Namaku Fatimah, hari
ini aku sangat sedih. Sedih sekali. Entah kenapa perasaan ini begitu
menghantuiku. Tidurku menjadi tak lelap, makan tak kenyang, mandi pun serasa
tak basah. Aku memikirkan suamiku yang sudah semingu ini tidak pulang. Katanya
pergi ke Binjai, untuk bersemedi mencari petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Binjai merupakan daerah dekat segeram, tempat
pertama kali aku menginjakkan kaki di Pulau Bunguran ini. Binjai sudah menjadi
tempat langganan suamiku bermeditasi, hanya sekedar untuk menenangkan diri.
Namun kali ini berbeda. Ia tak kunjung pulang. Bahkan saat ia pergi tidak satu pun menteri yang boleh
mengikutinya. Kini Aku sudah berbadan dua setelah satu tahun kami menikah. Hal
ini menambah rasa sedihku, Usia kehamilan yang sudah delapan bulan. Tinggal
satu bulan lagi Aku akan menimang seorang bayi.
“Ohh Megat, Aku
merindukanmu. Kini telah tujuh hari engkau tak pulang kerumah” rintihku.
***
Terlahir sebagai putri
kerajaan, Aku sangat bahagia. Namun dengan nikmat yang Tuhan berikan kepadaku,
membuat Ayahanda mengusirku dari istana.
Aku tak bisa menggerakan sedikitpun anggota tubuh bagian bawahku. Untuk
berpindah dari satu tempat ketempat lain Aku harus ditandu oleh menteri dan
dayang-dayang yang setia mengikutiku. Alasan Ayah mengusirku, karena malu
memiliki putri yang cacat. Dia begitu tersohor ke seluruh Nusantara.
“Apa kata orang jika
mengetahui penerusku hanyalah seorang putrid yang lumpuh.” begitu kata Ayah
kepadaku, tanpa memikirkan bagaimana
perasaan Aku sebagai anaknya.
Ibu tidak dapat
mencegah niat Ayah untuk mengusirku dari istana. Segala persiapan dan
perbekalan sudah Ayah siapkan demi penghidupanku di daerah tujuan. Ada sedikit
rasa sayang Ayah kepadaku, hanya saja rasa malunya yang mengalahkan kasih saying
itu kepadaku. Aku dibekali sebuah mahkota berwarna kuning emas. Harapan Ayah,
Aku dapat membangun kerajaan didaerah tujuan nantinya. Rombongan kami berjumlah
empat puluh orang terdiri dari dayang dan para menteri. mengarungi samudra dari
johor menuju sebuah pulau yang dulunya pernah dikunjungi Raja Kertanegara (Raja
majapahit), menaiki tujuh buah perahu yang di sumbangkan ayah. Pulau itu
dinamakan pulau serindit oleh Raja kertanegara, sebab saat Ia berkelana ke pulau
itu didapati banyak burung serindit yang bertenggeran di pepohonan dekat sungai
yang mereka singgahi.
Setelah beberapa hari
beradu dengan ombak, merapatlah rombonganku ketepian dekat pantai. kami telah berada
di pulau sabang mawang yang merupakan bagian dari pulau serindit. Pulau
serindit yang terdiri dari berbagai pulau, tersebar dan dikelilingi lautan.
Jaraknya sangat berdekatan, namun harus menggunakan kereta air untuk
menggapainya. Didaerah ini tidak berpenghuni, hanya ditemani hewan dan hutan
yang hijau merona. Kami menetap di daerah ini, berhari-hari bermukim, timbul
niat para dayang dan menteri untuk mencarikan suami untukku, Aku akan
dijodohkan dengan salah seorang menteri yang ada dirombongan. Aku setuju.
Akupun sudah menjadi wanita yang siap untuk dinikahi, namun mereka tetap
menyadari Aku hanyalah putri lumpuh yang diusir ayahnya dari kerajaan. Namun
hal itu tidak mengurung niat mereka, Aku dijodohkan dengan menteri tertua dalam
rombongan.
***
Pagi ini, Aku dan
menteri siap untuk dinikahkan. Tidak ada pesta, dekorasi bahkan makan-makan.
Aku tidak berhias atau didandan, seperti pengantin umumnya. Suasana tidak
semeriah pesta di istanaku, seandaninya aku menikah disana. Kami hanya
berkumpul dalam rumah yang sederhana, terbuat dari susunan kayu alam. Aku masih
didalam kamar, menunggu sang menteri yang sebagai penghulu kami memanggilku
untuk keluar. Kemudian seorang dayang dengan tergesa-gesa menghampiriku dalam
kamar.
“ Engku, engku”. Dayang
bersorak menuju kearahku. Panggilan engku khusus untuk wanita dari kesultanan Ayahku.
Sultan di Johor.
“Ada apa, dayang?”
tanyaku.
“Sang menteri, sang
menteri itu.”
“Sang menteri kenapa?”
aku terheran melihat dayang yang begitu tergopoh-gopoh pagi itu. Tidak biasanya
kejadian begini terjadi selama perjalanan kami.
“Menteri ditemukan
mengapung di tepi pantai, engku.” Jawabnya. Setelah bersusah payah menyebutkan
informasi itu kepadaku. Para menteri yang berada didekatku langsung menanduku
menuju keluar kamar. Diluar sudah tergelatak mayat sang menteri yang semalam
dijodohkan kepadaku. “Ya tuhan, pertanda apa ini?” batinku.
Semingu berlalu,
kejadian itu sudah menjadi kisah masa lalu bagi kami. Mereka kembali mencarikan
calon suami untukku, namun berkali-kaipun. Selalu saja calon itu meninggal
dunia sebelum menikahiku. Berbagai macam cara mereka tewas, entah apa
penyebabnya? Tidak satupun dari kami yang mengetahui asal masalahnya. Ada yang mati
tenggelam, menghilang dihutan, tergeletak didalam kamar, ada yang tiba-tiba
sakit perut dan kemudian nyawanya lenyap dan ada pula yang mati setelah menjamu makan malam.
Dengan kejadian aneh
ini, kami pun berkesimpulan berpindah lokasi. kembali mengarungi lautan mencari
wilayah yang cocok untuk membangun kerajaan. Ditempat itu bukan tempat yang
diberkahiNya, jangankan untuk membangun kerajaan. Untuk mencari pangeran untuk
sang putri saja tidak terkabulkan.
Kami kembali berkayuh. Beberapa
hari berlalu di lautan, perahu-perahu kami memasuki sebuah sungai kecil di
pulau serindit. Tempat ini kemudian dikenal dengan nama Segeram. Tidak ada satupun manusia yang kami temukan setiba
kami disana , hanya beberapa hewan buas dan lautan hutan yang lebat dan hijau.
“ Engku, mari kita
mencari tempat perteduhan untuk kita menetap di pulau ini.” Saran seoarng
menteri kepadaku.
“ Lakukan sesuka kalian
ditempat ini, Aku hanya bisa mengikuti kalian,” jawabku. Mereka membopongku menyelami
hutan lebat itu, hingga kami sampai disebuah lokasi yang rindang. Mereka
membangun gubuk untukku beserta para rombongan yang lainnya.
***
Seminggu sudah kami
menetap. Pagi itu, para menteri menyusuri hutan untuk berburu. Mencari hewan
untuk disantap, karena perbakalan yang disumbangkan Ayah sudah menipis dan
hampir habis. Di hutan yang hijau nan lebat itu, pohon-pohon sangat besar
menyerupai tower-tower masa kini, berdaun rindang. Binatang-binatang seperti
kera, burung, jangkrik, riuh menyapa kami setiap harinya. Saat kami ingin
melauk, kami menuju sungai atau meneruskan ke laut, Ikan-ikan di lautan juga
sangat mudah didapat. Disbanding zaman ini yang sangat sulit sebab telah banyak
terumbu karang yang telah rusak oleh ulah manusia yang tidak beradab. Di dekat
pohon yang agak besar, para menteri menyapa seorang pria yang duduk bersandar
dibawahnya.
“Ncik siapa?”. Tanya
seorang menteri dengan seorang pria yang mereka temui di tengah hutan yang
berjarak tiga kilometer dari pemukiman kami. Pria itu diam tanpa kata. Tubuhnya
ditutupi bulu, mirip orang hutan, namun dia memiliki pakaian. Entak berapa
tahun ia tidak mengganti pakaiannya, Nampak sangat lusuh. Dia bersandar
disebuah pohon besar, Balau nama
pohon itu. Ia masih terpaku melihat menteri yang mendatanginya.
Para menteri
mengajaknya menuju pemukiman, dan ia diajarkan bahasa melayu serta diislamkan
oleh para menteri. Dengan bahasa baru yang ia pelajari, ia dapat bercerita
siapa dirinya dan dari mana asalnya. Dalam ceritanya, bahwa ia adalah hanyut ke
pulau ini beberapa tahun yang lalu. Ia tidak tahu kenapa? Ia tidak dapat
mengingat masa lalunya kala itu, yang diingatnya bahwa Ia hanyut menaiki sebuah
buluh: bambu, terombang ambing
dilautan dan merapat di sungai segaram, tempat yang kami jelajahi. Untuk
mengidupi diri sejak kala itu, Ia hanya meminum air madu dari pohon balau tempat Ia berteduh sekalian pohon
itu sebagai rumahnya. Oleh karena hanya meminum air madu setiap harinya, maka
tubuhnya berbulu lebat. “Saya adalah orang pertama yang tinggal disini”
ungkapnya didalam cerita panjangnya. Ia menyebut namanya Megat. Dari bahasa
asalnya, ia sepertinya berbahasa siam dari Thailand. Namun entahlah, kebenarannya
tidak begitu akurat.
****
Hubungan Aku dan
Megatkian hari semakin dekat, sebab Ia selalu bersama kami dan tidak tinggal di
pohon itu lagi. Lama kemudian, para menteri berniat kembali menjodohkanku. Dan
calonnya kali ini ialah pria itu, Megat. Sepertinya yang kuasa sudah menuliskan
aturan ini, Ia pun setuju tentang niat para menteri itu. Apalagi Aku, Aku
sangat gembira ada seorang pria yang sudi menikahi perawan lumpuh sepertiku.
Namun dalam kesenangan itu, Aku khawatir kejadian lama itu kembali terulang.
“Apakah Megat juga akan mati?.” Aku bertanya dalam hatiku.
***
Kejadian seperti di
pulau sabang mawang tidak terulang kembali, ini tandanya keberkahan telah
merasuki perjalan kami ke pulau serindit. Aku dinikahkan dengan Megat. Karena Aku
adalah seorang putri sultan maka di kampung baruku, sang pangeran kami beri gelar
Datuk Kaya Dina Mahkota. Datuk kaya melambangkan seorang penguasa
di pulau bunguran yang kekuasaannya sama dengan sultan, dina mahkota mengandung arti seorang putri yang sangat hina dina,
dalam keadaan lumpuhnya, Ia juga diusir dari istana. Selepas menikahiku, Megat
membangun sebuah punggur, bangunan
rumah untukku, bangunan itu mirip lesehan rumah makan masa kini. Terbuat dari
kayu yang diambilnya dari hutan, beratap daun sagu. Dengan adannya punggur ini,
maka wilayah ini kami menyebutnya bunguran. Lebih lanjut turun temurun di sebut
Pulau Bunguran.
Setahun kemudian, Aku
mengandung anaknya dan memasuki usia kehamilan delapan bulan. Pagi itu, Megat
meminta izin untuk pergi bersemedi, seperti yang biasa dilakukannya untuk
menenangkan diri. Hari itu tidak seoarang pun menteri yang boleh ikut
dengannya. Aku menyetujui kepergiaannya. Daerah tujuannya disebut Binjai, tidak terlalu jauh dari
Segeram, tempat kami bermukim. Pagi itu pula menjadi hari akhir Aku melihatnya,
karena Ia tak pernah lagi kembali ke punggur. Entah kemana Ia menghilang bagai
ditelan bumi. Ketika menteri menyusulnya dan setiba ditempat biasa Ia berdiam
diri, hanya kekosongan yang mereka temukan. Oleh para menteri, tempat biasa
Megat duduk bersila di letakkan sebuah batu agak besar sebagai tanda. Kemudian
mereka kembali ke segeram.
“Ohh Tuhan, apakah ini semua sudah kehendakmu.
Diriku engkau karuniai lumpuh permanen, Ayah mengusirku dan para menteri telah
banyak yang tewas sebelum menikahiku, kemudian setelah memenukan seorang lelaki
yang mampu bertahan menikahiku, Ia malah menghilang entah kemana.”***
Cerpen Karangan: Siswari
Facebook: Siswari Senju (https://www.facebook.com/sis.wari.7?fref=ts)
SISWARI, kelahiran Sedanau, Natuna 1991. mahasiswa prodi Ekonomi SYariah di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Natuna 2010. Alumni SMA Negeri 1 Bunguran Timur angkatan 2009. memperkenalkan tanah melayu adalah cita-cita.
No comments:
Post a Comment