jepang ini, terpergok pasukan udara Belanda yang
sekonyong-konyong melintas di atas Pulau Subi, dengan menjatuhkan bom
dari udara. Bom inilah yang menyebabkan lapangan udara Jepang di Pulau
Subi, rusak berat.
Namun, dengan seribu akal tentara, Jepang tetap mencari jalan untuk
dapat keluar dari Pulau Subi. Mereka kemudian menemui Datuk Kaya Pulau
Subi untuk meminta bantuan. Mereka meminta agar rakyat Subi menyerahkan
songkok (kopiah) kepada para tentara Jepang yang tersisa untuk digunakan
sebagai penyamaran agar terlihat bagaikan orang Melayu Pulau Subi.
Kelihatanya akal ini berhasil. Dari Pulau Subi para tentara Jepang yang
tersisa dapat keluar menuju ke tempat yang sangat dirahasiakan. Mereka
keluar pada malam hari dengan menggunakan sampan berciau menuju ke
tempat yang sudah diarahkan. Dan memang, tidak ada seorangpun tentara
Jepang yang tinggal atau tersisa di Pulau Subi.
Menurut Baharuddin, kini lapangan udara Pulau Subi tersebut menyisakan
hutan belukar. Letaknya di sebelah Tenggara Pulau Bunguran atau Ranai
dan sebelah utara Pulau Serasan. Jarak antara Pulau Subi dengan Ranai
sekitar 70 Mil dan jaran Pulau Serasan dengan Pulau Subi sekitar 35 mil.
Pada masa Kewedanan Pulau Tujuh masih berstatus District, Pulau Subi
dimasukkan dalam satu wilayah dengan Onderdistrict Serasan dan dikepalai
seorang Amir sekelas Camat saat ini. Sedangkan kini, Pulau Subi sudah
dimekarkan menjadi sebuah Kecamatan yakni Kecamatan Subi. Pada masa itu, Pulau Subi diincar Jepang karena dianggap strategis. Itu
pula yang mendasari Jepang membangun lapangan udara Jepang pada tahun
1942. Ini dilakukan sebagai pusat pertahanan udara Jepang di Natuna
mendampingi Terempa sebagai tempat tentara Marinir Jepang dan pasukan
Jutai.
Pulau Subi sudah di kenal International dalam sejarah zaman Jepang
maupun zaman Hindia Belanda. Berdasarkan makalah: Seminar Sejarah Riau
Desember 2003 oleh: Darmiati Jkt, di sekitar Pulau itu, pernah terjadi
dimana sebuah kapal asing pecah. Peristiwa ini terjadi tanggal 13
Desember 1966 sekitar pukul 13.00 atau 1 siang. Kapal bernama “Pathol Salam” dipukul ombak dan hanya mampu bertahan
selama 9 jam. Pada pukul 22.00 atau 10 malam, barulah kapal tersebut
dapat sampai ditepi pantai Pulau Subi. (Kisah sejarah ini tersimpan
dalam arsip nasional di Jakarta untuk dijadikan bukti sejarah tingkat
Nasional).
Sementara itu, untuk kisah julukan “Tokong” yang juga berarti tanah
Busut yang menonjol ke permukaan laut atau tanah Kukop atau batu karang
yang menonjol ke permukaan laut, yang sangat berbahaya untuk lalu lintas
kapal yang melewati areal tersebut. Julukan Tokong Pulau diberikan
kepada Datuk Kaya di Pulau Tujuh untuk mengibaratkan seorang pemimpin
yang mengendalikan pemerintah di wilayah terkecil, yang sewaktu itu
diberi hak oleh Sultan Riau sesuai dengan ketentuan “Yayasan Adat”, yang
sudah ada pada masa itu.
Dari kisah yang diperoleh, bahwa gelar yang diberikan dalam pembagian
Wilayah Datuk Kaya Pulau Tujuh disebutkan bahwa untuk Wilayah Pulau
Siantan diberikan kepada Pangeran Paku Negara dan Orang Kaya Dewa
Perkasa, untuk Wilayah Pulau Jemaja diberikan kepada Orang Kaya Maha
Raja Desa dan Orang Kaya Lela Pahlawan. Selanjutnya, untuk Wilayah Pulau Bunguran diberikan kepada Orang Kaya
Dana Mahkota, dua orang Penghulu dan satu orang Amar Diraja. Untuk
Wilayah Pulau Subi diberikan kepada Orang Kaya Indra Pahlawan dan Orang
Kaya Indra Mahkota.
Juga diberikan Wilayah Pulau Serasan kepada Orang Kaya Raja Setia dan
Orang Setia Raja. Wilayah Pulau Laut diberikan kepada Orang Kaya Tadbir
Raja dan Penghulu Hamba Diraja. Dan Wilayah Pulau Tambelan diberikan
kepada Petinggi dan Orang Kaya Maharaja Lela Setia.
“Orang-orang besar inilah yang pada zaman dahulu memerintah di wilayah
Pulau Tujuh dengan masing-masing wilayah secara turun temurun, sampai
pada akhir kekuasaannya,” terang Baharuddin.
Oleh karena pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu masih memegang
peranan “Zich Bemoelen Met” ikut mencampuri urusan pemerintahan yang
menyangkut strateginya di Pulau Tujuh, maka penempatan kedudukan para
Datuk Kaya diatur sedemikian rupa dengan menerapkan imperialisme .
Tujuan memecah belah persatuan dan kesatuan di wilayah Pulau Tujuh atau
dengan menerapkan “Devide et Impera” yang semata-mata untuk
menguntungkan pihak Belanda. (sm/dk)
sumber : haluankepri.com
No comments:
Post a Comment