Saturday, December 22, 2018

HUT Tarakan : Gelar Adat Budaya Dumud dan Seruput Kopi Aceh

Desember ini merupakan bulan penting bagi kota Tarakan. Sebab, tanggal 15 Desember lalu merupakan hari jadi kota Tarakan yang pada tahun 2018 ini telah menginjak usia 21 tahun. Sebuah usia yang masih boleh dibilang baru "baru" bagi sebuah kota. Dalam rangka memperingati hari jadinya ini, beragam acara diselenggarakan oleh pemerintah mulai dari acara hiburan yang mendatangkan artis ibukota di Taman Berkampung, hingga gelaran adat budaya dan pesta rakyat -semacam pasar malam- yang diselenggarakan di jalan Agus Salim di dekat Masjid Agung Al-Ma'arif.

Gelar Adat Budaya Dumud
Saya lebih tertarik untuk ke acara gelaran budaya ini, selain ingin melihat lebih jauh tentang budaya Tidung suku asli Tarakan, disini juga banyak berdiri stan-stan orang yang berjualan, mulai dari pakaian hingga kulineran, lumayan kan bisa jajan-jajan. Setelah shalat magrib di Masjid Agung Al-Ma'arif saya langsung menuju ke lokasi acara yang terletak persis di sepanjang jalan samping masjid. Ternyata gelaran budaya baru akan dimulai ba'da isya. Maka dari itu, saya melanjutkan eksplorasi untuk mencari jajanan saja. 
Gapura Gelar Adat Budaya Dumud
Dumud berarti di darat, daratan. Pengaplikasiannya lebih ke sosial budaya masyarakat. Satu lagi adalah Tengkayu yang berarti Laut, Iraw Tengkayu, merupakan salah satu acara besar adat 2 tahunan suku Tidung, mungkin sama dengan adat Erau di Tenggarong, Kutai Kartanegara. Acara Gelar Adat Budaya Dumud yang berlangsung dari tanggal 18 hingga 22 Desember ini diselenggarakan oleh GAWAS (Gabungan Warga Selumit). Hampir separuh jalan Agus Salim di Selumit ini digunakan untuk pagelaran acara. Berawal dari gapura besar bernuansa merah hijau kuning yang dibuat di persimpangan jalan masuk Agus Salim hingga 200 meter masuk ke dalam dengan ujungnya panggung utama bernuansa merah, hijau, kuning. Ini yang menjadi ketertarikan saya, warna, ukirannya mirip dengan Melayu. 
Pasar malam, dari pakaian, papan dan pangan.
Di lain waktu saya kembali berkunjung kesini. Dari jauh sudah terdengar alunan musik yang tak asing di telinga dari panggung utama. Saya bergegas menuju panggung, melihat apa dan siapa yang perform. Sebuah tarian dengan gerakan yang familiar bagi saya, lenggak-lenggok para penari yang menyesuaikan dengan hentakan pemusik di belakangnya. Hal ini mengingatkan saya saat melakukan hal yang sama beberapa tahun lalu : sebuah tarian melayu, -sekarang dah pensiun-. Sepertinya harus cari lebih banyak refrensi lagi nih, biar tau lebih banyak tentang suku Tidung, kental sekali budaya Melayu nya, barangkali ada korelasi antar keduanya.

Perform dari salah satu sanggar dan antusias warga menonton pertunjukan.
Dan yang unik bagi saya adalah saat tarian selesai, lalu sepasang MC masuk ke panggung dan memimpin jalannya acara, dengan bahasa yang tidak saya mengerti, namun irama dan cengkoknya kembali familiar di telinga. Secara spontan saya bertanya kepada salah satu pengunjung disamping saya, dan benar, itu bahasa Tidung, suku asli Tarakan. Beberapa kata ada yang saya mengerti, beberapa terdengar seperti bahasa Terengganu di Malaysia, logat, cengkok dan iramanya bercampur antara Melayu, Banjar bahkan Thailand, unik sekali bukan? Alhamdulillah, ungkapan syukur bagi saya karena telah dilahirkan di negara dengan ragam suku budaya yang bernaung alam satu kesatuan yang utuh ini.

Kedai Filosofi
Di hari pertama saya berkunjung, disaat mengetahui bahwa acara di panggung utama baru dimulai ba'da isya, saya berjalan-jalan "mengamati" stan-stan jualan dari ujung ke ujung, akhirnya mata terauto-focused pada sebuah gerobak minimalis namun terlihat elegan, di dalamnya terdapat gelas-gelas plastik dan sejumlah papercup yang disusun terbalik, lalu di gerobak terdapat tulisan Kedai Filosofi 2018 dengan gambar cangkir kopi. Nah, ngopi pa ngopi!

Saya langsung menuju tempat ini, duduk, dan melihat menu. Beragam minuman dijual di Kedai "angkringan kopi" Filosofi ini, ada teh, kopi, coklat, dan susu. Saya memilih untuk memesan Kopi Aceh Susu. Namun harus menunggu sebentar karena air nya baru saja dimasak. Sambil menunggu ready, saya cuap-cuap sebentar dengan sang owner. Rilo namanya, mahasiswa Budidaya Perairan di Universitas Borneo Tarakan angkatan 2017 ini adalah otak dari terbentuknya kedai kopi bertema angkringan ini. 
"Angkringan Kopi"
Ia bersama rekan-rekannya mencetus sekaligus mengelola langsung Kedai Filosofi yang saat saya datangi baru berusia 3 hari ini. Baru buka banget, memanfaatkan momen hari jadi Tarakan, mereka mulai mencoba peruntungan dengan menjual kopi di stan yang disediakan panitia yang saat itu mengadakan event di Taman Berkampung, setelah selesai acara di sana, mereka lanjut di stan pasar malam gelar adat budaya Dumud ini.

Air sudah mendidih pertanda kopi saya ready untuk dibuat. Proses penyajian dan pembuatannya dengan cara konvensional. Biji kopi asli dari Aceh ini dimasukkan ke dalam saringan, lalu dimasukkan didalam canting berukuran sedang, selanjutnya diisi air yang mendidih tadi, kemudian disaring kembali ke canting sebelahnya, begitu terus hingga sekitar 7 kali. Setelah selesai, disajikan dengan takaran susu yang terukur di papercup, diaduk, dan Kopi Aceh Susu siap disrupuut. 
Proses Pembuatan Kopi Aceh Susu
Rasanya unik, biji kopi Aceh ini sama seperti kopi Gayo, hanya proses roastingnya yang berbeda. Roasting merupakan proses penggorengan biji kopi, dari proses roasting ini juga jadi penentu kualitas kopi, ada light, medium dan dark. Rasa Kopi Aceh lebih ke yang dark dan seperti ada kerasa menteganya. Pekatnya juga masih terasa meski sudah dicampur susu. Hmmm, saya tak berbakat dalam mendeksripsikan rasa. Yang jelas ini menjadi pengalaman baru bagi saya menikmati kopi Aceh di Tarakan. 

Hari lain saat ke Kedai ini lagi saya memesan kopi Aceh tok, panas, dan tanpa gula. Sengaja memesan tanpa gula - karena saya sendiri sudah manis -, krik krik. Yap, saya memesan tanpa gula agar lebih terasa citarasa biji kopi nya. Begitu saya diajarkan oleh seorang rekan tentang bagaimana cara menikmati kopi. Cara penyajiannya juga sama dengan yang lalu, biji kopi disaring dari canting satu ke canting yang lain, kurang lebih 7 kali. Dan kali ini, rasa asli kopi Aceh nya baru benar-benar terasa. 
Sang ownernya mengatakan, ia mempertahankan cara penyajian yang konvensioal ini selain peralatannya sederhana, harga terjangkau dan mudah untuk didapatkan, juga agar tak hilang khasnya cara penyajian kopi Aceh. Cara tradisional yang biasa digunakan dalam menyeduh atau membuat kopi Aceh hingga menghasilkan rasa yang pas dan khas. Ketika saya menanyakan apakah bakal ada alat-alat modern seperti di coffee shop kebanyakan, ia menjawab hal itu akan dipertimbangkan, dan kemungkinan juga ada.

Ada yang spesial kali ini, saat saya sedang sharing dengan dengan owner, datang pak Camat Tarakan Tengah -taunya setelah dikasih tau- yang juga ikut ngopi. Pak Zainuddin namanya, dulu beliau juga menjabat sebagai seorang kepala bidang Pemasaran dan Promosi Pariwisata di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tarakan. Hmmm ini membuat sharing dan diskusi semakin seru, kesempatan bagi saya untuk tahu banyak tentang adat budaya kota ini. Saya bertanya banyak hal tentang Tarakan dan beliau menerangkan lebih banyak hal lagi tentang Tarakan. Kami juga saling bertukar informasi, saya menerangkan tentang Melayu dan beliau menerangkan tentang Tidung. 

Mulai dari sejarah, adat, budaya hingga bahasa Tidung yang beliau sendiri bilang merupakan bahasa yang unik. Hanya saja ada kekhawatiran dari beliau, yaitu berkurangnya bahasa dan pengguna bahasa Tidung ini. Pak Jai -panggilan akrab beliau- mengatakan, menurut catatan kepala adat Tidung, kosa kata bahasa Tidung berkurang 20 tiap hari nya, suatu masalah yang lumayan serius karena menyangkut identitas suatu daerah. Salah satu penyebabnya adalah berganti menjadi bahasa Indonesia yang di Tidungkan.
Ngopi dengan pak Camat
Contoh kecil saja, Jalan dalam bahasa Tidung berarti Makow, sedangkan Kaki berarti Tanog. Jika diartikan dalam bahasa Indonesia, maka Jalan Kaki adalah Makow Tanog. Namun tidak dengan bahasa asli Tidung, Jalan Kaki dalam bahasa Tidung adalah Lemabod. Nah, kata-kata seperti Lemabod inilah yang hilang pelan-pelan. Semoga ada suatu program pemerintah beserta tokoh adat agar mempertahankan bahasa asli ini. Mari kita sama-sama jaga dan lestarikan.

----------

Balik ke kopi lagi ya. Ohya, buat kamu yang belum sempat merasakan nikmatnya nyeruput kopi di Kedai Filosofi ini, jangan khawatir. Kedai Filosofi akan tetap buka meskipun gelaran budaya adat Dumud selesai nantinya, hanya berpindah lokasi saja yang insya Allah berlokasi di jalan Yos Sudarso. 
Ngopi? Ayuuk.
Jadi, kapan ngopi bareng?



No comments:

Post a Comment